Sharing Session CDC FEB UI bersama PT PANN Pembiayaan Maritim Bahas Potensi Industri Maritim Indonesia

0

Sharing Session CDC FEB UI bersama PT PANN Pembiayaan Maritim Bahas Potensi Industri Maritim Indonesia

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (2/12/2020) Career Development Center (CDC) FEB UI bekerjasama dengan PT PANN Pembiayaan Maritim mengadakan Sharing Session tentang potensi industri maritim Indonesia, peranan lembaga pembiayaan, dan prospek bekerja secara profesional, pada Rabu (2/12/2020).

Sharing session ini dibuka dengan sambutan Sekretaris Pimpinan FEB UI, Herda J.T Pradsmadji, M.Pd., yang mengatakan, “Di tengah kondisi pandemi Covid-19, banyak perusahaan terpaksa menghentikan sementara operasionalnya, tetapi sebaliknya PT PANN Pembiayaan Maritim menyarankan “membangun mimpi untuk industri maritim.” Melihat Indonesia sebagai negara maritim, sudah selayaknya industri maritim memegang peran besar dalam pertumbuhan ekonomi, baik transportasi, perikanan, kelautan, produk turunan maupun pembiayaan. Kami berharap kepada para mahasiswa FEB UI dapat belajar dan memanfaatkan informasi yang didapat dalam sharing session ini.”

Narasumber dalam sharing session adalah Edu Maurits Manurung, President Director PT PANN Pembiayaan Maritim, dan Darmansyah Tanamas, Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners’ Association (INSA).

Edu Maurits Manurung, sebagai narasumber pertama, menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia dihasilkan oleh produk domestik regional bruto (PDRB), di antaranya pertanian-kehutanan-perikanan sebesar 14,68%, pertambangan dan penggalian 4,16%, industri pengolahan 19,86%, transportasi dan pergudangan 4,4%, informasi dan komunikasi 4,56%, jasa keuangan dan asuransi 4,32%, konstruksi 10,6%, perdagangan besar dan eceran-reparasi mobil dan sepeda motor 12,83%, dan lainnya 19,06%. Selain itu, Indonesia sebagai negara maritim juga menghasilkan kekayaan alam begitu melimpah di berbagai pulau yang bisa diperdagangkan, baik di ekspor maupun impor.

Tentu, dalam mendistribusikan perdagangan tersebut, kita membutuhkan kapal bermuatan besar atau ocean-going ship yang membutuhkan infrastruktur penunjang, berupa pelabuhan, muatan, dockyard (bengkel), dan financial. Namun, harga kapal tersebut sangatlah mahal dan membuat investor jarang tertarik. Alasannya, long investment (unsur ketidakpastian baik return dan risk yang lebih tinggi), mismatch (terjadinya perbedaan antara sumber penghasilan/pekerjaan/kontrak kerja sebagai sumber penghasilan memiliki jangka waktu yang lebih pendek, dibandingkan dengan usia kapal yang lebih panjang), mobile (penetapan kapal sebagai aset memerlukan monitoring yang lebih sulit, karena bergerak dibandingkan dengan fixed asset yang tidak bergerak), special skills (dalam menjalankan aset sebagai investasi dalam menghasilkan return banyak memerlukan keahlian dan regulasi khusus).

Sambung Edu, dasar pemerintah membentuk perusahaan pembiayaan kapal, yaitu harga kapal yang relatif mahal sehingga terbatas dalam penyediaan dana, sumber pendapatan melalui APBN yang bersifat tahunan sementara investasi kapal sangat panjang, peranan swasta untuk membentuk perusahaan pembiayaan khusus kapal sangat minim cenderung pada perusahaan pembiayaan motor/mobil aset yang usia lebih pendek, dan bank sebagai alternatif pembiayaan kapal terkendala pada sumber dana DPK yang relatif jangka pendek, serta mendukung UU dan PP lainnya terkait maritim (UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).

“Dalam hal ini, PT PANN Pembiayaan Maritim (PPM) hadir mendukung pemerintah untuk masa depan, yakni mendukung pemerintah dalam menciptakan low cost economics dari high economics, pembentukan dana khusus maritim seperti bond maritim sebagai langkah awal dengan dukungan komunitas kapal (INSA), menggantikan peranan bank dalam pembiayaan kapal dengan competitive advantage, dan tempat berkarya bagi putra-putri terbaik bangsa dalam menuju Indonesia sebagai poros dunia,” demikian Edu menutup sesinya.

Darmansyah Tanamas, sebagai narasumber kedua, menuturkan bahwa industri pelayaran Nasional merupakan motor dari tumbuh kembangnya industri terkait lainnya. Jenis pelayaran terdiri dari kontainer, general cargo, kapal penunjang offshore, roro, angkutan cair, curah dan gas, tug and barge, kapal khusus migas dan non-migas. Pelayaran Nasional masih memiliki sejumlah peluang yang bisa ditangkap untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan, yakni beyond cabotage, angkutan fame, wisata bahari, ibukota negara, raw material dan BBM.

Namun, yang menjadi tantangan permasalahan berupa harga minyak dunia mengalami kemerosotan yang tajam pada pelayaran offshore, kinerja pelayaran sangat terpukul akibat Covid-19, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD membuat adanya peningkatan biaya perusahaan, dan pelayaran nasional masih dihadapkan pada rendahnya daya saing.

Selain itu, tantangan peningkatan daya saing, yakni pajak PPN atas pembelian BBM pelayaran dalam negeri tidak lazim pada praktek Internasional di negara-negara lain. Perlakuan tersebut justru menghambat pertumbuhan ekonomi khusunya pertumbuhan di sektor pelayaran. Pembiayaan pengadaan kapal masih menjadi tantangan pelayaran Nasional karena masih dibebani dengan suku bunga yang tidak kompetitif dan tenor pendek, serta kebijakan ekspor impor (cost, insurance and freight VS free on board).

“Dengan kondisi geografis Indonesia, angkutan laut menjadi moda transportasi yang utama. Asas cabotage terbukti meningkatkan pertumbuhan pelayaran Nasional dan memenuhi kebutuhan angkutan dalam negeri. Peluang bisnis pelayaran masih terbuka seiring dengan rencana pembangunan ekonomi. Diperlukan sinkronisasi regulasi agar gap kebijakan pemerintah dapat diimplentasikan dengan optimal. Maka, pemberdayaan pelayaran Nasional perlu dukungan dari pemerintah dan stakeholders secara konsisten dan berkelanjutan,” tutup Darmansyah. (htjp)