Teguh Dartanto di The 20th ISIC, Preparing for Future Social Crisis: Reevaluating The Weaknesses of Current Social Systems and Safety Net Exposed by COVID-19

0

Teguh Dartanto di The 20th ISIC

Preparing for Future Social Crisis: Reevaluating The Weaknesses of Current Social Systems and Safety Net Exposed by COVID-19

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (10/7/2021) Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris (PP UK) menggelar acara tahunan Indonesian Scholars International Convention (ISIC) ke-20 bertajuk “Preparing for Future Social Crisis: Reevaluating The Weaknesses of Current Social Systems and Safety Net Exposed by COVID-19” pada Sabtu (10/7).

Teguh Dartanto selaku Pj. Dekan, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), memaparkan materi berjudul “Redesigning the Future of Social Protection Policy in Indonesia: Adaptive, Resilience and Sustainable,” pada sesi paralel.

     

Teguh mengatakan, “Sistem perlindungan sosial di Indonesia lebih banyak menyasar kelompok masyarakat lebih mampu melalui asuransi sosial (iuran), meliputi BPJS Kesehatan (BPJS-K), BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-KT) dan Asuransi Taspen. Di sisi lain, untuk kelompok masyarakat kurang mampu melalui bantuan sosial (non iuran), meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB), Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Indonesia Pintar.”

“Sementara itu mayoritas kelompok masyarakat menengah belum terjangkau perlindungan sosial (missing middle), padahal mereka pun rentan terhadap risiko dan guncangan sehari-hari. Akhirnya, mereka harus mendaftar dan membayar iuran secara sukarela untuk mendapatkan akses perlindungan sosial yang lebih baik,” lanjutnya.

Saat ini, sistem perlindungan sosial berfokus pada perlindungan peristiwa perjalanan hidup, seperti penyakit, penuaan, kecelakaan. Namun, lupa melindungi peristiwa akibat guncangan lain, seperti pengangguran, sehingga masalah kesehatan sepanjang pandemi COVID-19 sulit diatasi.

Kemudian, Teguh membahas tantangan perlindungan sosial lainnya, di antaranya kurangnya kemampuan membiayai perlindungan sosial karena rasio pajak rendah, kesulitan mengajak dan menjamin masyarakat untuk membayar iuran perlindungan sosial secara berkelanjutan, kesenjangan basis data (terfragmentasi) antar institusi, kemungkinan mobilitas ekonomi rumah tangga masuk dan keluar dari kemiskinan masih tinggi, kerumitan basis data bantuan sosial yang hanya mencakup 40 persen lapisan terbawah, dan kekakuan administrasi bantuan sosial (non adaptif).

     

“Berbicara tentang mobilitas ekonomi di Indonesia, tercatat 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28 persen) pada Agustus 2020 dan 19,10 juta penduduk usia kerja (9,30 persen) pada Februari 2021 terdampak pandemi COVID-19. Komponennya terdiri dari pengangguran, bukan angkatan kerja (BAK), bekerja dengan pengurangan jam kerja, dan sementara tidak bekerja karena COVID-19,” terangnya.

Sejak masa pandemi COVID-19, terlihat adanya penurunan keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sekitar 5,43 juta orang. Melihat hal tersebut, pemerintah pun memberikan keringanan, peserta JKN yang menunggak dapat mengaktifkan kembali keanggotaan hanya dengan melunasi iuran selama 6 bulan dari keharusan 24 bulan.

Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 sebesar 699,43 triliun dari realisasi PEN 2020 sebesar 579,78 triliun. Alokasi terdiri dari kesehatan 176,30 triliun, perlindungan sosial 157,41 triliun, program prioritas 122,42 triliun, dukungan UMKM dan korporasi 184,83 triliun, dan insentif bisnis 58,46 triliun.

Pemerintah ingin kehadiran bantuan sosial mampu memperluas inisiatif yang ada dan menambahkan inisiatif baru melalui Prakerja, PKH, kartu sembako, diskon tagihan listrik, bantuan sosial tunai non Jabodetabek, bantuan sembako Jabodetabek, dan bantuan langsung tunai dana desa.

Teguh berharap kebijakan perlindungan sosial di masa depan bisa lebih adaptif, resiliensi, dan berkelanjutan. “Maka sebaiknya pemerintah memiliki basis data terpadu, nomor induk kependudukan bisa menjadi nomor identitas tunggal; memperbaiki basis data penerima bantuan sosial menjadi lebih sederhana, terkini, terbuka, dan mencakup 60 persen lapisan terbawah; memasukkan asuransi pengangguran ke dalam sistem jaminan sosial; menciptakan aplikasi sesuai permintaan untuk perlindungan sosial lebih inklusif dan adaptif; dan mengurangi informalitas sehingga lebih banyak pekerja formal dan sistem berkelanjutan,” demikian Teguh menutup sesinya. (hjtp)