Jahen F Rezki: Menjaga Ekspektasi

0

Menjaga Ekspektasi

Oleh: Jahen F Rezki, Ph.D., Wakil Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM-FEB UI

 

Harian Kompas (4/2/2021) – Tahun 1961, John F Muth, seorang ekonom dari Carnegie Mellon University di Amerika Serikat menuliskan sebuah teori yang dikenal dengan rational expectations atau ekspektasi rasional.

Dalam teori ini, Muth berargumen bahwa keputusan seseorang akan dipengaruhi oleh ekspektasi atau proyeksi mereka terkait apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Jika kondisi ekonomi pada masa yang akan datang diperkirakan semakin membaik, pelaku ekonomi juga akan menyesuaikan keputusan mereka dengan proyeksi itu, misalnya dengan meningkatkan konsumsi. Begitu pula sebaliknya.

Teori ini semakin berkembang ketika Robert E Lucas Jr, peraih Nobel Ekonomi dari University of Chicago mulai menggunakan teori ekspektasi rasional dalam kerangka makroekonomi. Lucas Jr berargumen bahwa jika semua masyarakat adalah makhluk yang rasional, maka hanya kebijakan yang memiliki efek kejut yang akan memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian.

Di sisi lain, dengan asumsi yang sama, kebijakan pemerintah yang memberikan persepsi dan ekspektasi yang salah bagi masyarakat justru akan memberikan dampak buruk bagi perekonomian secara keseluruhan.

Ekspektasi dan Covid-19

Lantas apa relevansi teori ekonomi ini dengan kondisi sekarang, khususnya terkait Covid-19? Satu hal yang sepertinya luput dalam diskursus ekonomi pada masa pemulihan selama pandemi Covid-19 adalah upaya yang serius dari pemerintah untuk menjaga ekspektasi masyarakat dan juga pelaku usaha. Tentunya tidak hanya menjaga, tetapi juga memberikan ekspektasi yang tak menimbulkan kekeliruan bagi masyarakat.

Kenapa ini penting? Karena seperti disampaikan oleh Lucas Jr di atas, ketika ekspektasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat keliru, kondisi ekonomi kita justru akan sulit untuk membaik.

Sudah banyak proyeksi yang disampaikan oleh lembaga dunia dan juga Pemerintah Indonesia bahwa kondisi ekonomi dunia dan nasional akan relatif membaik pada 2021 dibandingkan dengan tahun 2020. Kementerian Keuangan memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,0 persen pada tahun 2021.

Sama halnya dengan beberapa lembaga lain seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 persen, Bank Dunia 3,0-4,4 persen, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) 5,3 persen. Akan tetapi, ada satu prasyarat mutlak agar kondisi ini bisa terjadi: yaitu penanganan Covid-19 bisa berhasil dilakukan. Salah satunya dengan memastikan agar pemberian vaksin bisa berlangsung dengan optimal.

Yang jadi problem, kita tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memastikan mayoritas masyarakat Indonesia bisa mendapatkan vaksin. Ada banyak masalah, khususnya terkait distribusi, jumlah orang yang perlu mendapatkan vaksin, siapa yang perlu diprioritaskan, dan ketersediaan vaksin yang sangat terbatas.

Selain itu, seperti yang ditulis The Economist pada Desember 2020, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, harus bersaing dengan negara maju dalam mendapatkan vaksin. Negara berkembang diperkirakan baru bisa mendapatkan vaksin sesuai dengan kebutuhan masing-masing pada April 2022-2023. Ini tentunya tidak sesuai dengan target Pemerintah Indonesia.

Ketika waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah vaksin tidak jelas, ditambah dengan komunikasi publik pemerintah selama pandemi yang acap kali salah, hal ini tentunya akan berimbas pada pembentukan ekspektasi masyarakat, khususnya para pelaku usaha.

Ekspektasi dan pelaku usaha

Memang benar, ekspektasi pelaku usaha sudah semakin membaik dalam menyongsong 2021. Hal ini terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia yang mencapai 50,6 pada November dan naik menjadi 51,3 pada Desember 2020 (IHS Markit, 2020). Data ini menunjukkan, terjadi peningkatan pada kondisi bisnis dan relatif lebih baik dibandingkan awal masa pandemi.

Selain itu, naiknya nilai impor pada bulan November dan Desember 2020, masing-masing 17,4 persen (m-to-m) dan 14 persen (m-to-m), juga mengindikasikan banyak pelaku usaha yang mulai berani membeli bahan baku untuk produksi.

Ekspektasi terhadap kondisi ekonomi menjadi sangat penting dalam membentuk keputusan investasi perusahaan. Perusahaan akan meningkatkan investasi mereka ketika ekspektasi akan pertumbuhan penjualan pada masa yang akan datang meningkat dan biaya untuk meningkatkan modal semakin rendah. Jika mengaca pada kondisi sekarang, keputusan investasi perusahaan saat ini akan ditentukan oleh ekspektasi mereka terhadap kondisi ekonomi selama 2021 ini dan tentunya semakin membaiknya penanganan wabah di dalam negeri.

Inilah yang membedakan perusahaan dengan masyarakat biasa. Perusahaan membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian (adjustment period) dalam membuat keputusan dalam melakukan investasi. Ada waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian ini. Lain halnya dengan masyarakat yang bisa melakukan perubahan konsumsi pada saat sekarang juga.

Ketika ada perubahan investasi yang dilakukan oleh perusahaan, baik karena faktor internal maupun eksternal, ada penyesuaian biaya investasi yang harus dilakukan.

Jika pada akhirnya pandemi ternyata tidak bisa diselesaikan pada tahun ini, perusahaan yang telah melakukan investasi cukup besar pada tahun ini akan mengalami kerugian karena permintaan yang belum pulih sehingga barang yang diproduksi tak ada pembelinya.

Ditambah lagi dengan kondisi eksternal, yakni banyak negara yang masih berjibaku dengan semakin tingginya tingkat penyebaran virus korona. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap pilihan perusahaan untuk mencoba memasarkan produk mereka ke pasar luar negeri juga akan sulit.

Menjaga ekspektasi

Dalam survei yang dilakukan oleh LPEM-FEB UI (2020) pada bulan Juli-Agustus terhadap 1.100 UMKM di 15 provinsi di Indonesia, pandemi Covid-19 mengakibatkan 47 persen pelaku usaha mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku, 88 persen mengalami penurunan permintaan terhadap produk yang mereka produksi, dan 77 persen mengalami penurunan pendapatan yang cukup signifikan.

Dari survei yang sama, akses terhadap pembiayaan dan modal usaha dianggap menjadi masalah yang akan dihadapi oleh banyak UMKM pada masa yang akan datang. Bahkan, ada 57 persen usaha kecil yang berencana untuk menunda investasi dan ekspansi bisnis. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak pelaku usaha yang masih sangat berhati-hati dalam melakukan keputusan bisnis.

Dengan penambahan kasus baru Covid-19 yang terus meningkat setiap harinya, ditambah dengan masih belum jelasnya waktu yang dibutuhkan untuk memberikan vaksin,  yang diperlukan adalah keterbukaan informasi dari pemerintah. Bagi pelaku usaha, informasi yang jelas dari pemerintah tentunya akan mengurangi informasi asimetris (asymmetric information) dan akan mempermudah usaha untuk melakukan penyesuaian dalam membuat keputusan, khususnya terkait investasi dan ekspansi produksi.

Keterbukaan informasi ini bisa jadi bukan suatu hal yang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat dan juga pelaku usaha. Khususnya ketika pemerintah berkali-kali membuat prediksi yang sangat optimistis terkait penanganan wabah di Indonesia. Dengan menjaga ekspektasi banyak pihak, harapannya perilaku masyarakat, baik dari sisi ekonomi maupun dalam menghadapi Covid-19, bisa semakin baik.

Dengan hal ini tentunya tingkat kematian dan kasus positif bisa terus dikurangi dan harapannya ekonomi bisa tumbuh dengan baik. Untuk ini, pemerintah mungkin perlu membaca kembali kata-kata William Shakespeare, ”Expectation is the root of all heartache”. Untuk hal ini, Lucas Jr dan Shakespeare sepertinya sependapat.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 4 Februari 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.