Ari Kuncoro: Perilaku Konsumsi dan Tabungan

0

Perilaku Konsumsi dan Tabungan

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Harian Kompas (2/2/2021) – Seperti halnya saat depresi besar di Amerika Serikat, sesuai dengan resep dari The General Theory of Employment, Interest, and Money dari Keynes (1936), pengeluaran pemerintah menjadi andalan ketika hampir semua komponen sisi permintaan konsumsi, investasi, dan ekspor-impor lumpuh akibat pandemi. Namun, sebesar apa pun pengeluaran pemerintah, dampak akhir pada perekonomian tergantung dari daya ungkit. Padahal, daya ungkit ditentukan tidak hanya oleh proporsi pendapatan yang dibelanjakan, tetapi juga dipengaruhi berbagai faktor sosio-ekonomi dan budaya.

Daya ungkit

Daya ungkit dalam perekonomian dapat terlihat dari rata-rata proporsi pendapatan yang dikonsumsi (average propensity to consume/APC) sebesar 68,3 persen yang dapat dianggap sebagai kecenderungan rata-rata konsumsi jangka panjang marginal (marginal propensity to consume/MPC).  Dengan besaran MPC ini, daya ungkitnya diperkirakan secara kasar 3,15 atau setiap rupiah pengeluaran eksogen seperti pengeluaran pemerintah akan menghasilkan dampak Rp3,15 pada pendapatan nasional.

Pandemi Covid-19 tidak otomatis menurunkan APC bulanan. Penurunan pendapatan dihadapi dengan tabungan dan penurunan cicilan pinjaman. Menurut survei Indeks Keyakinan Konsumen BI, cicilan pinjaman pada Agustus 2020 masih 12,2 persen dari pendapatan dan turun menjadi 10,2 persen pada Desember 2020.

Bantuan sosial mempunyai dua efek. Pertama, mempertahankan APC kurang lebih pada tingkat historisnya untuk tetap memberikan daya ungkit yang cukup. Kedua, meningkatkan proporsi tabungan terhadap pendapatan karena kekhawatiran terhadap pandemi dan kesempatan kerja. Keduanya cenderung menurunkan daya ungkit.

Pada awal pandemi, Maret 2020, proporsi yang dibelanjakan untuk konsumsi 69 persen dan tidak berubah pada Desember 2020. Sementara pada periode yang sama, porsi tabungan naik dari 18,6 persen ke 20,8 persen. Pertumbuhan negatif tahunan konsumsi masyarakat minus 5,52 persen dan minus 4,04 persen pada triwulan II dan III-2020 sebagian besar disebabkan oleh penurunan APC dari kelompok berpendapatan di atas Rp5 juta, dari 64,5 persen pada (Maret 2020) menjadi 63,4 persen (Desember 2020). Umumnya, kelompok ini mengurangi pengeluaran untuk leisure sehingga mengurangi daya ungkit.

Berita baiknya, konsumsi kelompok berpendapatan hingga Rp3 juta per bulan naik sebagai dampak dari bantuan sosial. Angka APC untuk kelompok ini 70 persen dari pendapatan pada Desember 2020. Akibatnya, angka APC untuk semua kelompok pendapatan dapat dipertahankan pada 69 persen atau sama dengan besarannya pada awal pandemi, Februari atau Maret 2020. Perbaikan APC kelompok ini terjadi karena indeks ketersediaan kesempatan kerja pada Desember membaik walau jauh  di bawah 100, sebagai batas antara pesimistis dan optimistis. Akibatnya, indeks pembelian barang tahan lama untuk kelompok pendapatan hingga Rp5 juta per bulan membaik dari 68,7 persen (Juli) menjadi 79,7 (Desember).

Perilaku kekerabatan

Peningkatan proporsi pendapatan yang ditabung tidak menutup kemungkinan dari usaha mengumpulkan sumber daya pada tingkat keluarga besar. Hal ini mirip jaring pengaman sosial saat situasi sedang tidak menentu. Eratnya semangat kekerabatan (extended family) memungkinkan mereka berbagi bantuan sosial dan sumber-sumber pendapatan lain ala Household Altruism Model (Becker [1974 dan 1981]) untuk mempertahankan kesejahteraan bersama.

Liburan Lebaran, Natal, dan Tahun baru digunakan sebagian pekerja migran untuk kembali ke daerah asal sebagai ”pertahanan terakhir” dengan jaringan kekerabatan sebagai modal sosial untuk bertahan dari dampak ekonomi dari pandemi. Walaupun setiap anggota keluarga dewasa masih mempunyai tabungan, fungsinya menjadi instrumen pengumpulan sumber daya pada tingkat keluarga besar ala intra household allocation model (Behrman [1992] dan Haddad et,al [1994]) untuk berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian kesempatan kerja.

Implikasi kesehatan

Perilaku mikro di atas juga mempunyai implikasi kesehatan. Definisi keluarga besar adalah keluarga inti ditambah keluarga bukan inti dan makan dari satu dapur. Hal ini memungkinkan kluster penularan pada tingkat keluarga. Sebagai unit ekonomi, keluarga besar dan komunitas lokal di daerah semiperkotaan dan perdesaan juga digunakan sebagai penyangga penurunan pendapatan. Lonjakan kasus baru positif yang tinggi di beberapa provinsi di Jawa mungkin disebabkan oleh fenomena itu.

Hanya beberapa negara yang dapat menyeimbangkan pencegahan penyebaran pandemi, mempertahankan kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan. Salah satunya Vietnam, yang berkarakter mirip Indonesia dengan populasi penduduk perdesaan yang cukup besar, mobilitas kota-desa sebagai pekerja migran, dan hubungan kekeluargaan yang erat. Vietnam tumbuh 2,62 persen pada triwulan III-2020, di antaranya dengan memanfaatkan perilaku kekerabatan, tetapi saat bersamaan menekan penyebaran pandemi. Berdasarkan pengalaman perang dengan AS pada 1960-an dan 1970-an, Vietnam menggunakan 3T (testing, tracking, dan treatment) pada tingkat mikro, selain menegakkan disiplin 3M (memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun, dan menjaga jarak) pada tingkat komunitas kecil.

Indonesia dapat menjalankan konsep intervensi mikro komunitas yang sudah ada. Tentunya dengan sumber daya yang ada, jadi tak efektif jika semuanya disebar secara merata di setiap daerah. Untuk itu, konsep penggelaran berdasarkan potensi ancaman, peningkatan kasus positif secara drastis, daerah pekerja migran, dan lain-lain dapat digunakan pada komunitas kecil seperti RT, RW, kelurahan, dan kecamatan. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 2 Februari 2021. Rubrik Analisis Ekonomi. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.