LM FEB UI: Strategi Kelola Efek Sosial Nocebo Sebagai Akumulasi Pemberitaan Covid-19

0

LM FEB UI: Strategi Kelola Efek Sosial Nocebo Sebagai Akumulasi Pemberitaan Covid-19

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Senin (13/4/2020) Media daring intipesan.com, pada kanal Article-Redaksi, memuat tulisan Niken Ardiyanti, Psikolog dan Adam F. Amru, Konsultan di Lembaga Manajemen FEB UI, yang berjudul “Strategi Optimal Mengelola Dampak Negatif Efek Sosial Nocebo Sebagai Akumulasi Pemberitaan Covid-19”. Berikut tulisannya.

“Strategi Optimal Mengelola Dampak Negatif Efek Sosial Nocebo Sebagai Akumulasi Pemberitaan Covid-19”

Pemberitaan mengenai Covid-19 sejak akhir bulan Februari 2020 melalui berbagai saluran media komunikasi, hingga hari ini di beragam media, elektronik maupun cetak, sudah sampai titik akumulasi yang sangat jenuh. Kita semua dihadapkan pada kondisi ketika informasi hadir tanpa lagi mampu dikendalikan, mulai dari usia anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia.

Sejak awal Maret 2020, ketika Presiden RI secara resmi mengumumkan terdapat dua warga Indonesia yang positif terpapar Covid-19, momen tersebut secara valid meruntuhkan keyakinan masyarakat Indonesia selama ini bahwa Indonesia bebas Covid-19. Derasnya arus informasi yang bersumber dari media sosial tak mampu diredam, sehingga apabila kondisi seperti ini tidak segera disadari, dapat berakibat buruk pada diri individu.

Perubahan konteks yang begitu dramatis setelah pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, mengubah tatanan pola berkehidupan negara dan organisasi secara langsung. Kebijakan #SchoolFromHome dan #WorkFromHome segera dilanjutkan dengan kebijakan ‘social distancing’ dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Respon perilaku masyarakat berbeda-beda, ada yang segera memperhatikan A to Z mengenai pandemi Covid-19, ada yang langsung mencari masker dan antiseptik di apotik/toko online, hingga melakukan belanja spontan kebutuhan pokok sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan tidak sedikit pula yang memilih untuk acuh menjalankan rutinitas seperti sediakala, tanpa mengindahkan fakta bahwa sedang terjadi pandemi Covid-19 di sekitar kita.

Tidak perlu menunggu lama, persebaran virus Covid-19 ini mengalami peningkatan sejak awal Maret hingga saat ini dan belum diketahui apakah Indonesia sudah mampu menekan dan mengendalikan persebaran paparan virus, atau kita saat ini masih berjuang dalam fase masa kritis.

Di sisi lain, peningkatan jumlah pasien yang terpapar dan jumlah korban meninggal lebih besar daripada jumlah pasien yang sembuh. Pasien terpapar umumnya datang dengan keluhan di antaranya, tekanan darah tidak stabil, demam, dan gangguan sesak pernapasan. Penanganan awal sesuai dengan protokol kesehatan standar, menyimpulkan beberapa pasien masih dapat melakukan karantina mandiri di rumah selama #14 hari secara disiplin.

Namun demikian, walaupun protokol kesehatan standar sudah diberikan, bagaimana seorang individu memberikan makna terhadap apa yang sedang dialaminya, melibatkan sebuah rangkaian proses penilaian atau judgement yang berasal dari persepsi individu tersebut.

Ada individu yang yakin bahwa dirinya mampu melawan ganasnya virus dengan cara meyakinkan dirinya atau ‘self affirmation,’ bahwa ia mampu menghadapi masa karantina mandiri., Iia sangat percaya bahwa dengan fokus dan disiplin menjalankan protokol kesehatan selama 14 hari ia mampu mengusir virus Covid-19 dari tubuhnya, dan hal ini terbukti benar, setelah menjalankan tes sejumlah 2 kali maka ia dinyatakan negatif virus Covid-19.

Pada individu lain, ketika dinyatakan terpapar Covid-19, kondisi ini baginya seakan vonis mati, walaupun sebenarnya tidak demikian. Ia mengindahkan protokol kesehatan yang wajib dilakukan, tapi lebih dipengaruhi oleh pikiran akan bayangan negatif dampak dari virus Covid-19 yang ia lihat di berbagai negara di dunia. Akibatnya, ia yang tadinya relatif cukup sehat, mendapati keluhan sesak napas yang tadinya mulai hilang, sehingga ia harus menjalankan isolasi di rumah sakit.

Kedua contoh di atas sebagai pengantar dari penjelasan teori sugesti. Apa yang dialami kedua individu pasien tersebut di awal serupa, yakni fakta bahwa keduanya terpapar virus Covid-19, yang menjadi pembedanya adalah reaksi atau respon perilaku kedua orang tersebut. Pasien A lebih memilih untuk menerima kondisi dan berusaha untuk mengalahkan Covid-19 dan berpikiran positif dengan menjalankan secara konsisten dan disiplin protokol kesehatan yang diberikan dokter. Sedangkan Pasien B, kecil hati dan merasa tidak yakin mampu menghadapi Covid-19 walaupun dengan protokol kesehatan yang sudah direkomendasikan sekalipun.

Kedua contoh perilaku pada pasien A dan pasien B merupakan representasi bahwa informasi yang disampaikan oleh ahli memberikan pengaruh yang bersifat sugesti. Sugesti yang berdampak pada munculnya perilaku positif disebut sebagai Placebo. Asal kata dari bahasa Latin, ‘saya akan senang’. Sedangkan sugesti yang diperkirakan memberikan dampak negatif disebut sebagai Nocebo, dalam bahasa latin berarti ‘saya akan terluka’. Pada deskripsi pasien A di atas, ia mendapatkan efek Placebo dari sugesti positif, sehingga pada akhirnya akan membantu menyembuhkannya (Bejenke, 2011).

Di sisi lain, mungkin dampak Nocebo yang muncul. Dokter dihadapkan pada dilema etis ketika akan menyampaikan prognosa (perkiraan tingkat kesembuhan) kepada pasien. Di satu sisi, dokter berkewajiban menginformasikan kepada pasien adanya risiko pengobatan atau informed consent, namun di sisi lain, briefing tersebut juga memiliki risiko (Colloca, 2011).

Dalam kaitan dengan kondisi kecemasan masyarakat atas pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini, arus masuk informasi dari media yang terfokus pada dampak fatal dari Covid-19 dipersepsi menjadi sebuah bentuk sugesti negatif yang terus terakumulasi masuk ke alam bawah sadar individu. Komunikasi Pemerintah RI kepada masyarakat juga memiliki peran penting, dan direpresentasikan identik dengan komunikasi yang dilakukan oleh dokter dan paramedis kepada pasien (Häuser, 2012). Namun, sangat berbeda pada skala dan kompleksitasnya.

Dengan pola perilaku penggunaan internet dan media sosial yang sudah menjadi lifestyle bagi masyarakat Indonesia, penerimaan dan pengiriman kabar sudah menjadi bagian dari aktivitas kebutuhan dasar (primer), selain sandang dan pangan. Dampaknya adalah masyarakat menjadi sensitif dan langsung menyerap informasi yang diterimanya, termasuk di antaranya narasi informasi yang bersifat negatif, baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Menghadapi arus masuk informasi masuk bagai dibombardir, individu kesulitan menyaring sumber yang layak dipercaya dan yang tidak. Hubungan timbal balik antara kecemasan dan pencarian informasi yang cenderung negatif, menciptakan sebuah siklus yang memperburuk kondisi psikologis dan dapat memicu kondisi psikosomatis.

Social distancing dan #WorkFromHome merupakan anjuran untuk menurunkan kecepatan penyebaran virus, namun memberikan dampak sosio ekonomi yang begitu keras bagi pekerja harian industri yang bertumpu pada kegiatan perdagangan fisik, kuliner, transportasi, dan pelayanan. Ketidakpastian akan periode pandemi dan minimnya informasi positif yang beredar baik di dalam maupun di luar negeri, memberikan akumulasi sugesti negatif bagi masyarakat sehingga rentan mengalami efek Nocebo.

Dampak negatif dari efek Nocebo Sosial (Prunas, 2012) mengacu pada Global Severity Index di antaranya adalah:

1. Penurunan daya tahan tubuh. Individu yang tadinya cukup sehat, mengalami sistem imunitas / kekebalan tubuh yang menurun karena reaksi emosi yang tidak disadari dan tidak dapat dikendalikan. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi dengan gizi dan asupan multivitamin maka diperkirakan individu tersebut berpeluang menjadi sakit.

2. Psikosomatis – Gangguan fisiologis yang disebabkan oleh tekanan psikologis akibat ketidakpastian dampak sosio-ekonomi yang dirasakan secara langsung maupun tidak, misalnya: GERD, Alergi, Migrain, Maag, dan lain-lain.

3. Paranoid dan gangguan Psikosis lainnya, misalnya Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Individu yang mengalami ini disarankan untuk direferensikan pada dokter psikiatri.

Strategi mengelola dampak negatif efek sosial Nocebo pada individu:

1. Batasi frekuensi mengakses informasi yang Anda prediksi akan memberikan dampak negatif. Hanya diri kita sendiri yang dapat mengukur kapasitas kemampuan kita.

2. Latih diri sendiri untuk melakukan sugesti dengan menerapkan self fullfilling prophecy melalui afirmasi positif, yaitu apa yang kita pikirkan, kita ucapkan, maka kita yakinkan, lalu kita lakukan dan latih untuk menjadi kebiasaan.

3. Segerakan membuat daftar aktivitas pelampiasan yang konstruktif atau Chatarsis dalam rumah bersama keluarga atau bersama komunitas melalui online. Dengan hobi yang sudah lama ditinggalkan karena kesibukan kerja atau sekolah, misalnya bermain musik, diskusi online bersama komunitas, menulis, melukis, memasak dan lain-lain.

4. Konsumsi multivitamin sebagai antisipasi respon adaptif tubuh secara fisiologis menghadapi situasi psikologis pandemi ini. Asupan multivitamin akan meningkatkan imunitas dan membangun sistem kekebalan tubuh secara alami.

5. Lakukan aktivitas #WFH dan #SFH secara konstruktif dengan menjaga pola pikir positif. Buat daftar kegiatan harian sesuai dengan prinsip prioritas, berdasarkan keterdesakan waktu atau urgency dan prinsip kepentingan / importancy.

6. Lakukan protokol kesehatan dengan tindakan preventif yang nyata, melalui cara istirahat cukup, gunakan masker apabila keluar rumah, berjemur di bawah sinar matahari, dan selalu mencuci tangan sesering mungkin selepas dari aktivitas di luar rumah, maupun sebelum makan dan minum.

Semoga bermanfaat, jaga stamina dan pertahankan energi positif, pertahankan semangat, yakinkan diri bahwa kita mampu melalui ini semua dengan tetap waspada dan disiplin pribadi. (hjtp)

Sumber: http://www.intipesan.com/23065-2/#.XpRlUvEdBjU.whatsapp