Budi Frensidy: Terbiasa dengan Bias Mental Accounting

Budi Frensidy: Terbiasa dengan Bias Mental Accounting

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Berdasarkan rilis tulisan Budi Frensidy, Dosen pada Departemen Akuntansi FEB UI yang dimuat dalam media online Kontan.co.id, Kolom Wake-Up Call, Rabu (2/10/2019), dikatakan bahwa salah satu bias kognitif yang kerap dilakukan investor adalah bias mental accounting atau akuntansi mental. Dinamakan akuntansi karena bias ini berhubungan dengan akun-akun terpisah seperti dalam buku besar akuntansi. Sementara kata mental digunakan karena akun-akun ini adanya bukan secara fisik tetapi dalam pikiran dan subjektif. Bias ini pertama kali diperkenalkan pemenang nobel ekonomi 2017, yaitu Profesor Richard Thaler dari University of Chicago.

“Bias akuntansi mental adalah kecenderungan seseorang untuk membuat atau menilai keputusan ekonomi dengan mengelompokkan aset atau sumber uang dalam beberapa akun yang terpisah (non-fungible). Berikut adalah contoh nyata bias ini dalam kehidupan kita sehari-hari,” tutur Budi Frensidy.

Ada dua sumber pendapatan berbeda dari investasi saham yaitu dividen dan capital gain. Apakah investor menganggap keduanya sama? Hampir pasti tidak. Kita cenderung bersedia membelanjakan dividen tetapi tidak rela merealisasikan capital gain dengan menjual sebagian kecil saham kita untuk tujuan yang sama. Investor saham umumnya membuat akun berbeda untuk dividen dan capital gain. Investor mestinya fokus pada yield total dan memandang keduanya fungible (transferrable) atau dapat saling tukar.

Ada dua alasan terjadinya bias akuntansi mental dalam kasus ini. Pertama, investor cenderung tidak mau menyentuh modalnya. Dividen diperlakukan sama seperti pendapatan sewa properti dan portofolio saham sebagai aset propertinya. Kedua, tidak seperti dividen, merealisasikan capital gain untuk dibelanjakan dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari jika harga saham ternyata naik.

“Seorang kawan pernah mengalami ini, yaitu merealisasikan capital gain untuk membeli sebuah mobil kijang seharga Rp 250 juta. Tidak beberapa bulan kemudian, dia hanya menyesali keputusannya karena saham yang dijual harganya naik 100%. Dia pun mengumpat dan menganggap nilai mobilnya bukan Rp 250 juta, tetapi Rp 500 juta,” imbuhnya.

Anda juga mengalami bias ini jika hanya bersedia membeli barang dengan kartu kredit tetapi batal bertransaksi jika harus membayar tunai atau otodebit. Anda membuat akun yang berbeda untuk keduanya. Yang satu akun utang dan lainnya akun kas seperti dalam akuntansi.

“Mereka yang memilih mengambil kredit kendaraan bermotor berbunga efektif 18% p.a. (setara dengan 10% flat) atau membayar cicilan minimum 10% untuk tagihan kartu kredit dengan bunga 2,5% per bulan padahal mempunyai saldo yang cukup di tabungan/deposito bank berbunga 6% p.a. adalah yang paling rugi. Mestinya, mereka membeli kendaraan dengan tunai dan melunasi seluruh tagihan kartu kredit dengan uang yang ada. Yang rasional tidak akan bersedia menerima bunga 6% tetapi harus membayar bunga pinjaman 18%-30% pada saat yang sama,” paparnya.

“Contoh klasik bias akuntansi mental adalah perlakuan kita untuk uang dari hasil undian (found money) atau menang di kasino (house money effect), dengan uang hasil kerja kita. Uang rezeki nomplok cenderung akan dihabiskan karena masuk dalam akun atau kelompok current income. Sementara sebagian dari penghasilan rutin kita bersama portofolio saham, properti, dan deposito akan dimasukkan dalam current asset. Kelompok yang akan diperlakukan paling hati-hati dan dibelanjakan secara konservatif adalah yang ketiga yaitu future income seperti usaha/harta warisan dari orang tua,” jelasnya.

Aplikasi lain tiga kelompok berbeda ini adalah ketika seseorang ditugaskan untuk perjalanan dinas dalam negeri selama 2-3 hari. Untuk itu, dia akan mendapatkan uang saku sebesar Rp 1 juta. Apakah kecenderungan dia untuk membelanjakan uang saku ini akan sama jika diberikan dalam bentuk tunai dan jika ditransfer ke rekeningnya?

Ternyata uang saku yang diterima tunai akan diperlakukan sebagai current income sementara yang ditransfer akan masuk dalam current asset. Karenanya, uang saku tunai akan lebih banyak dibelanjakan daripada jika diberikan ke rekeningnya.

“Contoh klasik lainnya bias akuntansi mental adalah tiket menonton konser yang hilang padahal Anda sudah membeli Rp 1 juta untuk itu. Apakah Anda bersedia membayar Rp 1 juta lagi untuk membeli tiket yang sama jika tiket masih tersedia? Hampir dapat dipastikan, Anda tidak akan mau. Sekarang misalkan Anda belum membeli tiket konser itu tetapi sudah menyiapkan dananya dalam sebuah amplop yang ditaruh dalam tas Anda. Ketika akan digunakan, amplop berisi uang itu hilang. Apakah keputusan Anda sama? Sangat mungkin kali ini Anda bersedia membelinya. Ini karena uang yang hilang mempunyai akun yang berbeda dengan akun tiket yang hilang. Anda tidak merasa membeli tiket konser seharga Rp 2 juta untuk kasus yang terakhir karena Rp 1 juta didebit di akun yang berbeda,” tambahnya.

Tidak seperti bias pengendalian diri, bias ilusi kontrol, dan efek disposisi yang dapat sangat merugikan, dampak bias akuntansi mental tidak begitu mengkhawatirkan, setidaknya di mata saya. Memperlakukan berbeda found money, house money, dan bonus tahunan dari penghasilan rutin bulanan adalah wajar.

Membuat akun terpisah untuk dividen dan capital gain tidak ada salahnya. Mengelompokkan aset menjadi current income, current asset, dan future income juga sangat masuk akal. Yang jelas-jelas harus dihindari adalah membiarkan pinjaman berbunga tinggi saat masih ada uang nganggur kita di tabungan/deposito yang berbunga jauh lebih rendah.

“Sejatinya, bias akuntansi mental dapat juga memberikan manfaat. Contohnya, menyiapkan akun terpisah khusus dana pensiun sangat dianjurkan, terutama mereka yang boros. Akun ini akan dapat mendisiplinkan diri mereka untuk tidak sembarangan membelanjakan uangnya pada usia muda,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: https://kolom.kontan.co.id/news/terbiasa-dengan-bias-mental-accounting?page=1