Pesan Ari Kuncoro untuk Bank Indonesia Terhadap Tingkat Suku Bunga

Pesan Ari Kuncoro untuk Bank Indonesia Terhadap Tingkat Suku Bunga

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Bank Indonesia (BI) masih diperkirakan menahan suku bunga acuan pada rapat bulan Agustus 2019. Dimana konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa BI masih menahan suku bunga acuan di level 5.75% berdasarkan dari 13 ekonom yang disurvei dan hanya 4 yang memperkirakan pendapatnya bahwa akan adanya pemangkasan sebesar 25 basis point.

Apabila suku bunga berpotensi dipertahankan maka pelaku pasar melakukan profit taxing. Akibatnya, IHSG Rupiah dan obligasi terkoreksi pada perdagangan bulan lalu. Pasar pun masih menanti arah kebijakan moneter yang diambil oleh BI.

“Situasi ini berbeda dari 21 Juli lalu ketika BI menurunkan ke level 5.75%. Adanya penurunan tersebut membuat modal dari Amerika Serikat (AS) lari ke negara-negara emerging market. Namun, sebaliknya membuat ketakutan para pemodal Internasional bahwa resesi akan terjadi di AS. Pada saat ada rasa ketakutan, maka mereka pergi ke aset yang teraman yang bersifat jangka pendek,” ucap Ari Kuncoro selaku Dekan FEB UI dan narasumber dalam Acara News Talkshow Squawk Box “Menanti Risalah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Terkait Suku Bunga” di CNBC Indonesia, Kamis (22/8/2019).

Data menunjukkan bahwa tingkat bunga jangka pendek dari obligasi AS lebih tinggi dari tingkat bunga jangka panjang. Selain itu, data konsumen yang baru dikeluarkan menunjukkan terjadi pengeluaran konsumsi. Maka, The Fed (AS) saat ini kebingungan untuk arah suku bunga. Apabila GDP AS turun dari 2,1% menjadi 2,0% maka terkonfirmasi dua triwulan berturut-turut GDP akan turun. Sehingga ekspektasi konsumen di AS masih dikatakan bagus.

Presiden Donald Trump saat ini memberikan sedikit konsensi yang menjadi angin segar bahwa kemungkinan bisa ditunda sampai 2021 terhadap resesi. Arus modal jangka pendek dan menengah dalam bentuk pembelian surat berharga Nasional dan pasar saham maka akumulasinya sampai Juli terhadap dollar AS akan terus meningkat dan menimbulkan sentimen positif sama halnya dengan neraca pembayaran secara keseluruhan.

“Pemerintah berusaha semaksimal mungkin mengurangi dampak guncangan dari eksternal. Indikator menunjukkan bahwa keinginan masyarakat untuk membeli barang tahan lama & kendaraan bermotor serta properti itu masih flat,” tuturnya.

Saat ini, perekonomian kita menggambarkan bahwa harus ada tindakan-tindakan lanjutan dari pemerintah terhadap lampu kuning kontraksi ekonom. Misalnya, statement di negara-negara Barat mulai terjadi kontraksi dan negara kita harus mengantisipasinya dengan mempercepat pengeluaran pemerintah untuk transfer terkait kebutuhan rakyat kecil.

“Kita harus membuat indeks yang positif. Ini merupakan suatu kesempatan untuk kita pada saat negara-negara Barat mengalami resesi maka ini masih menunjukkan prospek pertumbuhan. Pemerintah kita harus bisa memanfaatkan hal tersebut dengan mengambil langkah untuk siap memberikan stimulus terhadap perdagangan dalam negeri. Insentif pajak perlu diberikan untuk perusahaaan berorientasi ekspor,” ungkapnya.

Apabila bulan Desember ada kesepakatan perang dagang AS-Cina, maka resesi akan mundur ke 2021 dari perkiraan Oktober 2020. Bagi Indonesia waktu untuk bersiap-siap menghadapi hal tersebut semakin panjang. “Tetapi, itu memberikan sinyal bahwa situasinya tidak tepat bila seandainya BI menurunkan tingkat suku bunga. Maka langkah kebijakan terbaik yang harus diambil oleh BI ialah menahan suku bunga tersebut dibandingkan menurunkannya,” tutupnya. (Des)