Seminar Reguler Lembaga Demografi FEB UI Kaji Muslim Kelas Menengah dalam Mekanisme Pasar Era Neo-Liberal

Seminar Reguler Lembaga Demografi FEB UI Kaji Muslim Kelas Menengah dalam Mekanisme Pasar Era Neo-Liberal

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Masih dalam rangkaian peringatan Hari Jadi ke-55 tahun, Lembaga Demografi FEB UI bekerjasama dengan Forum Kajian Pembangunan (FKJ) menggelar Seminar Reguler dengan tema “Melestarikan Muslim Kelas Menengah dalam Neo-Liberal Indonesia” yang bertempat di ruang Kartono Gunawan, LD, pada Rabu (21/8/2019).

Dosen Pengajar pada Departemen Komunikasi FISIP UI dan Peneliti Lepas Lembaga Demografi FEB UI, Inaya Rakhmani memaparkan bahwa kelas menengah Indonesia menekankan kenyamanan yang dicapai melalui tingkat konsumsi yang tinggi. Pada umumnya, anggota tersebut menganggap penting waktu luang. Bersamaan dengan produktivitas, untuk mengamankan posisi sosial & kekayaan, dan memiliki keinginan untuk kepastian hukum.

Efek sosial dari ekonomi neo-liberal Indonesia melemahkan institusi yang seharusnya menyediakan jaminan sosial. Mekanisme pasar menembus semua aspek kehidupan sosial. Ini membentuk ruang pemisahan antara Muslim Indonesia yang heterogen.

“Melestarikan muslim kelas menengah ini, saya berpendapat bahwa persimpangan antara moralitas Islam dan nilai-nilai neo-liberal pada sosial tradisional bahwa secara paradoks terjadi melalui mekanisme pasar yang diharapkan dapat mendemokratisasi otoritas keagamaan di masa politik dan ekonomi yang lebih bebas,” kata Inaya Rakhmani.

Sementara itu, terdapat konsumerisme kelas menengah terkait bagaimana semakin mengakar dalam kapitalisme neo-liberal. Konsumerisme kelas menengah merupakan konsekuensi dari ketersediaan barang dan jasa global secara bertahap dan konsisten melalui distribusi ritel di masyarakat perkotaan Indonesia.

Promosi merek global melalui iklan merupakan bahan pokok untuk ekspansi industri media. Hal ini menghasilkan konten media yang membuka jalan bagi periklanan barang konsumen yang lebih efektif bagi konsumen kelas menengahnya.

“Misalnya saja, ‘Yuk Ber-Hijrah’ yang dapat membantu menciptakan batas aman untuk memastikan mobilitas sosial Muslim di dunia yang semakin mendunia. Variasi produk halal memberi kita pertanyaan tentang Islam monolitik terhadap setiap makanan halal, perjalanan, sabun & sampo. Seiring dengan berbagai metode distribusi yang mereka butuhkan,” jelasnya.

Konsumerisme halal terhadap suatu produk harus bersertifikasi halal berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saat ini, berbagai destinasi atau produk Indonesia sudah bersertifikasi halal, seperti pariwisata, kuliner, perumahan, kompleks, dan film bertema Islam & program televisi.

“Maka, saya berpendapat bahwa persimpangan antara Islam konservatif dan nilai-nilai neo-liberal melestarikan peran sosial tradisional umat Islam, dan bahwa ini telah dibentuk secara problematis melalui mekanisme pasar yang diantisipasi untuk mendemokratisasikan otoritas keagamaan di masa politik dan ekonomi yang lebih bebas,” tutupnya. (Des)