Ari Kuncoro: Pembangunan Infrastruktur Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Ari Kuncoro: Pembangunan Infrastruktur Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Dekan FEB UI melantik Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) cabang Palangkaraya Periode 2019–2022 dan sekaligus menjadi narasumber dalam Seminar Nasional dengan tema “Pembangunan Infrastruktur dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional.

Dekan FEB UI, Ari Kuncoro memaparkan pertumbuhan inflasi Indonesia dalam 4 tahun terakhir dimulai tahun 2014 menunjukkan inflasi masih tercatat 8,36% per tahun, yang kemudian ditahun 2015, 2016 dan 2017 turun tajam menjadi masing-masing 3,35, 3,02 dan 3,61 persen. Sementara untuk 2018 diperkirakan inflasi per tahun akan tetap terkendali mencapai 3,1% sampai akhir tahun walaupun terdapat tekanan dari depresiasi Rupiah.

Investasi sektor swasta tampaknya tidak cukup kuat untuk sendirian melakuan jump start perekonomian. Metode ekonometri sebab-akibat Granger Causality menunjukan bahwa setelah 2005 pertumbuhan PDB lebih menyebabkan pertumbuhan investasi terutama untuk mesin dan perlengkapan daripada sebaliknya. Investasi swasta lebih banyak menunggu peluang usaha yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ekonomi ketimbang melakukan inisiatif awal (moving ahead of the curve).

“Hal ini menjelaskan mengapa pemerintah mengambil inisiatif memusatkan diri pada pemberian stimulus pada perekonomian melalui pembangunan infrastruktur yang mendorong permintaan masyarakat dan sekaligus menciptakan kapasitas produksi nasional,” ucap Ari Kuncoro di tengah-tengah pemaparan materi dalam Seminar Nasional di Aula Palangka Raya, Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada Senin (15/7/2019).

Dalam hal ini, pemerintah sangat konsen terhadap pembangunan infrastruktur yang menjadi tulang punggung bersama melalui program padat karya dari dana desa dan program pembangunan ekonomi inklusif yang dipelopori BUMN seperti hutan sosial, badan usaha milik desa (BUMDES), balai ekonomi desa (BALKONDES) yang berorientasi pariwisata inklusif dibarengi dengan bantuan pembiayaan seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Dampak pembangunan infrastruktur Indonesia digambarkan dalam berbagai indikator daya saing. Misalnya, pada tahun 2017 indeks peringkat Indonesia untuk kemudahan berusaha (Index of Ease of Doing Business) melejit dari posisi ke 106 menjadi 91, suatu lonjakan 15 anak tangga. Setelahnya, indeks daya saing di tahun 2017 posisi Indonesia naik dari peringkat 41 menjadi 36. Hasil yang konsisten diperoleh dari survei LPI tahun 2018, dimana kita berhasil mendaki 17 anak tangga sehingga menduduki peringkat 46 dari 160 negara yang disurvei.

Sementara itu, dampak pada kesejahteraan pembangunan infrastruktur dilihat dari angka elastisitas tenaga kerja Indonesia yang telah meningkat dari 0,22 pada paruh akhir dari periode bonanza komoditi (2010-2014) menjadi 0,53 pada periode 2015–2017. Pada tahun 2018, BPS juga mencatat bahwa angka kemiskinan Indonesia merupakan yang terendah sejak 1999 sebesar 9,82% dari jumlah penduduk total.

Secara perlahan infrastruktur menghubungkan mesin-mesin pertumbuhan ekonomi daerah melalui sektor perdagangan, hotel dan restoran dan mulai berbagi peran dengan sektor manufaktur. “Selanjutnya peningkatan mobilitas masyarakat antara kota dan desa sebagai akibat semakin baiknya konektivitas juga turut menghubungkan perkotaan dan pedesaan dalam suatu aglomerasi kesempatan kerja yang memberikan akses pada penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya,” tambahnya.

“Penerapan program-program sosial juga bisa meningkatkan kesejahteran, seperti sertifikasi tanah, kartu sehat, kartu pintar dan lain-lain turut memformalkan masyararakat di sektor informal yang selama ini hidup di luar arus utama daya beli (circular flow of national income). Itu semua didukung oleh pembangunan infrastruktur yang mampu menggerakkan pendapatan dan perekonomian Indonesia,” tutupnya. (Des)