Ari Kuncoro : Dampak Ekonomi Putusan MK

Dampak Ekonomi Putusan MK

Ari Kuncoro – Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Sejak 2014 sudah terlihat pola masuk atau keluar modal portepel atau portofolio menjelang Pilpres. Pada 2013, setahun sebelum Pilpres, terlihat peningkatan arus modal jangka pendek keluar dari Indonesia. Situasi ini mencerminkan sikap pemodal untuk menghindari risiko. Saat itu tidak ada petahana sehingga pemodal perlu mengetahui siapa saja yang menjadi calon dan bagaimana rekam jejak masing-masing calon.

Sejak awal 2014, calon mulai mengerucut sehingga para pemodal mulai dapat menghitung risiko dan memasukannya ke dalam pertimbangan alokasi portofolio di antara negara-negara potensi tujuan. Nilai tukar rupiah pada Januari-Maret 2014, sekitar 3 bulan sebelum Pilpres, terapreasiasi 7,4 persen terhadap dollar AS.

Apresiasi nilai tukar rupiah setelah kemenangan pasangan Jokowi-Kalla disebut sebagai Jokowi Effect. Efek ini memberikan kompensasi parsial pada defisit transaksi berjalan yang terus menekan rupiah sejak berakhirnya rezeki komoditas pada 2012.

Pola serupa tapi tak sama terjadi dalam Pilpres 2019, dengan calon wakil presiden berbeda. Pada 2018, satu tahun sebelum pilpres, perang dagang membuat modal jangka pendek kembali ke Amerika Serikat dan pelambatan pertumbuhan ekspor dunia membuat Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran 7,1 miliar dollar AS pada 2018. Kondisi ini mendorong pelemahan rupiah yang mencapai Rp 15.200 per dollar AS pada Oktober 2018.

Titik balik terjadi akibat kenaikan suku bunga acuan di AS yang dianggap terlalu dini. Yang terjadi, tingkat bunga jangka pendek obligasi pemerintah AS lebih tinggi dari jangka panjangnya (inverted yield curve), yang mengisyaratkan resesi sudah dekat. Arus modal kembali ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.

Arus modal ke pasar saham Indonesia meningkat sejak November 2018. Hal ini mendorong penguatan rupiah hingga mencapai Rp 14.200 per dollar AS pada Januari 2019. Arus modal ke pasar saham Indonesia masuk secara bertahap dari awal 2019 hingga melonjak 4 kali lipat pada April 2019, menjadi sekitar 4,5 miliar dollar AS, yang kurang lebih sama dengan arus pada Juni-Juli 2014 (Pilpres 2014). Arus masuk meningkat kembali menjadi 4,8 miliar dollar AS pada Juni 2019, bulan pada saat Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan terkait gugatan perselisihan hasil pilpres 2019. Namun, penguatan nilai tukar tidak dapat terjadi drastis karena kelemahan di neraca dagang atau transaksi berjalan.

 

Ekspektasi Positif

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai produk domestik bruto (PDB) dan komponennya baru tersedia hingga triwulan I-2019, sehingga prospek mendatang hanya dapat diduga dari survei yang bersifat forward looking. Salah satunya, Survei Kepercayaan Konsumen yang diterbitkan Bank Indonesia.

Prospek pemulihan ekonomi dalam negeri di tengah perang dagang AS-China tampaknya tidak terlalu terpengaruh tuntutan pasangan calon ke MK terkait hasil pilpres.

Angka indeks kepercayaan konsumen pada kondisi ekonomi saat ini (IKE) yang dikeluarkan BI pada Mei sebesar 113,5 atau naik 2,1 poin dibandingkan dengan April. Semua komponen penyusun IKE meningkat, terutama Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja. Keinginan untuk membeli barang-barang tahan lama seperti peralatan elektronik dan komunikasi serta perabot rumah tangga juga meningkat seiring dengan peningkatan kepercayaan terhadap penghasilan di masa depan. Ekspektasi positif ini terutama berasal kelompok usia produktif yang berusia 20-50 tahun.

Ekspektasi positif itu konsisten dengan sisi produksi perekonomian. Indikator yang digunakan adalah indeks manajer pembelian (PMI) di sektor manufaktur dan jasa-jasa yang harus memperkirakan persediaan barang yang pantas berdasarkan perkiraan kondisi perekonomian mendatang. Indeks yang dikeluarkan Nikkei menunjukkan, sepanjang pra pilpres 2018, indeks PMI Indonesia rata-rata di atas 50, yang menunjukkan optimisme perekonomian 2019 akan lebih ekspansif. Indeks ini konsisten pada Maret 2019 dengan angka 51,2 yang lebih tinggi dari rata-rata ASEAN (50,3), Singapura (47,9), Malaysia (47,2) dan Thailand (50,3).

Momentum pertumbuhan investasi terganggu pada triwulan I-2019 akibat disrupsi perang dagang serta sikap melihat dan menunggu konklusi pilpres. Hal ini ditunjukkan dalam penurunan Indeks Tendensi Bisnis dari 104,71 menjadi 102,1 pada triwulan IV-2018. Harapannya, konklusi MK akan memperkuat ekspektasi positif sehingga pertumbuhan realisasi investasi (data Badan Koordinasi Penanaman Modal) 5,3 persen per tahun pada triwulan I-2019 dapat menjadi paling tidak seperti triwulan I-2018 (18,1 persen) atau lebih pada triwulan-triwulan berikutnya pada 2019. Dengan asumsi tidak ada gejolak eksternal yang luar biasa, dengan pertumbuhan investasi seperti ini dan konsumsi yang stabil, maka angka median dalam kisaran proyeksi pertumbuhan ekonomi versi pemerintah (5,4-5,8 persen) dan BI (5,2-5,6 persen) mungkin akan tercapai.

Tentu saja Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan arus modal jangka pendek yang berfluktuasi. Potensi disrupsi eksternal yang mengancam arus modal dan neraca dagang akibat perang dagang AS-China tetap tinggi. Retorika mengatakan, kedua belah pihak siap bertempur sampai titik darah penghabisan.

Dari KTT G-20 di Osaka, Jepang, terdengar berita baik bahwa terjadi gencatan senjata yang kedua, sementara kedua belah pihak kembali ke meja perundingan menyelesaikan perbedaan pendapat. Presiden AS Donald Trump mengizinkan kembali perusahaan-perusahaan AS memasok komponen ke Huawei dan menunda pengenaan tarif 25 persen pada produk-produk China senilai 300 miliar dollar AS yang masih terkena tarif. Hal ini, untuk sementara waktu, berpotensi meningkatkan harga komoditas ekspor Indonesia yang akan mengurangi tekanan pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

Kendati hal ini merupakan angin segar, apa pun dapat terjadi di masa mendatang. Bagi Indonesia, usaha-usaha untuk diversifikasi ekspor, menjadi bagian dari rantai pasokan dunia, dan investasi pada industri subsitusi impor bahan baku/barang setengah jadi/komponen pengembangan ekspor jasa, tetap harus dilakukan. Secara realistis, impor input industri tidak dapat dihindari.

Akan tetapi, turut serta dalam rantai pasok internasional sebagai upaya subsitusi input industri yang masih diimpor juga penting. Realisasi investasi di sektor industri penghasil input industri, regulasi, dan perizinan tetap harus dirampingkan, bahkan kalau perlu menggunakan pendekatan pintu ke pintu seperti dalam kasus relokasi industri pendukung komponen industri teknologi tinggi ke Vietnam.

Sumber : Harian Kompas, 02 Juli 2019