Saran Abdillah Ahsan Terhadap Pemerintah untuk Menghapus Diskon Harga Rokok

Saran Abdillah Ahsan Terhadap Pemerintah untuk Menghapus Diskon Harga Rokok

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Harga Transaksi Pasar (HTP) alias harga jual rokok diusulkan sesuai Harga Jual Eceran (HJE) atau harga sesuai banderol yang tertera pada pita cukai. Kebijakan yang mengizinkan nilai penjualan bisa di bawah harga banderol bertentangan dengan semangat pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

Merujuk aturan yang ada saat ini, HTP boleh setara 85% dari harga banderol. Misalnya, kalau harga banderolnya Rp10.000, boleh menjual Rp8.500 di pasaran. Menjual di bawah 85% pun masih tidak melanggar peraturan asalkan dijualnya tidak lebih dari 40 kota atau area yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.

Menurut peneliti atau Wakil Kepala PEBS FEB UI, Abdillah Ahsan mengatakan dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Semakin mahal semakin baik dan jika sebaliknya, semakin murah, semakin sulit proses pengendaliannya.

Contohnya, rokok Philip Morris Bold isi 12 batang, yang merupakan produk PT HM Sampoerna Tbk, dijual Rp12.000 per bungkus. Padahal, harga banderolnya adalah Rp13.440 per bungkus. Iklan diskon harga rokok dari produk rokok tersebut juga terpampang luas di billboard dan toko-toko di berbagai daerah.

“Entah bagaimana caranya, tapi harga rokok itu harus mahal. Supaya tidak gampang dibeli siapa saja. Atas dasar itu, harus direkomendasikan agar HTP rokok bisa dinaikkan minimal menjadi 95% dari harga banderol atau idealnya 100%,” ungkap Abdillah Ahsan dalam rilis tulisannya di Kontan.co.id, (2//6/2019).

Praktik ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156 tahun 2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor Per-37/BC/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Aturan ini bertentangan dengan peraturan yang posisinya lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini memuat ketentuan pelarangan potongan harga produk tembakau atau diskon.

Dalam koridor semangat pengendalian konsumsi rokok, kata Abdillah, kedua aturan yang membolehkan diskon harga itu memang bisa jadi kontraproduktif. Padahal amanat Undang Undang Cukai menegaskan pemberlakuan tarif tambahan kepada produk rokok ditujukan untuk pengendalian konsumsi rokok.

Dengan semangat penerimaan negara saja, HTP lebih rendah dari harga banderol tidak menjadi perhatian pemerintah. ”Karena yang penting bagi pemerintah adalah penerimaan negara yang masuk. Mau dijual berapa pun (lebih murahnya) asal tarif cukai dibayar, itu tidak masalah. Tapi dalam praktiknya lebih fokus ke dalam penerimaan negara. Sehingga, lebih ketat kalau harga transaksi pasar di atas HJE,” paparnya.

“Maka untuk mengembalikan semangat pengendalian konsumsi rokok, aturan yang membolehkan diskon rokok itu perlu direvisi. Setidaknya supaya harga tertera pada banderol menjadi berwibawa. Revisi tersebut bisa dilakukan pemerintah memanfaatkan momen Hari Tanpa Tembakau se-Dunia yang jatuh pada 31 Mei 2019,” tutupnya. (Des)

 

Sumber : https://nasional.kontan.co.id/news/akademisi-menyarankan-agar-pemerintah-menghapus-diskon-harga-rokok