Ari Kuncoro : SDM Nasional dan Transaksi Berjalan

SDM Nasional dan Transaksi Berjalan

Ari Kuncoro, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Bagi suatu negara, produktivitas dalam arti luas, selain mencakup kemampuan menghasilkan pertumbuhan yang cukup menciptakan kesempatan kerja sehingga memberikan balas jasa cukup, juga mencakup daya saing negara tersebut menghasilkan devisa dari ekspor untuk membiayai pembangunan (Pettinger [2008]). Bukan saja sebagai akibat dari tabungan masyarakat yang kecil dibandingkan dengan investasi, namun defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan mencerminkan produktivitas sumber daya manusia suatu negara yang rendah.

Data neraca perdagangan Indonesia yang defisit 2,5 miliar dollar AS pada April 2019 merupakan konsekuensi dari dampak perang dagang Amerika Serikat-China yang telah berkembang dari sekadar ancam-mengancam menjadi perang panas. Selama ini, usaha mitigasinya dengan mencoba meningkatkan ekspor dengan mencari negara-negara tujuan baru, menekan ekonomi biaya tinggi, terutama dwelling time di pelabuhan, dan menjadi anggota rantai pasok dunia.

Apakah ada hal lain yang dapat dikerjakan? Dalam hal ini, pencerahan dari teori pertumbuhan endogen dan pengalaman negara-negara Asia Timur dalam penguatan neraca perdagangan adalah dengan menguatkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Kualitas SDM 

Kualitas SDM tampaknya berdampak pada daya saing negara yang diwakili surplus transaksi berjalan. Dalam hal ini, rerata skor Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) untuk matematika, membaca, dan sains sebagai proxy kualitas SDM. Suatu analisis regresi sederhana cross-section skor PISA tersebut menjelaskan secara signifikan mengapa suatu negara dapat mencapai surplus neraca pembayaran. Usaha untuk menambahkan variabel penjelas yang lain, yang mewakili daya saing, membuat baik variabel skor PISA maupun variabel baru tersebut menjadi sama-sama tidak signifikan. Hal ini mengisyaratkan kesalahan pada tingkat dasar harus dikoreksi pada jenjang-jenjang selanjutnya, baik secara individual maupun sistemik.

Skor PISA menunjukkan kemampuan dasar, yang pada saat dewasa diperlukan seseorang untuk berpikir di luar kotak (out of the box), melihat dan mendiagnosis masalah dengan tepat, serta mencari solusi. Walaupun skor PISA ini hanya menguji kemampuan individu, tetapi akan memengaruhi kemampuan yang lain dalam jenjang pendidikan berikutnya, termasuk kemampuan bekerja sama dalam tim.

Ada tiga negara di ASEAN yang menghasilkan neraca pembayaran yang seimbang (surplus walaupun tidak berlebihan) yang dapat dijadikan perbandingan. Negara-negara tersebut adalah Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pada 2017, surplus transaksi berjalan masing-masing negara itu berturut-turut 10,8 persen, 3 persen, dan 4,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Yang menarik, ketiga negara tersebut mempunyai keterlibatan lebih tinggi di jaringan pasok internasional dibandingkan dengan Indonesia (Ando dan kimura [2013]).

Dampaknya, tidak saja industri-industri dalam negeri penghasil input aktif dalam menghasilkan input-input untuk industri dalam negeri (menghemat devisa), tetapi juga menghasilkan produk-produk antara yang dibutuhkan industri berorientasi ekspor di dalam negeri dan di luar negeri (menghasilkan devisa). Dari segi ekspor jasa pariwisata, Indonesia tidak terlalu tertinggal dari Malaysia (7,3 persen versus 8,3 persen dari total ekspor barang dan jasa), sementara Thailand mencatat 18,3 persen.

Mengejar ketertinggalan
Memang Indonesia masih mempunyai porsi tenaga kerja lulusan sekolah dasar (SD) yang cukup besar, yaitu sekitar 40 persen dari total tenaga kerja. Akan tetapi, dari segi pendidikan sekunder dan pendidikan tinggi, secara proporsi tidak terlalu tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand.

Pertanyaannya, mengapa dalam keterlibatan di jaringan produksi internasional Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka. Rantai pasok internasional, baik manufaktur maupun jasa, bukanlah sesuatu yang dapat dimasuki dengan mudah. Sifatnya lebih merupakan suatu klub eksklusif, dengan calon anggota baru yang hanya dapat bergabung setelah memenuhi nilai-nilai profesionalisme tertentu seperti integritas, kemampuan negosiasi, koordinasi lintas bangsa dan budaya, menepati waktu, serta menjaga kualitas.

Selain memperbaiki iklim investasi, dengan dukungan dana abadi dari pemerintahnya masing-masing, Malaysia dan Thailand sejak pertengahan 1980-an mengambil strategi memotong kurva pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai profesionalisme pada SDM dengan mendorong lembaga-lembaga pendidikan mereka untuk mengikuti akreditasi internasional. Melalui lembaga-lembaga akreditasi tersebut, pembelajaran terbaik untuk meningkatkan mutu SDM disebarkan. Strategi ini kemudian dilakukan universitas, pendidikan vokasi, korporasi, dan lain-lain, yang ingin meningkatkan kualitas SDM dan meningkatkan reputasi. Kemampuan perencanan, koordinasi, negosiasi, percaya diri dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman tampaknya ikut menjelaskan keberhasilan mereka masuk dalam radar menjadi anggota rantai pasok internasional.

Untuk Malaysia, dampaknya meningkatkan ekspor jasa dan pariwisata dari 5,2 persen nilai ekspor barang dan jasa pada tahun 2001 menjadi 8,2 persen pada 2017. Dampak yang lebih besar adalah peranannya dalam rantai pasok produk-produk teknologi tinggi. Ekspor produk teknologi tinggi pada 2017 mencapai 60 persen dari total ekspor manufaktur, naik dari 53 persen sejak 1990. Thailand memang memusatkan diri pada pariwisata, akan tetapi porsi teknologi tinggi dalam ekspor manufaktur tetap tinggi, yaitu 21,5 persen pada 2017. Sementara itu, sampai dengan 2017, Indonesia baru mencapai 5,4 persen. Yang mengejutkan adalah pendatang baru Vietnam yang pada 2018 nilai ekspor teknologi tingginya sudah mencapai 29,5 persen dari ekspor manufaktur.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, begitu kata pepatah. Pendidikan tinggi di Indonesia sudah mulai bergerak sejak 2005 dengan mengikuti program akreditasi internasional untuk dapat menyelenggarakan program-program gelar ganda. Walaupun masih di bawah universitas-universitas terkemuka di Malaysia dan Thailand, China yang sudah masuk rantai pasok internasional menargetkan pendidikan tinggi sebagai sumber devisa.

Akan tetapi, paling tidak Indonesia sudah mulai masuk radar internasional, seperti sistem peringkat QS (Quacquarelli Symonds) dan THE (Times Higher Education). Sampai saat ini untuk Indonesia, UI, ITB, dan UGM masih yang teratas dibandingkan dengan perguruan tinggi lain di Indonesia.

Dunia korporasi Indonesia juga tampaknya tidak berdiam diri. Beberapa unit pelatihan internal SDM sudah menjelma menjadi universitas korporasi. Beberapa lembaga akreditasi internasional juga sudah siap dengan tren ini. Misalnya, EFMD yang bermarkas di Brussel, Belgia, sejak 1971 sudah diakui secara global sebagai lembaga akreditasi nirlaba yang berdedikasi untuk menyertifikasi lembaga-lembaga pengembangan pegawai perusahaan. Lembaga ini juga memberikan sertifikasi untuk sekolah-sekolah ekonomi-bisnis. Beberapa institusi di Indonesia seperti BI Insitute dan Telkom sudah mulai mengikuti program-program sertifikasinya. Bahkan, BNI Corporate University sudah mendapatkan akreditasi penuh dari EFMD untuk CLIP (Corporate Learning Improvement Program) sejak Maret 2019.

Ada korelasi positif antara surplus transaksi berjalan dengan ranking internasional perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan yang sudah terakrerditidasi internasional di masing-masing negara. Bagi pemerintah Indonesia, menyediakan dana abadi bagi universitas-universitas dalam negeri dan mendorong dunia korporasi untuk terlibat dalam sistem peningkatan SDM melalui jaringan internasional tampaknya sudah menjadi keharusan.

 

Sumber : Harian Kompas 11 Juni 2019