Menyingkap Makna Korupsi di Indonesia Melalui Analisa Diskursus

Menyingkap Makna Korupsi di Indonesia Melalui Analisa Diskursus

Melva Costanty – Humas FEB UI

DEPOK – (2019/04/10) Pemberantasan korupsi di Indonesia terus menemukan kendala. Beberapa peneliti mengungkap bahwa hal ini dikarenakan pendekatan yang digunakan dalam memahami korupsi adalah pendekatan rasionalis. Pendekatan rasionalis memandang korupsi sebagai konsep tunggal, yaitu sebagai hal yang merugikan atau yang tidak diinginkan dalam kehidupan masyarakat. Pelaku korupsi merupakan aktor rasional yang terlepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Hal ini disampaikan oleh Kanti Pertiwi dalam Sharing Session ‘Discourse Analysis for Organization Studies: Exploring What Corruption Means in Indonesia’ di Seminar Room Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Depok.

Dalam sharing session ini, Kanti membagikan hasil risetnya yang menelusuri arti-arti yang berbeda dari korupsi yang dikonstruksikan oleh aktor dalam situasi tertentu, dalam hal ini Indonesia. Kanti menemukan makna alternatif dari korupsi, “Melalui pendekatan alternatif dalam penelitian ini, yaitu analisa diskursus/wacana (discourse analysis), korupsi memiliki makna alternatif yang menunjukkan bahwa pelaku korupsi kental dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi dan budaya, yang kemudian menjelma menjadi unwritten rules yang memengaruhi perilaku para aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari.”

Kanti juga menambahkan bahwa pemberantasan korupsi sendiri sering meminggirkan pemaknaan alternatif dari korupsi, padahal para peneliti telah mengungkap bahwa konsep korupsi itu sendiri adalah konsep yang penuh kontestasi dan tak jarang menjadi sebuah ‘penanda kosong’ (empty signifier). Pasal korupsi sering disebut sebagai “pasar keranjang sampah”, yang berakibat pada minimnya diskusi yang mengupas secara detail perbedaan antara satu perilaku dan perilaku lainnya dalam memilah solusi yang terbaik untuk setiap persoalan. Di lain sisi, wacana anti-korupsi juga terus mereproduksi identitas aktor sosial yang memiliki moral/mental yang buruk, tanpa melihat konteks sosialnya. Selayaknya, pemberantasan korupsi tidak meletakkan beban pada agensi semata dengan menuntut kepahlawanan individu, tapi lebih penting lagi mengupayakan perbaikan struktur sosial seperti penguatan institusi dan perbaikan kesejahteraan.

Kegiatan sharing session ini dihadiri oleh dosen, asisten dosen dan mahasiswa pasca-sarjana di lingkungan FEB UI juga dari Fakultas Hukum dan Ilmu Administrasi.
Kanti Pertiwi adalah staf pengajar Departemen Manajemen dan Rekan Kehormatan (Honorary Fellow) di Universitas Melbourne, dan pernah bekerja sebagai Asisten Analis Gratifikasi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (des)