Bambang Brodjonegoro: Menata Masa Depan Lewat Urusan ‘Belakang’ untuk Bangsa yang Lebih Gemilang

Bambang Brodjonegoro: Menata Masa Depan Lewat Urusan ‘Belakang’ untuk Bangsa yang Lebih Gemilang

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Di sela kesibukan pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dalam 15 tahun ke depan, ada satu aspek penting yang tak boleh kita lupakan, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Satu hal penting yang sering terlupakan adalah layanan dasar untuk urusan ‘belakang’, yaitu layanan sanitasi pengelolaan air limbah domestik atau air tinja manusia.

Urusan ini merupakan urusan terdepan karena sangat terkait dengan kualitas hidup masyarakat yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas manusia Indonesia dan menentukan keberhasilan pembangunan di masa depan.

Di Indonesia, kerugian ekonomi akibat sanitasi buruk mencapai Rp56 triliun atau sekitar 2,3% dari PDB Indonesia tahun 2006 (Bank Dunia, 2008). Dari kerugian tersebut, sebesar 53% dialami pada bidang kesehatan dan produktivitas, 24% di bidang sumber daya air, termasuk peningkatan biaya untuk pengolahan air dan pengurangan potensi produksi perikanan, dan 19% kerugian karena kehilangan waktu produktif dalam mengakses fasilitas sanitasi bersama atau ke tempat buang air besar sembarangan yang berlokasi di luar rumah.

“Sanitasi buruk juga berdampak pada bidang pariwisata yang sangat berpotensi menghambat Indonesia dalam upaya untuk mendongkrak pariwisata sebagai sektor unggulannya. Selain itu, kondisi sanitasi limbah domestik di Indonesia saat ini sudah mengalami perbaikan yang signifikan. Selama satu dekade, tingkat buang air besar sembarangan (BABS) secara nasional dapat diturunkan dari 24,8% pada 2007 menjadi 10,41% pada 2017,” ucap Bambang Brodjonegoro dalam rilis tulisannya di Koran Kompas, (25/2/2019).

Pemerintah pun telah menjalankan program percepatan peningkatan akses terhadap sanitasi layak sejak 2010. Pemerintah pusat memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun rencana strategis sanitasi sesuai dengan kondisi masing-masing, dengan tetap mengacu pada kebijakan dan target pembangunan nasional di bidang sanitasi.

“Dengan adanya rencana strategis ini diharapkan komitmen pemerintah daerah meningkat dalam pembangunan sanitasi. Hal ini tecermin dengan lahirnya dokumen Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) di hampir semua pemerintah daerah, yaitu 485 dari total 512 kabupaten/kota,” imbaunya.

Sementara itu, pemerintah pusat juga memberikan dukungan pendanaan melalui belanja kementerian/lembaga (K/L) ataupun dana alokasi khusus (DAK) yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun 2015-2018 total alokasi untuk kegiatan pengelolaan air limbah domestik dalam DAK bidang sanitasi Rp5,4 triliun dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sekitar 10%

Untuk mengatasi ketertinggalan ini, Pemerintah Indonesia telah memasang target yang cukup tinggi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu akses universal sanitasi dan tingkat BABS sebesar nol persen pada 2019. Selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal yang salah satunya tuntutan untuk memastikan setiap warga negara mempunyai akses kepada pengelolaan air limbah domestik.

“Pembangunan bidang sanitasi yang sesuai dengan target RPJMN 2015-2019 membutuhkan biaya Rp273,7 triliun selama lima tahun. Kebutuhan anggaran tersebut tentunya tak dapat ditanggung seluruhnya oleh anggaran pemerintah pusat saja. Berbagai sumber pendanaan, seperti anggaran pemerintah daerah dan dana masyarakat, perlu dikelola dan diintegrasikan agar pembangunan sanitasi ini dapat lebih cepat, sesuai dengan target kinerja yang ditetapkan,” tambahnya.

Pihak swasta juga diharapkan dapat berperan lebih banyak dalam proyek besar dengan skema pendanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau melalui pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Selain itu, sumber dana masyarakat yang juga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan sanitasi di Indonesia adalah dana swadaya masyarakat ataupun Ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).

“Pada 10 Januari 2017, Kementerian PPN/Bappenas dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Baznas, dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) menandatangani nota kesepahaman tentang Sinergi Pendayagunaan Harta Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya dengan Program Pemerintah dalam Penyediaan Layanan Air Minum dan Sanitasi untuk Masyarakat,” ungkapnya.

Komitmen bersama ini merupakan bukti nyata keterlibatan masyarakat dalam pembangunan sanitasi. Beberapa daerah sudah menerapkan skema ini, seperti NTB, Banten, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan, dengan total penggunaan dana lebih dari Rp 1,237 triliun. Adapun total potensi zakat di Indonesia adalah Rp 217 triliun.

Timbulnya kebutuhan akan sanitasi yang baik dapat mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam membangun sanitasi, seperti membangun jamban sehat dan tangki septik terstandar, berpartisipasi dan membayar iuran untuk pelayanan sedot tinja, atau menyambungkan pipa pembuangan jamban dengan sistem pengolahan air limbah perpipaan bilamana tersedia di lingkungan sekitar rumah.

Perubahan pola pikir dan perilaku perlu dilakukan juga oleh aparat pemerintah, pimpinan daerah, sektor swasta dan kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas. Kesadaran akan pentingnya sanitasi untuk kualitas hidup masyarakat yang lebih baik perlu tercermin pada perubahan pola pikir pimpinan dan aparat pemerintah, terutama di daerah.

Dengan demikian, pimpinan dan aparat daerah dapat memberikan alokasi anggaran yang memadai dengan proses penyusunan program sanitasi yang lebih baik. Perubahan pola pandang dan perilaku pihak swasta dan kelompok masyarakat lainnya juga diperlukan, agar dapat memberikan kontribusi yang lebih positif dan kolaboratif terhadap peningkatan sanitasi di daerah.

“Walaupun sanitasi adalah urusan ‘belakang’, pembangunan sanitasi ini akan berdampak pada pembangunan kualitas manusia Indonesia di jangka menengah-panjang. Keuntungan dari investasi pembangunan sanitasi layak akan dirasakan dalam waktu 10 sampai 20 tahun ke depan, ketika generasi bayi dan balita saat ini sudah tumbuh menjadi manusia dewasa berusia produktif. Marilah kita kelola urusan ‘belakang’ dengan lebih serius, untuk menata masa depan bangsa yang lebih gemilang,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Koran Kompas. Edisi: Senin, 25 Februari 2019. Kolom Opini. Halaman 6.