Bambang Brodjonegoro: Indonesia Harus Terus Berinovasi untuk Biayai Pembangunan Berkelanjutan

Bambang Brodjonegoro: Indonesia Harus Terus Berinovasi untuk Biayai Pembangunan Berkelanjutan

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Negara-negara di dunia termasuk Indonesia saat ini sudah menunjukkan komitmen mereka untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini ditunjukkan dengan semakin masifnya upaya untuk merealisasikan target-target SDGs oleh keempat platform, yaitu pemerintah pusat dan daerah, filantropi dan bisnis, akademisi, serta media.

Tidak disangsikan lagi bahwa upaya-upaya masif untuk melaksanakan SDGs akan membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Pembiayaan dengan pendekatan konvensional akan tidak lagi relevan untuk memenuhi kebutuhan ini. pendekatan baru pembiayaan menjadi sangat diperlukan sehingga secara efektif dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target-target pada tahun 2030.

“UNCTAD (2014) memperkirakan kebutuhan pembiayaan oleh semua negara di dunia untuk mencapai target-target SDGs ialah 3,8 triliun dollar AS per tahun. Namun, pembiayaan yang tersedia rata-rata setiap tahun untuk pembangunan dunia saat ini 1,4 triliun dollar AS sehingga ada kesenjangan pembiayaan 2,5 triliun dollar AS per tahun. Gap ini tentunya harus ditutup oleh sumber-sumber pembiayaan baru yang nonkonvensional dan perlu dikelola dengan cara baru juga,” ucap Bambang Brodjonegoro dalam rilis tulisannya di Harian Kompas, (20/12/2018).

Sementara itu, posisi tabungan global saat ini berada pada kisaran 25% terhadap PDB dunia (Bank Dunia, 2007). Bahkan, gabungan posisi tabungan Cina, Jepang, Korea, Singapura, dan Thailand adalah 40% dari PDB masing-masing negara tersebut. Gambaran posisi tabungan ini menunjukkan bahwa potensi investasi global masih cukup besar. Namun, hal terpenting adalah bagaimana merumuskan cara yang efektif untuk memobilisasi dana-dana ini sehingga dapat diarahkan untuk membiayai investasi pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kendala untuk memobilisasi investasi di negara-negara maju ialah rendahnya laba atas investasi sehingga para investor tidak tertarik untuk berinvestasi. “Negara-negara berkembang secara umum dapat memberikan laba atas investasi yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara maju, tetapi kendala lain sering dihadapi para investor untuk berinvestasi misalnya permasalahan transparansi proyek, biaya transaksi dan biaya investasi yang cukup tinggi karena prosedur yang tidak jelas, tingkat korupsi, serta tidak tersedianya variasi model pembiayaan yang dapat menyalurkan investor ke proyek-proyek yang memadai,” tuturnya.

Beberapa lembaga internasional telah mulai menggulirkan konsep-konsep baru yang merupakan bentuk inovasi pembiayaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengeluarkan konsep blended finance, yang menawarkan peluang pembiayaan pembangunan yang inovatif sehingga dapat memobilisasi pembiayaan swasta dengan cara menurunkan tingkat risiko proyek-proyek yang tidak layak menjadi layak secara ekonomis.

Selain itu, UNESCAP (2017) telah mengeluarkan konsep inovasi pembiayaan pembangunan yang dirumuskan sebagai bentuk-bentuk pembiayaan yang berbeda dari praktik-praktik standar pembiayaan serta dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap sosial-ekonomi dan lingkungan. Kemudian, beberapa komitmen internasional juga telah menggarisbawahi pentingnya peranan sektor swasta dalam mewujudkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Indonesia pun tak ketinggalan dalam membuat terobosan baru untuk skema pembiayaan yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, misalnya Badan Amil Zakat Nasioanl (Baznas) telah meluncurkan buku Fiqih Zakat untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Fiqih Zakat on SDGs) dan menyatakan bahwa ada persamaan yang cukup jelas antara SDGs dan zakat karena nilai-nilai yang tertuang dalam SDGs juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang harus ditangani oleh dana zakat.

SDGs mengatasi permasalahan kemiskinan, kelaparan, serta mengurangi kesenjangan antarkelompok dari wilayah di mana tujuan-tujuan ini sejalan dengan prinsip-prinsip zakat dalam Islam yang diarahkan untuk mengatasi lima tujuan mendasar yang dikenal sebagai Maqasid al Sharia; perlindungan terhadap keyakinan, kehidupan, keturunan, akal, dan kekayaan.

“Contoh pemanfaatan dana zakat untuk SDGs adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Provinsi Jambi. Selain itu, Bengkulu yang sudah menyatakan sebagai Kota SDGs dan berkomitmen menerapkan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Kota SDGs ini dikembangkan atas hasil kerja sama antara Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dan unsur pemerintah setempat, Baznas, LAZ, Filantropi Indonesia, perwakilan kampus di Bengkulu, dan LSM,” tambahnya.

Dana zakat melalui Baznas disalurkan ke Kota SDGs ini untuk program pengelolaan sampah menjadi bijih plastik, pengembangan UKM, serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan.

Sektor swasta pun saat ini mulai nenunjukkan upaya baiknya untuk berkomitmen terhadap pembiayaan SDGs melalui pengarusutamaan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan ke dalam proses bisnisnya. Sampai 2016 telah tercatat 49 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang menerbitkan laporan keberlanjutan. Sedangkan pada 2017, laporan berkelanjutan yang disampaikan mengalami kenaikan menjadi 71 perusahaan.

Sumber-sumber pembiayaan inovatif lainnya yang sudah mulai digulirkan ialah Pembangunan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA), pembiayaan melalui pasar modal dan pasar uang, pembiayaan berkelanjutan melalui lembaga keuangan, dan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) yang melibatkan pihak swasta. Selain itu, mekanisme debt swap to SDGs, mekanisme impact investing, serta pembiayaan inovatif melalui Blended Finance adalah bentuk-bentuk pembiayaan inovatif yang telah dirintis oleh Indonesia untuk mendorong pencapaian SDGs di Indonesia secara efektif dan efisien.

“Ke depannya masih perlu inovasi lebih besar dan lebih banyak dari berbagai platform SDGs. Untuk itu, pemerintah, akademisi, pelaku usaha, filantropi, organisasi masyarakat, dan media perlu terus menggali inovasi-inovasi baru agar pembiayaan untuk mencapai SDGs dapat digalang dengan lebih baik dan lebih masif dengan mekanisme-mekanisme baru yang lebih efisien dan efektif,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 20 Desember 2018.