Abdillah Ahsan: Pajak Tembakau Solusi bagi Indonesia untuk Defisit Anggaran dalam Program Perawatan Kesehatan

Abdillah Ahsan: Pajak Tembakau Solusi bagi Indonesia untuk Defisit Anggaran dalam Program Perawatan Kesehatan

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Indonesia adalah pasar tembakau terbesar kedua di dunia dengan 100 juta perokok. Rokok di Indonesia dikenakan tiga jenis pajak, yaitu untuk setiap batang rokok, pemerintah mengenakan 44,7% dari harga eceran untuk cukai tembakau nasional, 4,47% dari harga untuk pajak rokok lokal dan 9,1% dari harga untuk pajak pertambahan nilai.

Pendapatan dari cukai tembakau nasional (sekitar Rp 148 triliun pada tahun 2017) dan pajak pertambahan nilai masuk ke kas pemerintah pusat. Pendapatan dari cukai tembakau regional (sekitar Rp 14 triliun) didistribusikan ke pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-Undang 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Lokal, separuh dari pajak rokok lokal diterima, pemerintah daerah harus menggunakannya untuk layanan kesehatan dan mengawasi rokok ilegal dan area bebas rokok. Namun pelaksanaan peraturan ini bervariasi dengan masing-masing pemerintah daerah.

“Strategi pemerintah untuk menutupi defisit layanan kesehatan adalah mengambil sebagian dari pendapatan pemerintah daerah dari pajak rokok lokal dan dari pembagian pendapatan cukai tembakau. Peraturan Presiden yang baru menginstruksikan pemerintah lokal untuk menyalurkan tiga perempat dari anggaran untuk layanan kesehatan dan kampanye anti-rokok ke Dinas Kesehatan,” ujar Abdillah Ahsan dalam rilis tulisannya di The Conversation, (2/11/2018).

Hal ini sejalan dengan peraturan Kementerian Kesehatan 2017 yang mensyaratkan bahwa tiga perempat dari pajak rokok lokal yang dialokasikan untuk layanan kesehatan hingga Rp5,25 triliun dapat digunakan untuk menutup program perawatan kesehatan.

Pemerintah harus mempertimbangkan untuk meningkatkan cukai tembakau nasional dan mengalokasikan sebagian dari pendapatan itu kepada program perawatan kesehatan nasional, program perawatan kesehatan terbesar di dunia. Selain itu, juga harus mempertimbangkan untuk menambah cukai barang-barang lain yang membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Program asuransi kesehatan sosial Indonesia mencakup 203 juta orang. Indonesia berencana untuk memiliki populasi seluruh negara dari 260 juta yang tercakup pada 2019. Ini akan membuat skema asuransi program kesehatan universal terbesar di dunia.

Program ini telah berhasil meningkatkan akses ke layanan kesehatan bagi orang Indonesia. Negara ini meluncurkan program perawatan kesehatannya pada tahun 2014. Pada Maret 2018 jumlah anggotanya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Sekitar 51,6% anggota adalah orang miskin, yang kontribusinya dibayar oleh pemerintah.

“Perlu diketahui, anggota saat ini membayar premi bulanan sebesar Rp25.500-Rp80.000. Pada 2015, agensi menerima rata-rata Rp27.000 per anggota setiap bulan. Sementara itu, harus membayar biaya klaim rata-rata Rp33.000 per bulan per anggota. Pada 2017, lembaga ini memperkirakan bahwa tanpa kontribusi tambahan, defisit akan meningkat dari Rp13 triliun (US $ 857,9m) pada tahun 2018 menjadi Rp30 triliun (US $ 1,9 miliar) pada tahun 2030,” jelas dia.

Menggunakan pajak tembakau untuk mendanai program asuransi kesehatan, salah satu pendekatan yang paling masuk akal karena pemerintah belum siap untuk menaikkan biaya anggota. “Itu juga masuk akal. Pada tahun 2016 sebesar 21,75% klaim layanan kesehatan digunakan untuk menutup penyakit kronis yang terkait dengan rokok,” tegas dia.

Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa konsumsi tembakau adalah faktor risiko untuk penyakit, seperti kanker, serangan jantung, stroke, dan penyakit lainnya. Kerugian ekonomi makro dari konsumsi rokok empat kali lebih tinggi daripada cukai tembakau yang diterima oleh pemerintah Indonesia.

Ini juga harus secara signifikan meningkatkan cukai tembakau nasional. Organisasi Kesehatan Dunia telah menyarankan bea cukai tembakau mencapai hingga 70% dari harga eceran. Pemerintah harus mendedikasikan sebagian dari pendapatan cukai tembakau nasional untuk program perawatan kesehatan.

Saat ini, penerimaan negara dari cukai tembakau sekitar Rp 140 triliun. Jika pemerintah mengalokasikan 15% dari pendapatan cukai untuk perawatan kesehatan, itu adalah tambahan Rp 21 triliun untuk program perawatan kesehatan.

Untuk mengakomodasi hal ini, pemerintah dan parlemen harus merevisi UU Cukai 2007 yang membatasi cukai rokok hingga 57% dari harga eceran. Akan lebih baik lagi jika pemerintah menerapkan cukai untuk barang-barang lain yang membahayakan kesehatan publik dan lingkungan, misalnya, gula, plastik, dan bahan bakar fosil.

“Meningkatkan cukai tembakau dan menambah cukai barang yang membahayakan kesehatan masyarakat Indonesia diharapkan akan mengurangi konsumsi secara lebih drastis dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat pada saat yang bersamaan,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: http://theconversation.com/tobacco-tax-might-be-indonesias-solution-to-budget-deficit-in-healthcare-program-103679