Abdillah Ahsan Kaji Pajak Rokok Belum Tersosialisasi dengan Baik

Abdillah Ahsan Kaji Pajak Rokok Belum Tersosialisasi dengan Baik

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Pandangan mengenai pajak rokok sangat beragam di semua kalangan masyarakat Indonesia dan khususnya pemerintah daerah. Untuk itu, perlu sosialisasi lebih insentif agar daerah lebih paham dan bisa memakai dana pajak rokok untuk membiayai program kesehatan. Kegiatan yang bisa didanai meliputi penurunan faktor risiko penyakit tidak

Riset terkait penelitian kualitatif dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bersama organisasi masyarakat sipil, yaitu Forum Warga Kota Jakarta, No Tobacco Community (Bogor), Jogja Sehat Tanpa Tembakau (Kulon Progo), dan Udaya Central (Denpasar). Riset ini dilakukan dengan wawancara mendalam pada perwakilan lembaga pemerintah daerah, legislatif, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Selain itu, data sekunder dari BPS juga diperhitungkan.

“Jika memahami ketentuan pajak rokok, lembaga legislatif dan pemda bisa merencanakan bersama pemakaian pajak rokok bagi sektor kesehatan warga di daerah. Jadi, penggunaannya bisa transparan dan akuntabel,” kata Abdillah Ahsan dalam rilis tulisannya di Kompas.id, (31/10/2018).

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan, pajak rokok adalah pungutan cukai rokok yang ditarik pemerintah. Pajak rokok merupakan pajak provinsi yang besaran tarifnya 10% dari cukai rokok. Penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 50% untuk mendanai layanan kesehatan warga dan penegakkan hukum.

Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat, ditegaskan, pendanaan layanan kesehatan minimal 75% dari alokasi. Kegiatan yang didanai meliputi penurunan faktor risiko penyakit tidak menular termasuk imunisasi, peningkatan promosi kesehatan, kesehatan keluarga, gizi, kesehatan lingkungan, kerja dan olahraga.

Kegiatan lain yang dapat didanai ialah peningkatan pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lain serta layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. “Selain itu, pajak rokok juga bisa digunakan untuk peningkatan pembangunan dan pemeliharaan gedung puskesmas,” jelas Abdillah Ahsan.

Belakangan ini, pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memutuskan untuk mengambil sebagian pajak rokok yang diterima daerah untuk memperkuat program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang kekurangan dana.

Namun, pajak rokok kalah tenar oleh dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Pemerintah daerah dan anggota legislatif lebih mengenal DBHCHT dibandingkan pajak rokok. Meski sudah paham, itu terbatas pada dinas terkait pengelolaan keuangan daerah.

“Perlu ada mekanisme sistemik yang dapat menelusuri penggunaan pajak rokok di daerah sehingga dapat diketahui apakah penggunaannya selama ini sudah sesuai ketentuan perundang-undangan atau belum,” tutupnya. (Des)

 

Sumber: https://kompas.id/baca/post-format-image/2018/10/31/pajak-rokok-belum-tersosialisasi-dengan-baik/