Budi Frensidy: Tingkat Bunga dan Diskon Antara Apresiasi atau Depresiasi?

Budi Frensidy: Tingkat Bunga dan Diskon Antara Apresiasi atau Depresiasi?

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Di dalam ekonomi dan keuangan syariah mengajarkan bahwa keuntungan hanya diperboleh dari kegiatan berdagang dan berinvestasi, bukan dari kegiatan pinjam-meminjam uang karena bersifat riba. Untuk itu, variabel terpenting dalam pasar keuangan ialah tingkat bunga yang perlu kita pahami arti sesungguhnya.

Interes dan kapital secara teori tidak mesti dinyatakan dalam unit atau komoditas yang sama. Interes sendiri dapat dipandang sebagai sebuah bentuk sewa yang dibayarkan peminjam kepada pemilik aset untuk kompensasi atas penggunaan aset oleh peminjam. Dalam hampir semua aplikasi saat ini, interes dan kapital dinyatakan dalam nilai uang dengan alasan mudah dan praktis.

“Apabila istilah interes/bunga tidak diperbolehkan, namun dunia keuangan masih mempunyai istilah lain yang mempunyai arti sama, antara lain tingkat diskon, yield (imbal hasil), return (pengembalian) dan tingkat kapitalis. Inilah kriteria utama investor investor untuk uangnya,” kata Budi Frensidy dalam rilis tulisannya di Harian Kontan, (1/10/2018).

Dari empat padanan kata di atas, tingkat bunga, yang sering dinotasikan dengan r atau i, paling dekat dengan tingkat diskon dengan notasi d atau k. Perbedaan utama antara keduanya ialah untuk pasar uang (jangka pendek). Tingkat diskon digunakan untuk produk keuangan, seperti treasury bill (T/B), sertifikat deposito, promissory notes dan commercial paper (CP).

Instrumen-instrumen investasi ini biasanya jatuh tempo dalam 30-90 hari dan maksimal 270 hari, serta dijual pada harga diskon, sehingga sering disebut efek dijual dengan diskon atau discount securities. Sementara, tingkat bunga digunakan untuk produk seperti deposito dan tabungan. “Gampangnya, perbedaan keduanya cuma yang satu menghitung dan membayar bunga di depan (tingkat diskon) dan yang lainnya di belakang (tingkat bunga),” papar Budi Frensidy.

Salah satu ilustrasi sebagai contoh, yaitu Anda mendapatkan tingkat diskon 20% saat membeli efek senilai 100 dengan membayar 80. Dengan asumsi harga sama, Anda mendapat tingkat bunga 25% saat membeli efek senilai 80 dan harganya naik jadi 100. Begitu pula bila Anda membeli efek seharga 100, kemudian harga naik jadi 200, Anda mendapat tingkat bunga 100%.

Tapi saat Anda membeli efek senilai 200 dengan harga 100, berarti mendapat diskon 50%. Tingkat bunga mungkin saja sampai 100% atau bahkan lebih dalam kondisi hiperinflasi, tetapi tingkat diskon tidak akan pernah sampai 100%.

Selain itu, pelemahan rupiah saat ini relatif kecil dan tidak ada apa-apanya dibandingkan depresiasi ratusan persen di 1998, yaitu dari Rp2.500 jadi Rp15.000 per dolar AS. Besar depresiasi sama seperti tingkat diskon, tidak mungkin sampai 100% apalagi lebih. Pernyataan yang benar adalah dollar AS terapresiasi 500% terhadap rupiah, dari senilai Rp2.500 menjadi Rp15.000.

“Namun, depresiasi rupiah terhadap dollar AS adalah 83,33%, yaitu dari 1/2.500 menjadi 1/15.000. Dalam kasus ini, apresiasi dollar AS sebesar 500% (satu menjadi enam) ekuivalen dengan depresiasi rupiah 83,33% (satu menjadi 1/6),” tutupnya. (Des)

 

Sumber: Harian Kontan. Edisi 1 Oktober 2018. Kolom Wake-Up Call Hal.4