Aichiro Suryo Prabowo: Pentingkah Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Bagi Pemerintahan?

Aichiro Suryo Prabowo: Pentingkah Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Bagi Pemerintahan?

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

Gubernur Anies Baswedan dengan gembira mengumumkan di awal tahun 2018 bahwa pemerintah Jakarta telah diberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan 2017 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Seminggu kemudian, Presiden Joko Widodo yang secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah pusat juga telah mendapatkan tagihan “bersih” yang serupa untuk laporan keuangan konsolidasinya.

Meskipun perbedaan dalam hierarki dan ukuran pemerintahan, mereka berdua tampaknya sama-sama puas. Pemerintah pusat juga telah menerima pendapat yang sama tahun sebelumnya, tapi tetap saja, itu cukup prestasi karena tidak ada jaminan bahwa setelah suatu entitas mendapat WTP dari BPK, itu akan terus melakukannya pada periode berikutnya.

“WTP hanya menyiratkan bahwa auditor BPK telah mengaudit laporan keuangan entitas pemerintah dan menemukan informasi yang disajikan secara adil, pengungkapan yang memadai, pengendalian internal yang efektif dan kepatuhan terhadap standar akuntansi pemerintah. Mereka juga memeriksa apakah rekomendasi dan temuan seperti yang tercantum dalam laporan auditor tahun sebelumnya. Jika ada telah ditindaklanjuti dan ditangani dengan sesuai,” tutur Aichiro Suryo Prabowo dalam rilis tulisannya di koran TheJakartaPost, (7/9/2018).

Selain itu, sebuah WTP dilihat sebagai proksi untuk pemerintahan yang baik, tetapi bagi sebagian besar pemegang jabatan publik, itu menarik karena kemampuannya untuk memberikan pengaruh politik. Hasil audit yang lebih baik menunjukkan tata kelola yang lebih baik pada gilirannya, mungkin layak mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari pembayar pajak. Bagi para pembayar pajak, khususnya, pertanyaannya adalah apakah suatu WTP selalu berarti tidak ada pembelanjaan atau korupsi pemerintah yang sia-sia.

Dalam mengaudit dan menghasilkan laporan akhir, auditor mengikuti aturan tertentu, yaitu standar audit dan kode etik. “Pendapat auditor adalah bagian yang paling penting dari laporan, di mana empat tindakan digunakan untuk menunjukkan hasil audit, seperti WTP, WDP, opini merugikan dan sanggahan”, ucap dia.

BPK juga melakukan apa yang disebut kinerja serta audit investigasi. Audit kinerja bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan lembaga untuk membelanjakan anggaran program secara efektif dan efisien, sementara audit investigasi memeriksa secara menyeluruh kegiatan pemerintah tertentu sebagai tanggapan atas beberapa temuan atau dugaan.

Laporan tahunan BPK dari tahun 2015 hingga 2017 menjelaskan bahwa mereka melakukan audit kinerja dan investigasi sekitar 280 dan 330 objek per tahun. Ini dilakukan di tingkat nasional dan lokal. Audit kinerja difokuskan pada sektor yang diprioritaskan seperti pendidikan, perawatan kesehatan dan reformasi birokrasi, sedangkan audit investigatif mencakup lebih banyak isu yang beragam.

Jelas bahwa kedua audit dilakukan secara selektif hanya pada sejumlah objek terbatas, tidak seperti audit keuangan (umum) yang dilakukan pada semua entitas pemerintah (lebih dari 600 objek setiap tahun). WTP hanyalah produk dari audit keuangan biasa yang tidak menyelidiki inefisiensi anggaran, apalagi penyimpangan. Masih mungkin bagi entitas pemerintah untuk mencapai WTP bahkan ketika korupsi terjadi, selama pembelanjaan sesuai dengan anggaran dan pelaporan yang disetujui sesuai dengan standar akuntansi.

“Ini bukan untuk mengatakan bahwa WTP tidak berharga. Tanpa WTP, laporan keuangan akan menimbulkan keraguan di antara para penggunanya. “WTP memberikan jaminan pada semua kualitas pelaporan keuangan sehingga manajemen puncak di pemerintah dapat menggunakannya sebagai dasar untuk membuat keputusan anggaran atau bahkan strategis,” tutupnya.

 

Sumber: Koran TheJakartaPost. Edisi 7 September 2018