Yohana Gultom: Lembaga Politik Ekstraktif Pengaruhi Kontrak Swasta Publik

Yohana Gultom: Lembaga Politik Ekstraktif Pengaruhi Kontrak Swasta Publik

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Yohanna M.L. Gultom, Ph.D., mempresentasikan materi hasil penelitian di bidang ekonomi kelembagaan dalam seminar mingguan Departemen Ilmu Ekonomi yang berjudul “Ketika Lembaga Politik Ekstraktif Mempengaruhi Kontrak Swasta Publik: Bukti Empiris Dari IPPs Indonesia di Bawah Dua Rejim Politik”.

Pembahasan ini meneliti hubungan antara institusi politik dan kinerja ekonomi dari kontrak public-private dalam penyediaan barang publik. Teori ekonomi biaya transaksi beragumen bahwa di pasar kapitalis, lingkungan institusional membebankan kendala pada pilihan tata kelola hubungan kontraktual dan efisiensi itu dalam hal meminimalkan biaya transaksi menjadi motif yang mendasari untuk pilihan tersebut.

Literatur ilmu politik menunjukkan bahwa di pasar politik, struktur pemerintahan tidak perlu diciptakan untuk menjadi efisien secara sosial, baik karena biaya transaksi politik atau perilaku rent-seeking dari politisi dan pembuat kebijakan. Dengan menguji lembaga politik ekstraktif terkait dengan kinerja kontrak public-private menggunakan kasus sektor listrik di Indonesia, dalam hal pergeseran rezim politik telah mempengaruhi pengaturan kontrak public-private di sektor pembangkit listrik. Menggunakan dua tahap penelitian empiris, yaitu analisis data amplop, dan perbedaan-dalam-perbedaan regresi.

“Saya memeriksa kinerja ekonomi dari 20 pembangkit listrik tenaga batu bara untuk periode 2010-2016 yang terdiri dari Independent Power Producers (IPPs) didukung oleh dua rezim politik, yaitu pemerintah yang otoriter & demokratis, dan pembangkit listrik milik negara” kata Yohanna dalam presentasi seminar mingguan di ruang Suntoro Isman, Departemen IE, pada Rabu (25/7/2018).

Hasilnya menunjukkan bahwa lembaga politik ekstraktif terkait dengan penurunan efisiensi dari IPPs generasi pertama yang didukung oleh pemerintah otoriter sebesar -0.135 poin, atau 0,16% dari rata-rata. Temuan ini menantang asumsi bahwa motif penghematan biaya transaksi mungkin mendasari penggunaan kontrak public-private di sektor pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Sebaliknya, temuan ini konsisten dengan argumen ekonomi politik bahwa lembaga politik ekstraktif mungkin telah menciptakan kebijakan ekonomi yang memungkinkan bagi elit politik untuk mengambil uang sewa dari kontrak public-private.

“Dengan kesimpulan bahwa lembaga politik ekstraktif terkait dengan -0.135 poin mengurangi efisiensi IPPs generasi pertama dan itu signifikan pada tingkat 5%. Perilaku mencari sewa yang mendasari kontrak IPPs generasi pertama, disertai dengan kurangnya regulasi dan penegakan yang kuat mengenai proyek IPPs, dapat menjelaskan perilaku yang tidak efisien oleh IPPs yang meningkatkan biaya modal dan operasi di atas tingkat biaya minimum secara umum. Selain itu, di bawah lembaga politik ekstraktif, motif mencari sewa mungkin lebih besar daripada motif penghematan biaya transaksi dalam kontrak sektor publik” tutup Yohanna. (Des)