Wimboh Santoso: Industri Jasa Keuangan Perlu Manajemen Risiko yang Tepat untuk Bangkit dari Krisis

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

JAKARTA – Untuk menghindari dampak krisis keuangan yang sistemik, diperlukan manajemen risiko yang tepat, khususnya di Industri jasa keuangan.  Mengupas tuntas mengenai manajemen risiko di industri jasa keuangan, Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyelenggarakan kuliah umum yang dipaparkan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, S.E., Ph.D.

Ketua Dewan Komisioner OJK memaparkan kondisi ekonomi di Amerika Serikat pada 2007– 2008 mengalami krisis pada bank-bank yang sudah menjalankan risk management dengan benar tetapi tidak berjalan secara mulus. Dampaknya pada saat itu, semua permintaan barang-barang untuk produksi mengalami penurunan, sehingga ekspor ke Amerika menjadi drop. Sehingga, harga minyak dunia, komoditi, kelapa sawit di seluruh dunia menjadi anjlok.

“Amerika Serikat untuk bangkit dari krisis ekonomi tersebut mengambil langkah dalam konteks, yakni memicu pertumbuhan dengan menerapkan kebijakan suku bunga nol” ucap Wimboh Santoso.

Wimboh Santoso, S.E., Ph.D. sedang memaparkan materi kuliah umum dengan dimoderatori oleh Alberto Daniel, MBA.

Pertamina merupakan salah satu perusahaan yang terdampak dari krisis tersebut. Semua investasi di hulu dan hilir Pertamina diberhentikan. Sehingga, para pengusaha mitra Pertamina banyak yang berhenti, karena kontraknya tidak dilanjutkan. Selain itu, pengusaha batubara di Kalimantan juga berhenti dan alat-alat produksinya juga dijual. Terparahnya lagi, distributor-distributor hilir yang ada kaitannya dengan proyek energi berhenti semua. Maka dari itu, tidak heran bila non performing loan (NPL) pada saat itu mengalami kenaikan yang signifikan.

“Negara kita paling besar terkena dampak krisis tersebut dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, karena neraca pembayaran kita selalu defisit, sehingga market confidence nya menjadi rendah dan player maupun instrument terbilang lebih sedikit,” ujar Wimboh Santoso.

Bila perekonomian di Indonesia sudah tumbuh kembali, maka ada threshold, antara lain jumlah pengangguran berkurang, inflasi terjaga, dan suku bunga dinormalkan. “Ekonomi kita pertumbuhannya 5,1% dan bisa dikatakan sebagai Negara maju kalau inflasi semakin rendah dan pertumbuhan penduduk juga rendah ” imbau Wimboh Santoso di tengah-tengah pemaparan kuliah umumnya.

Berbicara financial sector bila kita tidak bisa mengelola kebijakan pasar dengan baik, maka Rupiah akan melemah. Ini bisa tertolong kalau ada inflow di portfolio yang berasal dari neraca pembayaran, yaitu ekspor. Cadangan devisa kita pernah di angka 131 USD dan menjadikannya kuat dengan didukung pertumbuhan ekonomi di daerah Jawa dan Sumatra.

Pasar indeks saham Indonesia berada di sekitaran 6.600 dengan didukung oleh investor  portfolio. Bila manajemen risikonya dilakukan dengan benar yang terjadi bahwa Bank Indonesia baru menaikkan suku bunga 25 basis poin. Dengan kasus suku bunga ini, maka Bank Indonesia mempunyai cara untuk tidak memicu kenaikan suku bunga di perbankan melalui ekspansi.

“Dengan begitu, harapan kita untuk bank sentral bisa mengelola suku bunga agar tidak naik. Kebijakan suku bunga boleh saja naik tetapi tidak berdampak kepada suku bunga pasar, sehingga imbas kepada NPL tidak ada,” pungkas Wimboh Santoso. (Des)

 

 

Pemberian cindera mata berupa plakat oleh Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., kepada Wimboh Santoso, S.E., Ph.D., dan Arberto Daniel, MBA.

Pemberian cindera mata berupa plakat dari Wimboh Santoso, S.E., Ph.D., untuk Prof. Ari Kuncoro, Ph.D.

Foto bersama antara OJK, Arberto Daniel, MBA. dengan pejabat FEB UI