Prof Ari Kuncoro, 3,5 Tahun Ekonomi Jokowi , Kompas 04 Mei 2018

3,5 Tahun Ekonomi Jokowi

Penulis : Prof. Ari Kuncoro, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pada Jumat, 04 Mei 2018

Nordhaus (1972) adalah yang pertama kali mengamati bahwa ada pola siklus bisnis di luar konjungtur yang selama ini sudah diketahui. Siklus ini terjadi pada sistem demokrasi presidensial. Siklus ini dipicu oleh sekuens pemilihan presiden, terbentuknya pemerintahan, bekerjanya pemerintahan, dan pemilihan untuk termin berikutnya. Variabel yang menjadi perhatian adalah pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Untuk menggambarkan realitas bahwa di dunia fana ini selalu ada konsekuensi dari suatu pilihan tindakan atau tukaran (trade-off) digunakan kerangka Kurva Philips (Philips Curve) di mana untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi akan menambah tekanan inflasi (Persson dan Tabellini [2000]).

Hal ini terjadi karena permintaan agregat perekonomian akan cenderung melebihi kapasitas produksi perekonomian. Sebaliknya, jika inflasi ingin ditekan terlalu rendah, konsekuensinya pertumbuhan juga akan lebih rendah. Sementara masyarakat sebagai pemilih menyukai pertumbuhan dan kurang menyukai inflasi. Intinya bagi pemerintah tugasnya menjadi tidak mudah karena harus menyeimbangkan pilihan kebijakan (istilah populernya ngono ning ojo ngono).

Dalam game ini kompetensi dicerminkan oleh kemampuan menghasilkan pertumbuhan layak tanpa harus menimbulkan inflasi yang tertinggi atau menyeimbangkan antara pertumbuhan dan inflasi (optimal growth and inflation). Kompetensi inilah yang dinilai masyarakat dalam setiap siklus pemilu. Model ini digunakan untuk mengamati siklus bisnis politik, terutama di Amerika Serikat (AS) karena sudah sejak 1776 memiliki tradisi pilpres. Pengamatan menunjukkan pola siklus bisnis cenderung punya pola huruf J. Satu tahun biasanya dibutuhkan untuk aklimatisasi. Tahun-tahun berikutnya untuk menjalankan program guna menunjukkan kinerja nyata sebagai tanda kompetensi.

Pasca-bonanza komoditas

Pada akhir 2014 dan awal 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memasuki tahun-tanun pertamanya saat bonanza komoditas (commodity boom) sudah berakhir. Keuntungan angin buritan (tail wind) dalam bentuk daya beli dari kenaikan ekspor komoditas yang diputarkan kembali ke dalam bentuk konsumsi dan investasi properti dalam negeri, seperti dinikmati pemerintahan sebelumnya, tak dapat dinikmati lagi. Malahan dengan perlambatan ekonomi dunia, yang dihadapi adalah angin dari haluan (head wind) yang berpotensi memperlambat perekonomian domestik. Menghadapi ini, yang dilakukan adalah mencari strategi baru mengoptimalkan sumber pertumbuhan baru.

Selain itu, waktu juga tak memihak Indonesia mengingat negara-negara lain juga berderap dengan cepat, seperti ditunjukkan oleh berbagai indeks pembangunan, seperti indeks daya saing dan indeks kemudahan bisnis (ease of doing business), yang pada 2014 awal banyak disalip oleh negara-negara lain. Indeks ini bukan suatu antrean saat kita harus sopan menunggu, tetapi lebih merupakan posisi yang harus direbut dengan strategi pembangunan yang tepat yang punya dampak nyata.

Berlainan dengan strategi pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi memilih untuk memusatkan diri pada pembangunan infrastruktur. Strategi ini berlainan dengan konsep sektoral di mana aksi direncanakan dan dilakukan untuk setiap sektor, strategi infrastruktur ini mirip dengan strike dalam permainan bola gelinding (bowling). Nilai tertinggi tercapai jika dengan hanya satu lemparan bola seluruh sasaran dapat dijatuhkan. Semua kegiatan dalam satu rantai nilai (value chain) sangat bergantung pada infrastruktur.

Dengan berevolusinya proses produksi menjadi kian terfragmentasi tak hanya berada di beberapa lokasi yang berbeda dalam satu negara, tapi juga di beberapa negara dalam satu kawasan regional (misalnya Asia Timur), maka akan kian sulit untuk suatu negara yang lemah dalam infrastruktur bergabung dalam jaringan internasional nilai rantai. Kegiatan ekspor tentu akan terpengaruh. Strategi ini cocok dengan perubahan konsep aktivitas ekonomi dunia dari yang sebelumnya fokus pada lokasi produksi dan konsumsi menjadi akses ke tempat-tempat tersebut. Strategi ini juga cocok untuk mulai mendaur ulang (recycling) daya beli dari kota-kota di Indonesia ke pelosok-pelosok melalui sektor pariwisata sehingga tercapai pertumbuhan yang lebih inklusif.

Model siklus bisnis politik yang selama ini menganggap kapasitas produksi perekonomian tak berubah karena stimulasi perekonomian dilakukan pada permintaan agregat dilakukan secara musiman untuk memengaruhi kinerja perekonomian jangka pendek sehingga menimbulkan pola siklus karena harus dilakukan lagi sesuai dengan waktu dari pemilu. Model pemerintahan Jokowi cukup berbeda dengan model klasik siklus bisnis politik karena yang dilakukan dari semula adalah membangun infrastruktur yang dalam jangka panjang akan meningkatkan kapasitas produksi perekonomian sebagai dasar dari peningkatan produktivitas semua pelaku dalam perekonomian. Dengan demikian, model siklus bisnis politik klasik perlu direvisi menjadi model jangka panjang.

Tak seperti negara lain di Asia Tenggara, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar yang dapat digunakan sebagai pasar, sebagai konsumen, sebagai produsen, ataupun sebagai penyangga daya beli jika perekonomian mengalami perlambatan. Salah satu hal penting dalam meningkatkan produktivitas nasional adalah kepadatan penduduk. Dalam ilmu ekonomi, ini dikenal dengan aglomerasi.

Aglomerasi kegiatan ekonomi

Kepadatan penduduk yang optimal diperlukan untuk mengorganisasikan kegiatan produksi, konsumsi, dan pemerintahan lokal dalam suatu sinergi yang menghasilkan eksternalitas positif, yaitu peningkatan produktivitas bersama. Suatu negara dengan kepadatan penduduk yang terlalu merata tidak dapat memperoleh ekstra produktivitas ini. Inilah logika dari eksistensi perkotaan. Walaupun dari jumlah suatu negara memiliki populasi kecil, ia dapat memperbaiki dengan mengonsentrasikannya dalam beberapa kota pada suatu hierarki dari yang paling padat/besar sampai ke kota-kota yang lebih kecil dan daerah perdesaan/pinggiran (hinterland).

Logika dari pembangunan infrastruktur adalah meningkatkan konektivitas dengan menghubungkan kota-kota dalam suatu hierarki untuk menghasilkan eksternalitas produktivitas yang lebih besar lagi. Hal ini merupakan usaha untuk menstabilisasi pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup (decent) saat situasi eksternal tak terlalu menguntungkan bagi Indonesia. Kapasitas produksi baru ini merupakan (istilah militernya) daerah pancangan kaki (beach head jika pantai atau bridge head jika tepi sungai) menciptakan sumbersumber baru dalam negeri pertumbuhan ekonomi kini dan di masa depan.

Permintaan agregat

Pada perkembangan selanjutnya, ciri dari model siklus bisnis politik tetap ada. Meski pembangunan infrastruktur menjanjikan peningkatan kapasitas produksi perekonomian dalam jangka panjang, realitas mengharuskan kompetensi tetap ditunjukkan secara konkret dalam jangka pendek. Dalam hal ini permintaan agregat secara umum dan daya beli masyarakat tetap dijaga. Pembangunan infrastruktur termasuk yang terkena imbas perkembangan teknologi menjadi lebih pada modal dibandingkan 20 atau 30 tahun lalu. Sebagai kompensasi program padat karya infrastruktur perdesaan, seperti irigasi desa, jalan desa, hutan sosial dilakukan untuk menstabilkan daya beli masyarakat berpendapatan menengah bawah.

Sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur, amnesti pajak pada dasarnya adalah menukar konsumsi dan investasi masyarakat masa kini menjadi kapasitas produksi nasional dan basis pembiayaan infrastruktur di masa depan. Sumber pembiayaan lain, seperti perbankan, pasar obligasi, dan pasar modal, tetap diperlukan karena ada batas di mana konsumsi dan investasi sekarang dapat dikonversi menjadi kegiatan ekonomi di masa depan.

Bonanza komoditas dari 2005 sampai 2012 juga meninggalkan bekas berupa berkembangnya kota-kota menengah, seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung, dengan kelas menengah lokal. Perkembangan kota-kota menengah ini turut menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga daya dorong sektor manufaktur yang tak lagi dominan (sejak 2005) sebagai lokomotif ekonomi bisa terbantukan. Yang menarik dari kelas menengah baru iniā€”sebagian merupakan generasi milenialā€” adalah siklus belanja yang sulit diprediksi. Pilihan konsumsi mereka tak lagi barang, tetapi juga pengalaman dan gaya hidup yang notabene termasuk sektor jasa.

Perkembangan teknologi informasi juga memungkinkan mereka mengatur keuangan pribadi dan siklus belanjanya dari telepon genggam. Keputusan menonton konser Cold Play di Paris, misalnya, dapat membuat mereka menabung berbulan-bulan yang berarti mengurangi konsumsi barang selama berbulan-bulan. Bagi kelas menengah seperti ini perlu dibangkitkan ekspektasi yang positif sehingga dapat berkontribusi pada perekonomian.

Pola huruf J yang berkelanjutan

Segalanya memang butuh waktu, tak ada yang instan, walaupun belum terlihat seperti mobil balap supercepat Formula 1, Indonesia mulai terlihat seperti mobil dengan mesin diesel modern sistem injeksi rel bersama (common rail) yang dilengkapi turbocharger (seperti Mitsubishi Pajero atau Toyota Fortuner). Momentum perbaikan mulai terlihat pada 2015 dengan perbaikan beberapa indeks kinerja ekonomi.

Pada 2017 indeks peringkat Indonesia untuk kemudahan berusaha (Index of Ease of Doing Business) meningkat dari posisi ke-106 menjadi ke-91, naik 15 tangga sehingga Indonesia termasuk 10 negara yang memperbaiki diri dengan cepat (biggest climber). Untuk indeks daya saing pada 2017, posisi Indonesia naik dari peringkat ke-41 menjadi ke-36. Peringkat investasi Indonesia juga meningkat menjadi layak investasi (investment grade). Hasil survei logistic performance index (LPI) terakhir baru dikeluarkan untuk 2016 sehingga belum dapat merekam perkembangan terbaru antara akhir 2015 dan 2016. Posisi Indonesia peringkat ke-63. Sub-indikator terbaik untuk Indonesia adalah timeliness atau waktu dalam sistem logistik yang menangkap perbaikan infrastruktur dan aktivitas di pelabuhan.

Lingkungan makro yang terjaga dengan inflasi sekitar 4 persen dan defisit neraca berjalan di bawah 2 persen beserta potensi kelas menengah baru Indonesia, gambaran di atas memberikan suatu daerah pijakan kaki (bridge head) untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan lebih baik pada 2018-2019 dan seterusnya. Beberapa hal harus tetap diwaspadai dan diperbaiki, misalnya potensi perang dagang antara AS dan China yang berpotensi menimbulkan tekanan pada rupiah karena investor modal portofolio untuk sementara akan menyeimbangkan portofolionya kembali ke aset finansial yang aman, yakni dollar AS.

Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga harus diperbaiki dengan melakukan perbaikan kualitas pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus dapat menjadi pusat inovasi dan penghasil SDM yang berkualitas tinggi tidak berkutat pada hal-hal seperti linearitas (sudah dihapus) dan nomenklatur program studi yang kaku sehingga tidak dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan (disrupsi) teknologi.

Untuk beberapa variabel makro sektor riil titik balik (turning point) sudah mulai terlihat pada 2017. Pertumbuhan investasi bruto (yoy=year on year) telah menyalip pertumbuhan PDB pada triwulan II-2017 dan pada akhir 2017 telah mencatat 7,27 persen yoy. Pertumbuhan ini didominasi oleh mesin dan perlengkapan alias barang modal yang mencapai 22,3 persen yoy pada triwulan IV-2017. Sementara pertumbuhan ekspor mengalami titik balik pada triwulan I-2017 dengan adanya perbaikan harga komoditas, bahkan pada triwulan III-2017 pertumbuhannya mencapai sekitar 17 persen yoy. Walaupun akhir 2017 menurun kembali menjadi 8,5 persen, hal ini sudah cukup memberikan optimisme akan kembalinya tail wind dalam mendukung pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun mendatang.

 

Sumber : https://kompas.id/baca/opini/2018/05/04/35-tahun-ekonomi-jokowi/