D’Cost: “Pendekar Bodoh” dengan Model Bisnis Pintar

Pada hari kedua kegiatan Global Netwrok Week (GNW) 2016, Selasa, 16 Maret 2016, para peserta mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke D’Cost VIP, yang terkenal dengan kosep restoran unik dan murah.

  1. Pendekar Bodoh menamai bisnis mereka melalui matriks sederhana 2×2. Karena pembeli pintar adalah mereka yang yang membeli produk dengan kualitas baik dengan harga murah, maka penjual yang ada di posisi ini adalah mereka yang bodoh. Darmawan Ekaputra, generasi kedua dari perusahaan yang menaungi restoran D’Cost yang saat ini menjabat sebagai CEO, membuka presentasi kepada peserta GNAM Week 2016 Universitas Indonesia, Selasa, 15 Maret 2016.

Ada dua bentuk strategi berbisnis yang bisa digunakan saat masuk dalam persaingan: mengunggulkan kualitas atau merendahkan harga. D’Cost memilih untuk bersaing menggunakan strategi harga, tanpa mengorbankan kualitas. Strategi inilah yang kemudian diadopsi oleh D’Cost menjadi, yang dirujuk dalam presentasi sebagai, DNA dari perusahaan. D’Cost memiliki prinsip untuk selalu menyuguhkan produk dengan kualitas diatas rata-rata dengan harga yang juara. Harga juara bisa diartikan sebagai paling baik diantara pesaingnya dengan kualitas yang dijanjikan.

Target pasar dari D’Cost adalah mereka yang sensitif terhadap perubahan harga dan lapar. Program yang dibuat oleh restoran pun kemudian disesuaikan dengan target pasar ini. Up to you price, Diskon Umur, Pay when pregnant, dan money and prayer adalah 4 program yang ditawarkan pada pelanggan untuk mengakomodir karakter mereka. Dalam pengantaran produk, D’Cost serius mengaplikasikan DNA mereka, sisi kualitas dan harga, ditambah waktu. D’Cost selalu berusaha untuk bisa menyajikan pesanan pelanggan plaing lama 15 menit setelah pesanan masuk dalam sistem.

Dari sisi perusahaan, D’Cost tidak mengesampingkan usaha untuk bertumbuh. Target untuk segera bisa mencapai 2000 outlet sudah dimiliki. D”Cost, dalam usahanya guna bisa memiliki cukup dana untuk bertumbuh menggunakan strategi ­economies of scale atau penekanan biaya melalui kuantitas yang besar. Dalam ekspansinya secara fisik, perusahaan meminta secara khusus kepada kontraktor untuk membantu pembukaan restoran bisa terlaksana pada tanggal yang sama dengan bulannya (9 September, 12 Desember, dsb). Jika meleset, kontraktor akan mengganti kerugian selama sebulan hingga outlet bisa dibuka di bulan berikutnya. Dengan demikian, proses penyelesaian pembangunan bisa menjadi komitmen dari kontraktor juga.

Efisiensi menjadi kunci berikutnya. Teknologi digunakan sebagai alat untuk mencapainya. Proses pemesanan berkembang mulai dari penggunaan perangkat PDA hingga penggunaan sistem kartu yang lebih konvensional namun mampu mendukung usaha efisiensi D’Cost. Sistem kartu ber ­barcode yang terintegrasi dengan sistem komputer di dapur dan kasir mampu juga mendukung terciptanya dapur tanpa kertas atau ­paperless kitchen­. Porsi sajian juga terkontrol melalui sistem ­online portion control yang membantu proses penyajian yang seragam. Dalam mengkontrol pegawai, D’Cost menerapkan sistem online payroll yang dapat secara otomatis menghitung jumlah kehadiran pegawai.

Untuk kedepannya, D’Cost memiliki rencana untuk mengembangkan bisnisnya melalui metodefranchise yang menggabungkan bisnis properti dan restoran. Investor hanya perlu menyetor modal, perusahaan akan mengatur proses pengembangannya. Saat ini D’Cost juga telah mengembangkan bisnisnya dalam usaha katering dan perusahaan telah melebarkan lini usahanya melalu dua perusahaan lain, Bocuan Gapapa (lini bisnis roti dan kue) dan Kosong Melompong (masakan Jepang).

(Adelita Asthasari Siregar, ed PH)

edit4edit2 edit3