Budi Frensidy: Inflasi Tinggi Meredam Optimisme Investor

0

Inflasi Tinggi Meredam Optimisme Investor

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI

 

KONTAN – (25/7/2022) Perekonomian Indonesia tahun 2021 ditutup dengan pujian. Tiga indikator utama ekonomi semuanya menggembirakan.  Pertumbuhan ekonomi meningkat dari minus 2,1% di tahun 2020 menjadi +3,7% di tahun 2021.

Angka inflasi juga tetap rendah di bawah 2%, dan nilai tukar rupiah stabil di Rp 14.263 per dollar Amerika Serikat (AS). Tak mau ketinggalan, realisasi ekspor, neraca dagang dan realisasi pendapatan negara, ikut mencatatkan angka-angka terbaiknya.

Setelah sempat berada di posisi 30 besar dunia pada tahun 2011 silam, dengan nilai ekspor mencapai US$ 203,6 miliar, ekspor Indonesia kembali menembus angka keramat US$ 200 miliar dan berada di peringkat 27 global. Nilai ekspor mencapai US$ 231,5 miliar sepanjang tahun 2021 lalu.

Surplus neraca dagang pun melesat hingga US$ 35,3 miliar, tertinggi sejak tahun 2006. Transaksi berjalan ikut surplus US$  3,3 miliar, surplus pertama setelah sepuluh tahun selalu defisit. Sejalan dengan kinerja di atas, realisasi pendapatan negara juga tembus melampaui target untuk pertama kali dalam 12 tahun, yaitu 115,4% di Rp 2.011,3 triliun untuk tahun 2021.

Dengan rapor ekonomi sedemikian bagus, investor saham menatap tahun 2022 dengan penuh optimisme. Kurang dari empat bulan, IHSG melesat ke 7.276, melebihi kenaikan indeks sepanjang tahun 2021 yang cuma sekitar 10,1%.

Investor saham dan analis sepakat, jika IHSG berpeluang besar menyentuh level 7.500 di akhir tahun nanti. Dengan normalnya mobilitas masyarakat pasca pandemi, wajar saja jika investor saham memprediksi kinerja IHSG tahun ini akan lebih baik dari 2021.

Jika negara-negara lain masih dipusingkan dengan naiknya harga energi dan pangan, Indonesia sebagai produsen utama batubara dan crude palm oil (CPO) dunia termasuk yang sangat diuntungkan. Harga kedua komoditas tersebut terus mencatat all time high alias tertinggi sepanjang masa, sejak terganggunya rantai pasok global akibat pandemi yang diperparah dengan meletusnya perang Rusia-Ukraina akhir Februari 2022 lalu.

Jika kita bandingkan dengan 2018, harga minyak mentah Brent sempat naik 186%, gas alam melesat 285%, serta batubara melonjak 385%. Demikian juga dengan harga komoditas pangan seperti gandum, kedelai, dan kelapa sawit, yang harganya masing-masing sempat naik 200% lebih.

Laba bersih puluhan korporasi di sektor batubara dan sawit pun meroket. Beberapa bahkan mencetak rekor tertingginya. Namun, kebijakan domestic market obligation (DMO) di Februari 2022 dan kemudian domestic price obligation (DPO) untuk industri sawit membuyarkan  prospek puluhan perusahaan sawit di negeri ini.

Asal tahu saja, sebelumnya, eksportir CPO sudah dikenai bea keluar US$ 200 per ton dan pungutan ekspor (levy) hingga US$ 375 per ton saat harga US$ 1.500. Setelah ada potongan US$ 575 per ekspor US$ 1.500, DMO dan DPO, pada 28 April muncul lagi larangan ekspor CPO, sehingga industri sawit seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Nasib jutaan petani sawit pun terkena imbasnya, karena harga Tandan Buah Segar (TBS) yang mereka terima jatuh hingga di bawah Rp 1.000. Normalnya, Rp 2.000-Rp 3.000 per kilogram.

Akibat larangan ekspor sawit di atas, harga CPO dunia menembus RM 7 ribu per ton. Tetapi hanya eksportir Malaysia yang menikmatinya. Sementara perusahaan dan petani sawit Indonesia hanya bisa gigit jari menontonnya.

Untungnya, ekspor sawit sudah dibuka kembali akhir Mei lalu dan pungutan ekspor hingga akhir Agustus 2022 dihapus. Harapannya, harga CPO dan TBS dapat kembali normal.

Kenyataannya, pencabutan larangan ekspor dan penghapusan pungutan ekspor ini too late and too little. Stok CPO di gudang perusahaan sawit sudah mencapai 10 juta ton, jauh di atas kondisi normal yang 2 juta-3 juta ton.

Beberapa perusahaan terpaksa menyimpan persediaannya di kapal-kapal pengangkutan (floating). Pasokan yang melimpah membuat harga CPO turun 45% dari harga tertingginya. Mungkin baru di akhir tahun harga CPO dan TBS menjadi stabil, sesuai harapan produsen dan petani sawit.

Jika industri sawit tak putus dirundung malang, industri batubara dan komoditas andalan Indonesia lainnya masih meneruskan kejayaannya hingga saat ini. Ekspor dan surplus neraca dagang RI semester 1-2022 kembali mencetak rekor sepanjang sejarah, yaitu sebesar US$ 141,2 miliar, di peringkat 25 dunia, dengan surplus US$ 24,9 miliar.

Neraca dagang yang surplus selama 26 bulan terus-menerus juga belum pernah terjadi sebelumnya. Realisasi pendapatan negara diparuh pertama pun tahun ini pun mencapai Rp 1.317, 2 triliun, atau 58,1% dari target tahun 2022, yaitu sebesar Rp 2.266,2 triliun.

Ironisnya, sebagian besar negara-negara di dunia mengalami inflasi tinggi akibat melonjaknya harga energi dan pangan. Amerika Serikat mengalami inflasi terbesar dalam 40 tahun, yaitu mencapai 9,1% secara tahunan di akhir Juni lalu. Angka itu setara 4-5 kali inflasi normal mereka.

Inflasi Inggris juga mencapai 9,1%, Uni Eropa mencapai 8,6%. Inflasi Brasil  sebesar 11,9%, Rusia 15,9%, Turki 78,6%, dan Venezuela bahkan melesat 167%. Akibatnya, hampir semua negara di dunia menaikkan suku bunganya.

Bunga The Fed, contohnya, sudah naik tiga kali dari 0,25% di awal tahun menjadi 1,75% saat ini, dan diperkirakan akan dinaikkan lagi menjadi 3,25% di akhir tahun. Hanya sedikit negara yang masih mempertahankan suku bunga acuannya, termasuk Indonesia.

Naiknya suku bunga dan tingkat diskonto pada akhirnya akan membuat valuasi semua aset berubah, termasuk saham. Itulah yang terjadi dengan indeks saham di banyak negara.

Menurut catatan harian KONTAN minggu lalu, dari 11 bursa saham yang dibandingkan, sepuluh mengalami penurunan indeks saham sejak awal tahun, year to date (ytd), sebesar 0,9% hingga 21,3%, yaitu bursa Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, China, Hong Kong, Jepang, Amerika, dan Inggris. Hanya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang masih positif hingga 4,6% hingga akhir minggu lalu.

Jika saat ini IHSG sulit bertahan di atas 7.000, itu karena nilai tukar dolar AS yang menembus Rp 15.000, seiring terjadinya capital outflow. Melemahnya rupiah hingga Rp 15.000 per dollar AS adalah wajar dan masih lebih baik jika dibandingkan depresiasi mata uang lainnya. Karenanya, saya percaya IHSG akan kembali menuju 7.300 ketika arus dana asing berbalik masuk.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 25 Juli 2022. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 4.