Ari Kuncoro: Resesi sebagai ”Obat Keras” Inflasi Dunia

0

Resesi sebagai ”Obat Keras” Inflasi Dunia

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor UI dan Guru Besar FEB UI

 

KOMPAS – (19/7/2022) Bank Sentral Amerika Serikat atau the Fed menaikkan suku bunga acuannya pada 15 Juni 2022. The Fed mencoba mengendalikan inflasi AS yang mencapai 8,6 persen pada Mei, tertinggi sejak 1994. Banyak pihak khawatir bahwa kebijakan ini overdosis sehingga akan membawa AS ke jurang resesi lebih dalam. Itu karena permasalahannya adalah pada sisi produksi dunia yang terganggu akibat perang Rusia-Ukraina.

Resep standar untuk menurunkan inflasi adalah ”meresesikan” ekonomi dengan menurunkan sisi permintaan masyarakat. Caranya, dengan mengurangi ekspansi jumlah uang beredar, menaikkan suku bunga acuan bank sentral atau instrumen lain untuk memperketat likuiditas.

Dengan begitu, masyarakat, baik konsumen maupun perusahaan, menurunkan belanjanya. Namun, resesi itu ada biayanya, yaitu kenaikan pengangguran yang perlu dicarikan strategi untuk meminimalkannya (Okun, 1978).

Inflasi dan perubahan prilaku

Dengan tingkat inflasi setinggi itu, The Feds berkeras menaikkan suku bunga acuan. Kesan sebagai ”obat keras” terlihat dari besarannya yang mencapai 75 basis poin dan ada kemungkinan terjadi lagi pada Juli karena inflasi Juni mencapai 9,1 persen.

Ada beberapa alasan untuk kenaikan suku bunga setinggi ini. Pertama adalah masalah kredibitas dan reputasi (Persson dan Tabellini, 1994). The Feds ingin memperbaiki citranya dengan respons lebih galak (hawkish) terhadap inflasi. The Feds dinilai terlalu lambat (behind the curve) dalam menaikkan suku bunga acuan setelah kebijakan moneter akomodatif pada saat pandemi. Dengan likuiditas yang menumpuk di masyarakat, seharusnya kenaikan suku bunga acuan dilakukan lebih awal.

Kedua adalah daya beli konsumen yang menurun. Survei oleh CNBC AS baru-baru ini meneliti dampak inflasi pada masyarakat menengah atas yang paling sedikit berpendapatan 100.000 dollar AS per tahun. Hasilnya, pelemahan permintaan masyarakat (demand destruction) sudah terlihat.

Sekitar 65 persen responden merasa sangat prihatin dengan inflasi tinggi sehingga mengubah perilakunya. Sebanyak 77 persen mengaku mengurangi makan di luar rumah, 69 persen mengurangi mencari hiburan di luar, 63 persen mengurangi perjalanan wisata.

Survei di atas juga menunjukkan, 55 persen sudah mengurangi pengeluaran rumah tangga besar (big ticket items), seperti perangkat elektronik dan furnitur, dan 45 persen tidak akan membeli mobil. Jika masyarakat kelompok menengah atas saja sudah seperti ini, beban inflasi untuk kelompok minoritas dapat menjadi dua kali lipatnya (Torbecke, 2001). Pesimisme dan kekhawatiran ini dapat membuat ekspektasi resesi menjadi kenyataan (self-fulfilling expectation) karena reaksi berantai pengeluaran masyarakat yang turun (downward spiralling).

Prospek resesi dan Dampak Global

Survei yang dilakukan oleh CNBC AS pada sejumlah CEO di AS pada awal Mei memperkirakan, resesi akan datang pada pertengahan 2023 dengan probabilitas lebih dari 50 persen. Namun, prediksi tersebut tampak konservatif karena dampak kenaikan suku bunga The Feds sudah mulai terlihat.

Di AS, harga saham-saham AS di Wall Street berguguran. Beberapa tanda-tanda awal lain juga tampak dalam pelemahan beberapa indikator, seperti penjualan rumah, indeks keyakinan konsumen, dan harga tembaga.

Secara teknis definisi resesi baru terjadi jika dua triwulan berturut-turut terjadi pertumbuhan negatif. Pertumbuhan AS sudah melambat drastis ke 1,6 persen di triwulan I-2022. Oleh sebab itu, data pertumbuhan triwulan II yang akan dikeluarkan pada akhir Juli menjadi perhatian dunia. Sebagai lokomotif dunia, walaupun sekarang resesi masih prospek, dampak kenaikan suku bunga The Feds akan mempunyai luberan (spillover) ke perekonomian dunia melalui jalur resesi, ekspektasi atau jalur-jalur yang lain (Ahmed et.al, 2021).

Dampak global kebijakan The Feds sudah terlihat di bursa berjangka minyak dan komoditas internasional. Pasar minyak dan komoditas global berjangka memperdagangkan surat berharga kontrak-kontrak pengiriman mendatang, karena itu rawan dipengaruhi ekspektasi ke depan.

Bursa komoditas berjangka (futures) dapat mempengaruhi pasar fisik yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Sejak pengumuman kenaikan suku bunga acuan AS, harga minyak WTI anjlok dari 119 dollar per barel menembus batas psikologis 100 dolar ke 96 dolar AS per barel dalam tempo sebulan.

Komoditas yang lain juga terkena imbas. Harga gandum misalnya turun dari hampir 13 dolar per gantang di pertengahan Mei, menjadi 8 dolar AS per gantang di pertengahan Juli. Sementara itu minyak sawit turun dari sekitar 7000 ringgit per ton ke 3900 ringgit.

Bagi AS, turunnya tekanan inflasi global adalah suatu bonus. Kebijakan kenaikan suku bunga acuan yang awalnya ditujukan hanya untuk menurunkan permintaan domestik, ternyata mempunyai spillover menurunkan harga-harga di bursa berjangka komoditas global melalui jalur ekspektasi resesi. Ini akhirnya berpengaruh ke sisi produksi di AS dan dunia (Roldos, 1995).

Implikasi Kebijakan

Walaupun tekanan inflasi global menurun, bagi negara-negara lain permasalahannya tidak berhenti di sini. Turunnya harga-harga komoditas global mengakibatkan pemodal yang selama ini bermain di bursa berjangka dunia, beralih ke aset finansial yang lebih aman, menambah arus balik modal ke AS .

Akibatnya, indeks dolar sempat naik hampir ke 109, tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Imbasnya, mata uang lain jadi melemah. Euro misalnya sudah terdepresiasi menembus paritas satu dolar sama dengan satu euro, pertama kalinya dalam dua dekade. Hal ini membuat tekanan inflasi yang semula hanya berasal dari harga komoditas sekarang bertambah dengan imported inflation karena depresiasi mata uang. Untuk itu Bank Sentral Eropa (ECB) berniat meningkatkan suku bunga acuan pada akhir Juli dan September nanti.

Rupiah juga terimbas, dari Rp 14.600an di awal Juni sempat menembus Rp 15.000 di pertengahan Juli. Namun ,kemudian bertahan di sekitar Rp 14.990an per dolar. Dampaknya terlihat dari inflasi Juni sebesar 4,35 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Dengan ekspektasi indeks dolar yang menguat, maka berbagai opsi dapat dilakukan termasuk menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah inflasi impor dan arus modal keluar yang berlebihan. Setiap kebijakan memang selalu ada plus-minusnya. Kenaikan suku bunga memang dapat meningkatkan biaya dana, tetapi diperkirakan masih dapat ditanggung oleh perekonomian yang sedang melaju setelah pandemi mereda, mengandalkan permintaan masyarakat yang selama ini tertahan di sektor perjalanan, perdagangan, pariwisata dan akomodasi.

Yang harus diwaspadai, depresiasi rupiah yang terlalu besar beresiko menimbulkan inflasi berlebihan dan melemahkan permintaan dalam negeri. Berita baiknya, IMF memprediksi peluang resesi Indonesia cukup kecil, hanya 3 persen. Salah satu faktornya, Indonesia mempunyai 115 juta penduduk kelas menengah (World Bank, 2019) yang daya belinya jika inflasi terkendali cukup untuk dapat memutar perekonomian.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/18/resesi-sebagai-obat-keras-inflasi-dunia