Dewi Meisari: Akselerasi UMKM Naik Kelas dengan Pendampingan

0

Akselerasi UMKM Naik Kelas dengan Pendampingan

Oleh: Dewi Meisari, Chief Editor, UKMIndonesia.id – LPEM FEB UI

 

KONTAN (17/6/2022) – ILYAS adalah pengusaha tambak udang dengan omzet Rp8 miliar per tahun. Meski telah mendapat akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebanyak dua siklus, ia enggan membesarkan usahanya lantaran takut terendus pajak.

Di lain pihak, bisnis kue Sulis kian ramai. omset pun naik tiga kali lipat merjadi Rp15 juta sebulan. Sejumlah bank pun tengiur menyalurkan pinjaman. Karena masih ragu akan bisnisnya, Sulis pun menolak pinjaman tersebut. la hanya ingin menggenjot omset dengan promosi digital, meski masih bingung untuk memulainya.

Dua kasus tersebut adalah praktik bisnis pelaku UMKM Indonesia 20 tahun silam dan sekarang. Setelah ratusan triliun anggaran, puluhan program dari sekitar 21 Kementerian/Lembaga (K/L) dalam sepuluh tahun terakhir, dampak nyatanya tampak belum signifikan.

Secara makro, pelaku UMKM mewakili 99.99% dari total unit usaha di Indonesia. Sementara, usaha berskala besar stagnan di angka.0.01% Artinya, hanya I dari 10.000 unit usaha yang berhasil naik kelas sampai Usaha Besar. Rasio jumlah usaha besar di negara yang lebih maju relatif lebih tinggi, seperti di Uni Eropa (0,2%), Jepang (0,3%) dan Tiongkok (0,4%).

Untuk menyamakan rasio dengan Uni Eropa saja, kita harusnya punya 130 ribu usaha besar. Data Kemenkop UKM RI (2018) memproyeksikan ada sekitar 5.600 unit Usaha Besar. Artinya, Indonesia perlu memberdayakan sekitar 124 ribu UMKM sampai bisa naik kelas menjadi usaha besar baru.

Jika merujuk pada PPNo.7/2021, UMKM didefinisikan sebagai usaha dengan batas atas omset Rp50 miliar per tahun. Padahal perkiraan rata-rata onzet UMKM saat ini masih di sekitar Rp147 juta per tahun. Bagaimana strategi mencetak 124 ribu Usaha Besar baru?

Pendampingan Non-Seremonial dan Terstruktur

Sejak 2010, APBN telah menghabiskan Rp120 triliun untuk membayar premi penjaminan kredit dan subsidi bunga program KUR. Lalu, sekitar Rp6 triliun per tahun untuk program-program pelatihan, hibah, workshop, sertifikasi, pameran, dan lainnya oleh berbagai K/L, (TNP2K, 2020). NGO serta CSR BUMN dan korporasi juga urun bantu dengan program serupa. Dukungan yang begitu besar, mengapa UMKM kita seakan stunting karena mentok di skala mikro dan sulit naik kelas?

Studi UKMIndonesia.id – LPEM FEB Ul yang didukung oleh BRI (2019-2020) coba menyusun parameter UMKM “Naik Kelas’, menyusun kurikulum pendampingannya, dan menghasilkan Indeks UMKM Naik Kelas dengan rentang nilai 0-10. Skor indeks tersebut dibagi ke dalam 9 kategori kelas dari Tradisional sampai Modem Teladan.

Hasil uji coba ke lebih dari 3.700 UMKM menurjukkan, sebagian besar tergolong kelas Berkembang (rentang nilai indeks 3.21 – 4.26) dan Tradisional Teladan (2.17 – 3.21). Studi ini juga menemukan pola bahwa peluang naik kelas dari Usaha Mikro ke Kecil dapat meningkat signifikan ketika sebuah usaha mencapai kelas Berkembang Utama (skor 4,26 – 5.30), sementara untuk Usaha Kecil ke Menengah di kelas Modern Utama (skor 7.39 – 8.43).

Studi ini mengestimasi bahwa untuk naik kelas dari kategori kelas Tradisional ke Berkembang, pelaku usaha perlu meningkatkan kompetensi kewirausahaannya minimal terkait 27 tema pelatihan/workshop praktis mencakup 12 aspek kewirausahaan (skala. pola pikir, kepemimpinan, budaya inovasi. pemasaran, operasional, keuangan, SDM, legalitas dan kepatuhan, pemahaman industri dan persaingan pasar, rantai pasok, dan kepedulian sosial lingkungan). Sementara untuk naik dari kelas Berkembang ke Modern dibutuhkan 31 tema.

Temuan ini mempertegas bahwa acara pelatihan singkat, webinar, kunjungan lapangan, atau seremonial lainnya belum layak disebut sebagai program pendampingan. Pendampingan setidaknya mencakup workshop praktis dengan tanya jawab dan konsultasi bagi peserta yang kebingungan saat mempraktikkan pengetahuan barunya, serta dilengkapi pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.

Urgensi Alokasi Sumber Daya Pendampingan

Tanpa pendampingan terstruktur, penghindar pajak seperti Ilyas akan tetap bisa menikmati subsidi. Sementara, bisnis Sulis bisa terancam stagnan, padahal ia punya semangat belajar dan tumbuh yang tinggi.

Kebijakan intervensi harga berupa subsidi bunga KUR juga tak terbukti efektif mengakselerasi inklusi keuangan bagi UMKM. Proporsi kredit perbankan untuk UMKM tetap anteng di sekitar 20%, karena KUR banyak dinikmati nasabah lama yang mengejar bunga murah dan menyempitkan peluang inklusi UMKM non-bankable.

Jika untuk menyalurkan KUR dengan plafon Rp285 triliun dengan bunga 6%, estimasi anggaran subsidi KUR pada 2021 adalah sekitar Rp14 triliun. Lalu, hasilnya, rata-rata produktivitas tidak meningkat signifikan, inklusi akses modal tetap mandeg, dan kesadaran kepatuhan pajak, bukankah subsidi bunga ini seperti membakar uang? Bagaimana jika alokasinya diperbaiki?

Jika pendampingan bisa tingkatkan peluang sukses jadi usaha besar dari 0,01% menjadi 1% maka untuk cetak 124,000 Usaha Besar baru kita perlu dampingi sekitar 12 juta UMKM. Dengan asumsi rasio 1:200, maka kita perlu mencetak setidaknya 60.000 fasilitator kewirausahaan. Jika gaji fasilitator Rp 8 juta per bulan; maka dalam setahun hanya butuh anggaran Rp76 triliun. Selisih Rp8,24 tri riliun dapat tetap dimanfaatkan untuk subsidi bunga dan/atau fasilitasi sertifikasi, tapi kali ini hanya untuk yang terbukti melakukan perbaikan sesuai kriteria naik kelas yang diten

Sejak 1950-an, Korea Selatan melatih 30,000 fasilitator dengan muatan konten setara 100 jam sesi pembelajaran untuk mendampingi 1.6 juta petani. Hasilnya, kini Korea Selatan memiliki konglomerasi sosial National Agricultaral Cooperatize Federation yang menjadi salah satu kekuatan grup keuangan terbesar dengan nilai kelolaan aset lebih dari Rp4.100 triliun (2014).

Orkestrasi pemberdayaan efektif perlu investasi pendampingan yang terstruktur, berkelanjutan, dan dilengkapi dengan sistem basis data yang mantap untuk monitoring dan evaluasinya.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Jumat, 17 Juni 2022. Kolom Opini