Ari Kuncoro: Krisis Energi, Dollar AS, dan Resesi

0

Krisis Energi, Dollar AS, dan Resesi

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia

Bagi negara yang punya peluang lebih baik menghadapi prospek resesi dunia, mitigasi dampak krisis energi dan pangan dunia tetap tidak mudah. Bagi Indonesia, rancangan kebijakan tak akan sama dengan dua tahun terakhir.

 

KOMPAS ā€“ (14/6/2022) Bank Dunia dalam Global Economic Prospects yang diluncurkan, 7 Juni 2022, memperingatkan prospek resesi dunia dibarengi dengan inflasi yang tinggi (stagflasi) sebagai akibat konflik Rusia-Ukraina. Bank Dunia memangkas ramalan pertumbuhan global dari 4,1 persen ke 2,9 persen.

Angka ini diprediksi akan tetap bertahan pada dua tahun mendatang karena perang di Ukraina mengakibatkan disrupsi arus investasi serta perdagangan internasional khususnya pangan dan energi.

Situasi sekarang mempunyai banyak kemiripan dengan dekade 1970-an di mana gangguan sisi pasokan yang terus-menerus didahului oleh kebijakan moneter yang akomodatif di negara-negara maju.

Prospek resesi dunia terjadi karena AS yang merupakan lokomotif dunia mencatat pertumbuhan negatif 1,5 persen di triwulan I-2022, sementara inflasi mencapai 8,6 persen pada Mei. Penjualan mobil tahunan bulan Mei tercatat pada tingkat resesi atau 12,8 juta unit, lebih rendah 14,6 persen dari bulan sebelumnya. Aplikasi kredit pemilikan rumah mingguan yang berakhir 3 Juni adalah yang terendah dalam 22 tahun terakhir.

Sementara itu, pertumbuhan zona Euro mencapai 0,2 persen pada triwulan I-2022, turun dari 0,3 persen di triwulan sebelumnya.

Satu hal yang membesarkan hati, dengan bauran kebijakan memadai, negara-negara dengan populasi besar dan mempunyai perekonomian yang terdiversifikasi ke sektor pertanian, manufaktur, jasa-jasa, dan mempunyai produk ekspor tampaknya mempunyai peluang lebih baik dalam menghadapi resesi. Misalnya, China yang baru saja melakukan relaksasiĀ lockdownĀ untuk kota Shanghai. Pertumbuhannya di triwulan I-2022 melebihi ekspektasi, yakni 4,8 persen, melebihi perkiraan semua sebesar 4,4 persen secara tahunan.

Perbedaan dengan resesi 1970-an

Konflik Rusia-Ukraina menghasilkan fenomena yang menarik. Pada resesi 1970-an dollar AS melemah, tetapi saat ini justru sedang kuat-kuatnya. Tidak hanya karena kebijakan bank sentral AS atau The Feds saja yang awal Mei lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin, tetapi juga karena eksodus modal dari Rusia yang terkena sanksi ekonomi.

Indeks dollar AS sempat mencapai posisi 107 walaupun sekarang ada pada angka 104. Biasanya kekuatan dollar AS berhubungan terbalik dengan harga minyak internasional, tetapi saat ini keduanya sama-sama naik.

Bagi negara-negara importir bersih energi dan pangan perkembangan ini merupakan pukulan ganda. Negara-negara berkembang danĀ emerging marketsĀ sekarang menghadapi dilema yang tidak mudah.

Alternatif pertama adalah membiarkan kenaikan harga ini ditanggung masyarakat. Dengan demikian, prioritas anggaran dapat dialokasikan ke arah sektor-sektor dengan dampak jangka panjang. Misalnya, pendidikan, kesehatan, transisi energi, perubahan iklim, pangan dan lain-lain.

Konsekuensinya adalah risiko penurunan daya beli masyarakat yang berdampak pada perlambatan ekonomi, selain berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Pilihan lain adalah meningkatkan alokasi subsidi untuk pangan dan energi dengan risiko berkurangnya anggaran untuk daya saing jangka panjang melalui pembangunan kapasitas SDM dan infrastruktur.

Di tahun 1970-an Indonesia adalah eksportir bersih migas. Krisis energi dunia membawa AS dan negara-negara industri lainnya ke jurang stagflasi. Namun, bagi Indonesia, masa itu adalah periode bonanza. Hasil ekspor migas kemudian disuntikkan ke perekonomian dalam negeri melalui program-program perbaikan irigasi, infrastruktur, dan program pembangunan lainnya.

Krisis energi sekarang lebih kompleks karena didahului oleh perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Indonesia dalam proses memulihkan pertumbuhan akibat mobilitas yang terganggu pandemi.

Krisis energi dan resesi dunia berpotensi menghambat pemulihan ekonomi akibat peningkatan harga di sisi produksi, serta terganggunya mobilitas berbasis energi fosil. Selain itu, juga meruntuhkan sisi permintaan masyarakat karena harga yang terlalu tinggi.

Stimulus mobilitas

Minggu lalu harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mencapai 122 dolar AS per barel meski kemudian turun kembali ke kisaran 120 dolar. Sedikit penghibur, harga gandum yang melonjak mendekati 12,7 dolar AS per gantang setelah India melarang ekspor gandumnya, turun signifikan, meski tetap tinggi pada 10,5 dolar per gantang. Penurunan harga ini terjadi karena berita panen berlimpah di Australia.

Bagi negara-negara yang disebut oleh Bank Dunia mempunyai peluang lebih baik menghadapi prospek resesi dunia, pekerjaan memitigasi dampak krisis energi dan pangan dunia tetap tidak mudah. Bagi Indonesia, rancangan kebijakan yang diperlukan mungkin tidak akan sama seperti tahun 2020-2021 saat Covid-19 merajalela dengan alokasi masif untuk sektor kesehatan dan menjaga daya beli kelompok rentan.

Salah satu strategi baru adalah memanfaatkan daya beli kelas menengah yang ingin mencari suasana baru setelah terkungkung selama dua tahun akibat pandemi.

Di tengah tingginya harga avtur, fenomena tertundanya jadwal penerbangan di negara-negara maju di belahan bumi utara awal Juni lalu menarik untuk diamati. Hal ini terjadi karena keterbatasan jumlah pegawai bandara dan kapasitas penerbangan yang berhadapan dengan tingginya minat masyarakat untuk melancong di musim semi.

Jasa seperti ini menjadi faktor yang menjelaskan mengapa pertumbuhan di zona Euro dan Inggris yang melambat tidak memasuki zona negatif. Fenomena ini juga terlihat pada liburan mudik Lebaran pada bulan Mei lalu yang kemudian dilanjutkan dengan padatnya tempat-tempat wisata, terutama pada saat liburan akhir pekan.

Proyeksi Bank Dunia, pertumbuhan Indonesia tahun 2022 tetap 5,1 persen, tidak jauh dari angka pertumbuhan 5,01 persen di triwulan I yang didukung sektor-sektor berbasis mobilitas.

Pengamatan terkini menunjukkan, selain kebijakan stimulus klasik seperti bantuan langsung tunai untuk kelompok rentan, kebijakan subsidi Pertalite tampaknya ditujukan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dengan menggunakan daya ungkit belanja kelas menengah.

Jumlah kelas menengah Indonesia diperkirakan sekitar 57 juta orang atau 21 persen dari populasi. Preferensi relaksasi kelas menengah melalui perjalanan wisata ke pelosok negeri mempunyai potensi keterkaitan dengan sektor yang didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah, seperti perdagangan, akomodasi, kuliner, dan manufaktur ringan.

Setiap kebijakan akan selalu ada dilema atauĀ trade-off, moral hazard, danĀ free-rider.Ā Perbedaan harga yang signifikan dengan Pertamax menyebabkan ada saja mobil-mobil mewah yang mengisi tangkinya dengan Pertalite.

Terkait dengan hal ini, kata-kata bijak mengatakan, lebih baik melakukan sesuatu walaupun tidak sempurna daripada tidak melakukan sesuatu dengan sempurna. Yang terpenting adalah memperhatikanĀ sustainability, umpan balik, dan melakukan perbaikan terus-menerus.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/di-balik-berita/2022/06/13/krisis-energi-dolar-as-dan-resesi