Bambang PS Brodjonegoro: Jebakan Pendapatan Menengah dan Inflasi

0

Jebakan Pendapatan Menengah dan Inflasi

Oleh: Prof. Bambang PS Brodjonegoro, Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

KOMPAS – (22/2/2022) Isu mengenai jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) telah mulai diembuskan Bank Dunia sekitar tahun 2006.

Pada 1 Juli 2020, Bank Dunia menetapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan penghasilan menengah atas. Namun, pada 2021 Bank Dunia menurunkan status kelas Indonesia dari negara berpenghasilan menengah atas menjadi negara berpenghasilan menengah bawah. Dengan demikian, Indonesia bukannya naik kelas, justru turun kelas, hanya dalam kurun waktu satu tahun.

Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara berpenghasilan menengah, akan terperangkap dan tak dapat naik kelas ke negara berpenghasilan tinggi. Sudah tentu semua pihak sepakat bahwa Covid-19 merupakan salah satu penyebab pokok dari turunnya pendapatan nasional Indonesia.

Tanpa bermaksud mempersalahkan Covid-19 sebagai sumber penyebab, ada beberapa hal yang perlu dilaksanakan oleh Indonesia untuk mendorong Indonesia untuk kembali naik kelas ke negara berpenghasilan menengah atas, bahkan ke kelas negara berpenghasilan tinggi.

Definisi Bank Dunia untuk negara berpenghasilan menengah bawah adalah memiliki pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) per kapita 1.036 dollar AS hingga 4.045 dollar AS. Selanjutnya, definisi negara berpenghasilan menengah atas adalah memiliki GNI per kapita 4.046 dollar AS sampai 12.535 dollar AS.

Tanpa melihat data Indonesia, penurunan kelas yang dialami Indonesia menunjukkan bahwa saat ini Indonesia memiliki GNI per kapita di bawah 4.046 dollar AS. Tugas kita pertama-tama tak saja mencari cara agar Indonesia kembali naik kelas ke negara berpenghasilan menengah atas dan bahkan sedapat mungkin naik kelas ke negara berpenghasilan tinggi.

Namun, sebelum naik kelas, kita harus mempertahankan Indonesia agar tidak turun kelas ke negara berpenghasilan menengah bawah. Mengapa kita tidak hanya harus naik kelas, tetapi juga mempertahankan kelas yang dicapai Indonesia pada saat ini? Indonesia adalah negara yang menganut perekonomian terbuka. Berbagai kondisi ekonomi internasional akan berdampak, langsung atau tidak langsung, terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri.

Salah satu contoh kondisi ekonomi internasional adalah kenaikan inflasi di luar negeri, misalnya di AS, yang belakangan ini ramai dibahas di berbagai media dan juga seminar.

Penyebabnya antara lain adalah demand pull sebagai dampak dari program stimulus di negara maju dan cost push akibat kenaikan ongkos produksi sebagai dampak dari kenaikan upah buruh, harga input, dan harga energi dunia.

Kenaikan harga barang dan jasa di luar negeri, melalui teori sederhana yang sudah terbukti secara empiris, yakni relative purchasing power parity dan pass through effect, akan berdampak terhadap pelemahan nilai tukar dan bisa mendorong kenaikan harga barang impor.

Apabila kebutuhan untuk investasi di dalam negeri, terutama mesin-mesin, masih mengandalkan barang impor, depresiasi nilai tukar, akan mendorong kenaikan harga barang modal untuk investasi. Ini akan menjadi beban biaya bagi investasi sehingga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.

Jadi, dalam upaya mendorong Indonesia agar naik kelas, GNI per kapita Indonesia perlu ditingkatkan. Cara peningkatan GNI per kapita tergantung kepada definisi dari GNI itu sendiri dan komponen apa saja yang memengaruhi GNI.

Peningkatan komponen GNI sebagian besar sudah dibahas oleh para ekonom (baik sebagai wakil perguruan tinggi, wakil dari industri, maupun wakil dari pemerintah), misalnya komponen-komponen peningkatan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, penerapan digitalisasi yang semakin penting di era Covid-19 ini, daninstitusi atau birokrasi yang lebih ramping dan bersih.

Namun, yang tak kalah pentingnya adalah antisipasi dampak kenaikan inflasi di luar negeri sehingga dampaknya minimal terhadap pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini GNI, di dalam negeri, bahkan sedapat mungkin diusahakan agar dampaknya tak ada (zero impact).

Dengan demikian, selain komponen-komponen yang memengaruhi GNI per kapita, dampak dari ekonomi dunia, dalam hal ini inflasi di AS, juga perlu ditangani dengan baik. Bank Indonesia (BI) perlu mengawasi dampaknya terhadap depresiasi nilai tukar mata uang di dalam negeri.

Dari inflasi per se, data dari awal 2019 sampai akhir 2021 menunjukkan bahwa kenaikan tingkat harga atau inflasi di Indonesia relatif rendah. Tingkat inflasi per Desember 2021 bahkan lebih rendah dari target inflasi BI untuk 2021.

Dari empat komponen Indeks Harga Konsumen, yakni administered, volatile, energy, dan food, yang fluktuasinya paling tinggi adalah food atau pangan. Apabila kita melihat rincian dari harga pangan dan kebutuhan pokok harian, sepanjang 2021 terlihat bahwa daging ayam, telur ayam, dan minyak goreng brand (premium) naik lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan pokok lain, seperti beras, bawang merah, bawang putih, dan cabe keriting.

Dari ketiga bahan pangan di atas, yakni minyak goreng, daging ayam, dan telur ayam, harga daging ayam dan telur ayam tampak mulai menurun. Sementara harga minyak goreng sudah ditangani oleh pemerintah melalui pengawasan distribusi dan harga, serta penjatahan (maksimal 1 atau 2 liter per pembelian) untuk jenis brand (premium) terutama di pasar modern seperti supermarket.

Memang, untuk minyak goreng kelas 2 yang biasa dibeli rumah tangga, telah terjadi kelangkaan selama kurang lebih seminggu. Maka, yang banyak tersedia adalah minyak goreng kelas 1 dan minyak goreng jenis curah. Diharapkan dengan penanganan yang cepat oleh pemerintah, kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bisa diatasi sehingga tingkat inflasi di dalam negeri masih bisa dipertahankan di tingkat wajar.

Untuk inflasi yang bersumber dari barang impor, sebagaimana dikemukakan di atas, kenaikan inflasi di luar negeri akan berdampak terhadap kenaikan harga barang impor, terutama mesin-mesin yang dibutuhkan untuk investasi dalam negeri.

Salah satu cara mengatasi kebutuhan barang impor dalam bentuk mesin-mesin untuk investasi di dalam negeri itu adalah mengundang para pemilik pabrik mesin-mesin (yang seharusnya kita impor itu) untuk membangun pabrik mesin-mesinnya di Indonesia. Dengan cara tersebut, kita dapat mengurangi impor mesin sehingga dampak depresiasi nilai tukar relatif kecil terhadap investasi.

Perang tarif antara AS dan China yang sudah berlangsung sejak Agustus 2018 tampaknya dapat dimanfaatkan sebagai sarana bagi Indonesia untuk menarik pemilik pabrik mesin-mesin dari kedua negara untuk melaksanakan penanaman modal asing ke Indonesia (rerouting barang produk dari direct export menjadi indirect export through Indonesia untuk menghindari hambatan tarif).

Hal ini bisa dilaksanakan sepanjang biaya dan regulasi di Indonesia lebih menguntungkan bagi investor asing, relatif dibandingkan Vietnam atau Filipina, misalnya. Perlu kerjasama antara pemerintah dan pengusaha untuk mencari tahu sumber biaya tinggi dan hambatan regulasi, yang dialami calon pengusaha investor asing.

Data produk domestik bruto (PDB) Indonesia untuk 2021 sudah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ekonomi tumbuh 5,02 persen (year on year/yoy) dan 1,06 persen (quarter to quarter/qtq). PDB per kapita dalam dollar AS menurut BPS mencapai 4.349,5 dollar AS. Namun, angka GNI per kapita (PDB per kapita dengan beberapa penyesuaian) untuk 2021 belum diterbitkan BPS.

Relatif tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 yang diukur oleh PDB per kapita mengindikasikan bahwa GNI per kapita diperkirakan juga akan meningkat. Diharapkan peningkatan GNI per kapita dapat mengembalikan Indonesia ke dalam kelas negara berpenghasilan menengah atas.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 22 Februari 2022. Rubrik Opini. Halaman 6.