LPEM FEB UI, OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies

0

LPEM FEB UI, OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (23/2/2022) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI bersama Prospera menggelar Tax Policy Dialogue bertajuk “OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies” pada Rabu (23/2). Acara berlangsung secara daring melalui Zoom dan YouTube LPEM FEB UI.

Staf Ahli Menkeu Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra sebagai keynote speaker menuturkan, “Seperti kita ketahui, Kerangka Inklusif OECD telah menerbitkan pernyataan solusi Pilar 2 melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) pada Oktober 2021. Menandai era baru international tax landscape, saat ini sebanyak 137 negara anggota telah menandatangani pernyataan dengan ambisi untuk mengantar Pilar 2 ke Undang-Undang (UU) pada 2022.”

Sejatinya, Indonesia perlu menerapkan Qualified Domestic Minimum Tax (QDMT) atau pajak minimum domestik yang sejalan dengan ketentuan tarif pajak minimum global 15% pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Nantinya, aturan ini akan berlaku bagi grup perusahaan multinasional yang berpendapatan di atas EUR750 juta.

Lebih lanjut, Senior International Tax Policy Adviser/Senior Adviser at the Canadian Tax Foundation Brian Arnold sebagai speaker mengutarakan bahwa yurisdiksi perlu mengadopsi QDMT sebagai langkah melindungi basis pajak dari dampak pajak minimum global, terutama bagi yurisdiksi yang menerapkan banyak insentif pajak.

Ia menjelaskan, “Apabila Pilar 2 berlaku pada 2023, tak ada waktu untuk mengevaluasi seluruh insentif pajak, harus segera menerapkan kebijakan. Pengenaan QDMT adalah cara yang cepat untuk memajaki seluruh penghasilan dengan tarif pajak efektif sebesar 15%.”

Jika anak usaha dari suatu perusahaan multinasional terkena Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif efektif tidak mencapai 15%, maka sebuah yurisdiksi yang menjadi lokasi Ultimate Parent Entity (UPE) berpotensi mengenakan top-up tax sesuai Income Inclusion Rule (IIR).

Menurut Arnold, usai penerapan QDMT, Indonesia dapat mulai mengevaluasi insentif pajak terdahulu dan mengubahnya dengan insentif non pajak. Kemungkinan, berbagai negara lain pun turut mengubah insentif pajaknya dengan insentif non pajak, seperti subsidi dan lainnya. “Jadi, tetap mengenakan pajak, tetapi mengembalikan pajak tersebut kepada investor agar yurisdiksi tetap menarik untuk investasi,” tandasnya.

Kemudian, Christine Tjen (Koordinator TERC LPEM FEB UI) sebagai moderator memandu selama sesi diskusi bersama para pembahas yang ahli di bidangnya.

Head of Tax Division PT Adaro Energy, Tbk. Jul Seventa Tarigan membahas poin 94 dari perspektif wajib pajak Indonesia—termasuk perusahaan multinasional—tentang permintaan modifikasi perjanjian pajak Subject to Tax Rule (STTR) dengan negara maju yang berpartisipasi dalam Pilar 2 sehingga memungkinkan Indonesia mengenakan pemotongan pajak sebesar 9%.

Umumnya, pembayar Indonesia menanggung pemotongan pajak atas pembayaran bunga, royalti, dan biaya layanan (pajak bersih). Tarif pemotongan yang lebih tinggi dapat meningkatkan biaya, yakni biaya dana. Ia mengatakan, “Kalau dari kita membayar ke luar negeri, kita bisa memanfaatkan tax treaty. Kebanyakan perusahaan Indonesia itu membayar PPh atas bunga ke luar negeri. Sesuai pasal 26, itu menjadi beban debitur Indonesia.”

Implikasi penerapan STTR mungkin netral untuk bunga dan royalti di tengah pengurangan tarif pajak sebesar 10% atas pembayaran bunga obligasi kepada bukan penduduk. Sementara bagi jasa, bisa menimbulkan beban tambahan kalau wajib pajak Indonesia menanggung pajak tersebut.

Selaras, Chief Group Tax PT Astra International, Tbk. Ivan Budiarnawan berusaha menggali dampak penerapan Pilar 2 terhadap additional burden of tax pada wajib pajak Indonesia, terutama berurusan dengan perusahaan multinasional.

“Biasanya memang kalau ada burden of tax yang terjadi dari sourcing company, maka lebih pass on back to the source country. Posisi tawar kita dengan perusahaan multinasional di luar negeri yang cenderung lebih besar dan berkeahlian, sepertinya tidak apple to apple,” ujarnya.

Jika melihat penerapan pajak pemotongan bunga, Indonesia memang menanggungnya. Ivan berpendapat, “Nah, ini akan menimbulkan burden bagi wajib pajak Indonesia, walaupun penerapannya seperti pengenaan minimum tax ke inbound atau pemajakan yang ada di luar. Dengan pola hitung ekonomis, itu bisa dicarikan jalan sehingga perusahaan multinasional dapat pass back ke kita terkait pembayaran additional top-up supplement tax di luar.”

Senior Partner DDTC Danny Septriadi menilai ketentuan pajak minimum global pada Pilar 2 kurang selaras dengan proyek BEPS, khususnya Aksi 5. “Proyek BEPS memiliki target melawan insentif pajak yang tidak memiliki substansi ekonomi. Dengan pajak minimum global, preferential tax regime untuk menarik aktivitas ekonomi substantif justru menerima perlakuan yang sama dengan rezim pajak yang hanya ingin menarik paper profit.”

Sudah seharusnya mengeliminasi harmful tax regime, tetapi perusahaan yang melakukan substantive economic activities dan menerima insentif justru harus membayar pajak insentif di negara domisili.

Danny mengutip pernyataan Profesor Reuven Avi-Yonah, mencegah negara berkembang memberikan insentif pajak justru tidak menghilangkan kompetisi pajak. Namun, hanya akan menghilangkan kapabilitas negara dalam menanggapi kompetisi pajak.

Bagi Indonesia, kehadiran Pilar 2 dapat menciptakan kesulitan atas pemberian insentif pajak selama ini, misalnya tax holiday. Apabila perusahaan telah menerima tax holiday, tetapi baru beroperasi pada 2023, maka manfaat insentif tersebut akan tereduksi. “Kepastian bagi wajib pajak yang telah menerima tax holiday dan tax allowance akan berkurang atau hilang,” katanya.

Insentif pajak tax holiday, tax allowance, dan super tax deduction atas kegiatan riset berpotensi terdampak efektivitasnya oleh Pilar 2. Menanggapi hal tersebut, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Mekar Satria Utama mengungkapkan kalau pemerintah terus berkomitmen menjaga hak wajib pajak yang mengajukan permohonan dan menerima insentif pajak dari pemerintah, khususnya tax holiday.

Pemerintah telah memperluas cakupan Undang-Undang (UU) No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, tepatnya pada pasal 32 A, melalui UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengakomodasi adopsi Pilar 2.  Ia menerangkan, “Kami perluas, tidak hanya untuk tax treaty, tetapi melaksanakan pertukaran informasi, bantuan penagihan, termasuk mengadakan perjanjian yang berkaitan dengan perkembangan perpajakan internasional.”

Dengan begitu, pemerintah dapat melaksanakan Pilar 2 saat mulai implementasinya pada 2023. Bahkan, kerangka peraturan sebagai acuan bagi setiap yurisdiksi dalam mengadopsi Pilar 2 pada ketentuan domestiknya sudah selesai sejak 2021. Rencananya, Indonesia akan segera merancang Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan untuk penerapan income inclusion rule pada 2023 dan undertaxed payment rule pada 2024. (mh)