LPEM FEB UI: Indonesia Economic Outlook Q1-2022

0

LPEM FEB UI: Indonesia Economic Outlook Q1-2022

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (4/2/2022) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menggelar Press Conference bertajuk “Indonesia Economic Outlook Q1-2022” pada Jumat (4/2). Menghadirkan para peneliti LPEM, Jahen F. Rezki, Ph.D., Teuku Riefky, S.E., M.Sc., Nauli Desdiani, S.E., M.Sc., dan Mohamad Dian Revindo, Ph.D., sebagai pembicara.

     

Jahen menilai, upaya pemerintah mengoptimalisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan mendorong terwujudnya konsolidasi fiskal pada 2023. Targetnya, mampu menekan kembali defisit anggaran ke bawah 3% sebagai langkah countercyclical dampak pandemi COVID-19. “Itu salah satu alternatif, meskipun not the only policy,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa konsolidasi fiskal 2023 akan sangat terbantu dengan realisasi penerimaan pajak, baik dari tahun lalu maupun tahun ini. Pada 2021, realisasi penerimaan pajak tercatat raih 103,9% atau Rp1.277,5 triliun dari target APBN Rp1.229,6 triliun.

Jadi, total pendapatan negara 2021 tumbuh sebesar 114,9% dari target atau Rp2.003,1 triliun. Sementara defisitnya hanya 4,65% terhadap PDB, turun dari 6,14% PDB pada 2020.

Penerimaan pajak memang menunjukkan tren positif, tetapi Jahen menyarankan pemerintah mempersiapkan faktor pendorong lainnya, yakni optimalisasi UU HPP, “Kenaikan harga komoditas menjadi faktor terealisasinya penerimaan pajak hingga melebihi 100%. Namun, tren kenaikan harga komoditas ini perkiraannya hanya berlangsung hingga pertengahan 2022,” ujarnya.

     

Usai melalui kontraksi selama 2020, LPEM FEB UI memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 tumbuh pada kisaran 3,7% year-on-year (yoy). Riefky mengatakan, pertumbuhan kuartal IV/2021 akan beranjak naik capai 5,1% yoy seiring dengan akselerasi pemulihan. Situasi terakhir memang mulai bermunculan varian Omicron, tetapi dampaknya belum signifikan pada kuartal IV/2021.

Pendorong pertumbuhan tersebut adalah pelonggaran aktivitas sosial dan ekonomi sehingga industri mulai berani menjalankan ekspansi. Demikian pula, ada peningkatan kepercayaan masyarakat untuk melakukan konsumsi secara masif.

Melihat kilas balik, laju pertumbuhan ekonomi triwulan III/2021 melambat—hanya 3,51% yoy—karena terdisrupsi penyebaran varian Delta. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat yang berakibat pada penurunan aktivitas usaha di berbagai sektor, terutama yang mengandalkan interaksi fisik. “Triwulan III/2021 kita mengalami disrupsi tren pertumbuhan ekonomi yang selama ini momentumnya sudah dibangun.”

Riefky mengestimasi pertumbuhan ekonomi 2022 mampu lebih tinggi dari perkiraan sepanjang 2021. Ia mengutarakan, “Perekonomian tahun ini akan tumbuh di kisaran 4,9% yoy hingga 5,1% yoy. Meski begitu, masih ada risiko penyebaran varian Omicron, terutama pada kuartal I-2022.”

Ia berharap perekonomian Indonesia sudah lebih siap menghadapi COVID-19. “Apalagi, sekarang tingkat vaksinasi kita sudah lebih tinggi. Sudah ada pelajaran berharga yang kita petik dari penanganan gelombang kedua pandemi pada kuartal III/2021,” pungkasnya.

Peningkatan Inflasi Global

     

Saat banyak negara maju dan berkembang mengalami lonjakan inflasi yang tinggi, justru kondisi Indonesia masih relatif terkendali. Kendati perlahan mulai naik, tingkat inflasi Indonesia masih belum kembali ke level normal.

Nauli menyatakan, “Meskipun terjadi tren kenaikan, inflasi keseluruhan di 2021 tercatat 1,87% yoy, masih di bawah batas kisaran target Bank Indonesia (BI) sebesar 2%. Arah kebijakan moneter seharusnya fokus pro pertumbuhan karena kami melihat tidak ada urgensi BI untuk mendorong pengetatan kebijakan moneter dalam jangka pendek.”

Rendahnya inflasi tersebut karena pemerintah hanya memberikan anggaran stimulus fiskal sebesar 9,3% dari PDB 2020 sebagai tanggapan dalam menghadapi pandemi. Angka ini di atas rata-rata stimulus negara berkembang sebesar 5,1%. Namun, masih jauh dari stimulus negara maju, seperti Amerika Serikat yang mencapai 25,5% dan Inggris 19,3% dari PDB.

Beranjak dari hal tersebut, Nauli merasa pemerintah perlu meningkatkan stimulus dalam rangka membantu aktivitas ekonomi, mendorong konsumsi masyarakat, menjaga tingkat kemiskinan, dan menekan angka pengangguran. Dengan begitu, inflasi bisa kembali ke level normal pra pandemi.

Pariwisata dan Pandemi di Indonesia

     

Sebelum pandemi, pariwisata termasuk motor penggerak perekonomian Indonesia yang menjanjikan. Pertumbuhannya capai 7,26% dengan kontribusi langsung 4,8% terhadap PDB (8% termasuk yang tidak langsung). Lalu, memberikan kesempatan kerja langsung kepada 6 juta orang (13 juta termasuk yang tidak langsung).

Revindo menjelaskan, “Pandemi memukul pariwisata Indonesia sangat dalam. Kunjungan wisman dan wisnus turun, kerugian lebih dari Rp374 triliun pada 2020. Muncul keraguan dari banyak pelaku usaha tentang masa depan bisnis pariwisata. Beberapa aset keahlian di Bali dan Lombok yang sudah terakumulasi untuk pariwisata tidak teroptimalkan.”

Tentu ada jalan pemulihannya, para pelaku usaha harus mulai transformasi bisnis pariwisata dan melihat wisatawan benua lain yang berpotensi tinggi. LPEM FEB UI menemukan fakta kalau pengeluaran wisatawan lebih banyak mengalir ke pengusaha di perkotaan.

“Jika dilihat dari komposisinya, rata-rata pengeluaran wisatawan mancanegara di Indonesia rendah. Kita punya data, turis Amerika Serikat (AS) saat belanja ke luar negeri dalam sekali perjalanan menghabiskan sekitar 6.080 dolar, sedangkan turis Kanada 1.780 dolar,” ungkap Revindo.

Ia berpendapat bahwa kita perlu lebih selektif menentukan target wisatawan dari kualitas, bukan kuantitas. Saatnya Indonesia berusaha menarik wisatawan AS yang pengeluarannya relatif besar. Strateginya, kita bisa menyediakan beragam pilihan wisata. Dengan pengeluaran turis AS yang tersebar, dampaknya adalah total pengeluaran meningkat dan penyebaran lebih merata dinikmati para pelaku usaha.