Webinar PEBS FEB UI, “Refleksi 30 Tahun Perbankan Syariah di Indonesia: Past, Present, and Future”

0

Webinar PEBS FEB UI, “Refleksi 30 Tahun Perbankan Syariah di Indonesia: Past, Present, and Future”

 

Adela Natasya dan Danang Rizki Fadhlulrahmansyah ~ PEBS FEB UI

DEPOK – (24/11/2021) Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) menyelenggarakan Webinar, bertajuk “Refleksi 30 Tahun Perbankan Syariah di Indonesia: Past, Present, and Future” dan peluncuran buku “Sejarah Peradaban dan Pemikiran Ekonomi Islam 1” karya Rahmatina A. Kasri, Ph.D., dan Banu Muhammad, S.E., M.S.E., pada Rabu (24/11).

Webinar ini dimulai dengan sambutan dari Rahmatina A. Kasri, Ph.D., Kepala PEBS FEB UI, Teguh Dartanto, Ph.D., Dekan FEB UI. Dilanjutkan dengan keynote speech oleh Prof. Bambang P.S Brodjonegoro, Ph.D., Guru Besar FEB UI.

Di dalam keynote speech, Prof. Bambang P.S Brodjonegoro, Ph.D.,  mengatakan bahwa buku ‘Sejarah Peradaban dan Pemikiran Ekonomi Islam 1’ mengajak pembaca untuk mengetahui sejarah, peradaban, dan pemikiran ekonomi Islam serta mengaitkan dengan situasi saat ini. Pemikiran ekonomi Islam juga mengalami pengembangan lebih aplikatif dan sesuai perkembangan zaman. Pada tataran praktis, perkembangan lembaga ekonomi syariah mengalami perkembangan cukup pesat. Misalnya, sektor perbankan, persentase terhadap total aset perbankan sudah naik melebihi 5% walaupun jumlah bank unit syariah belum terlalu besar. Bank Wakaf Mikro juga menjadi cermin perkembangan keuangan syariah yang memberikan akses pembiayaan bagi masyarakat yang belum terhubung dengan lembaga keuangan formal khususnya di lingkungan pesantren.

Prof. Bambang menyarankan sudah selayaknya keuangan syariah lebih banyak masuk ke dalam sektor mikro, karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Di satu sisi, ekonomi syariah membawa kegembiraan sebagai alternatif sistem perekonomian, namun terdapat juga tantangan. Diharapkan perkembangan ekonomi Islam tidak hanya bertumpu kepada sektor keuangan namun juga sektor riil dan portofolio pembiayaan, seperti mudharabah dan musyarakah.

“Keuangan syariah tidak hanya profit oriented tetapi harus menyentuh sisi supply dan demand, sehingga industri halal dapat berkembang melalui pembiayaan perbankan syariah. Saya berharap pembahasan ke depan mengenai perbankan syariah tidak hanya bertumpu pada sektor keuangan tetapi sektor riil, terutama keuangan mikro sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat Indonesia. Secara kelembagaan institusi publik keuangan syariah perlu dikelola untuk menumbuhkan sinergitas dan harmonisasi. Tak bisa dipungkiri, perbankan syariah juga harus bertransformasi digital sebagai tantangan sekarang ini agar bisa berdaya saing,” jelas Prof. Bambang.

Pembicara pada webinar ialah Banjaran Indrastomo, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Firdilla Sari, Direktur Digital Banking Bank Aladin Syariah, dan Iggi H. Achsien, Komisaris Independen Bank Muamalat Indonesia, dengan dimederatori Banu Muhammad, S.E., M.S.E.

Banjaran Indrastomo, pembicara pertama memaparkan BSI memiliki kapasitas sebagai katalisator ekonomi syariah dengan mendorong ekonomi berbasis keumatan melalui integrasi fungsi sosial dan komersial. Selain itu, BSI mendorong ekonomi untuk tumbuh, harmonis dan sustainability. BSI hadir menjadi solusi bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk dalam pengembangan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Digitalisasi menjadi salah satu kunci layanan perbankan dan BSI menjadi salah satu layanan unggulan yang bersifat one stop service untuk memberikan keamanan bertransaksi.

“Saat ini, BSI menjadi sahabat masyarakat muslim tidak hanya berkaitan dengan transaksi, tetapi juga pembayaran zakat, infak, sedekah dan life time muslim, serta melayani tabungan emas secara digital. Untuk memperkuat sinergi, BSI berupaya berkontribusi dalam berakselerasi melalui seluruh stakeholder yang ada didalam ekosistem ekonomi dan keuangan syariah sehingga memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat Indonesia,” ujar Banjaran.

Firdilla Sari, pembicara kedua menjelaskan bahwa selama empat tahun terakhir neobank mengalami perkembangan sangat pesat, bahkan saat ini hampir seluruh negara sudah memiliki neobank. Perkembangan ini didorong oleh adanya keterbukaan dan adopsi teknologi baru di masyarakat, bertumbuhnya fintech dan industri berbasis teknologi lainnya, serta meningkatnya pemahaman kolaborasi. Perkembangan ini juga terjadi pada instrumen keuangan syariah yang terlihat dari adanya beberapa perusahaan fintech yang memasuki pasar di Amerika Serikat dan Inggris yang mampu bersaing dengan kompetitornya.

Lanjut Firdilla, perkembangan neobank dalam keuangan Islam diperlukan pemahaman yang diinginkan oleh konsumen. Konsumen dalam keuangan Islam menginginkan pengelolaan keuangan yang mudah, murah, terfragmentasi, dan memenuhi kebutuhan agama. Kenyataannya, institusi keuangan masih belum bisa memenuhi hal tersebut karena adanya gap atas pemahaman produk keuangan di antara institusi dan konsumen, serta maraknya praktik product led offering. Selain itu, dengan hadirnya bank digital di Indonesia ternyata masih dibutuhkannya kehadiran bank secara fisik untuk menggapai kepercayaan konsumen. Saat ini, Bank Aladin Syariah (BAS) menggunakan strategi offline-online experience untuk membangun kepercayaan konsumen seperti menghadirkan bukti fisik BAS di minimarket. Maka dari itu, institusi keuangan digital harus mengubah strategi untuk lebih berorientasi pada konsumen demi membangun kepercayaan.

Iggi H. Achsien, pembicara ketiga menyampaikan Bank Muamalat sudah mengalami pasang surut dan perkembangan luar biasa selama 30 tahun terakhir dan masih ingin berkembang serta menatap masa depan demi memberikan pelayanan bank syariah yang terbaik. Hal terpenting sekarang ini dalam institusi keuangan khususnya perbankan ialah memahami dan memberikan produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Perbankan dapat memilih untuk membentuk pasar baru atau mengikuti permintaan pasar yang ada.