Bincang Sore #8 Dies Natalis FEB UI: LovePink, Pink Talk: Deteksi Dini Kanker Payudara

0

Bincang Sore #8 Dies Natalis FEB UI: LovePink, Pink Talk: Deteksi Dini Kanker Payudara

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (17/11/2021) Dalam rangkaian acara Dies Natalis Ke-71, FEB UI menggelar Bincang Sore Seri ke-8 bersama LovePink, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu seputar kanker payudara, dengan tema “Pink Talk: Deteksi Dini Kanker Payudara” pada Rabu (17/11). 

Menghadirkan dr. Patsy S. Djatikusumo, Sp.GK (Penasehat Medis LovePink dan Penyintas Kanker Payudara) dan Laksmi Notokusumo (Aktris, Anggota LovePink, dan Penyintas Kanker Payudara) sebagai pembicara. Hadir pula Dr. Dwini Handayani (Ketua Program Studi MEKK FEB UI) sebagai pemberi testimoni dan Sri Rahayu Hijrah Hati, Ph.D. (Pengajar FEB UI dan Peneliti PEBS) sebagai pemandu acara.

Sekretaris Pimpinan FEB UI, Herda J. T. Pradsmadji, M.Pd. dalam sambutannya mengatakan, “Kita semua tentu menginginkan ibu dan perempuan yang sehat karena para perempuan adalah pendidik generasi masa depan bangsa, penggerak ekonomi, dan pemberdaya kesejahteraan masyarakat.”

Menurut Kementerian Kesehatan (2019), angka kejadian kanker di Indonesia berada pada urutan ke-8 di Asia Tenggara dan ke-23 di Asia. Angka kejadian kanker pada perempuan yang tertinggi adalah kanker payudara, sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk.

Menurut Herda, angka tersebut tentu tidak kecil. Bahkan, angka ini menunjukkan pentingnya menyadari bahwa kanker merupakan penyakit yang tak bisa kita kesampingkan. Kejadian ini menimbulkan penderitaan, baik secara fisik maupun emosional, dan kehilangan yang mendalam. Secara ekonomi, keluarga para penyintas pun harus berjuang menanggung pembiayaan sangat besar dan mengorbankan banyak hal demi kesehatan anggota keluarganya.

“Oleh karena itu, kami mengadakan acara ini dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada seluruh perempuan di manapun berada, khususnya sivitas akademika FEB UI, tentang bahaya kanker payudara dan pentingnya deteksi dini, sehingga kita dapat menangani penyakit tersebut secara cepat dan tepat. Saya berharap melalui kegiatan ini, kita sebagai perempuan dapat menjalani hidup sehat dan terhindar dari segala jenis kanker,” Herda menutup.

Mengawali sesinya, dr. Patsy memaparkan data milik Kementerian Kesehatan bahwa 1 dari 8 perempuan berisiko terdiagnosis kanker payudara. Ternyata, kanker payudara merupakan penyakit mematikan nomor 1 bagi perempuan di Indonesia. Terbukti, pasien perempuan terbanyak di rumah sakit adalah pasien kanker payudara. Tak hanya perempuan, 1 dari 883 laki-laki pun berisiko terdiagnosis kanker payudara dan 1 dari 100 pasien kanker payudara adalah laki-laki.

“Hingga kini, dokter belum menemukan faktor risiko pasti pemicu kanker payudara. Semakin hari, angka kasus penderita kanker payudara terus naik, bahkan kini menduduki peringkat pertama, menggantikan kanker serviks yang sudah tersedia vaksinnya,” ujarnya.

Namun, para dokter menemukan faktor risiko yang tak terkendalikan, yakni jenis kelamin, riwayat keluarga, usia awal menstruasi, dan usia menopause. Apabila usia awal menstruasi semakin dini (di bawah usia 12 tahun) dan usia menopause semakin lama (di atas 50 tahun), maka paparan estrogennya dan risiko kanker payudara turut meningkat.

Sementara faktor risiko yang terkendalikan, yaitu menghindari rokok dan alkohol, menjaga pola makan sehingga berat badan lebih ideal, memiliki istirahat cukup sekitar 6—8 jam per hari, membiasakan aktif bergerak dan berolahraga, serta mengendalikan stres. Dengan begitu, hormon yang beredar di dalam tubuh hanyalah hormon yang menyehatkan.

Lalu, Patsy membagikan gejala utama kanker payudara, di antaranya perubahan bentuk karena adanya benjolan (ke luar atau ke dalam), perubahan area kulit (kemerahan, mengelupas, mengerut, bertambah pembuluh darah), dan keluar cairan padahal tidak pada masa menyusui.

“Dari sekian kanker, ternyata kanker payudara paling mudah terdeteksi karena organ payudara berada di luar sehingga mudah untuk melihat dan merabanya. Faktanya, pasien pada stadium dini masih memiliki 98 persen harapan hidup, sedangkan pasien pada stadium lanjut memiliki 27 persen harapan hidup. Oleh karenanya, teramat penting mendeteksi sedini mungkin,” terangnya.

Patsy mulai mengajak para perempuan untuk deteksi dini kanker payudara. Pertama, SADARI (Periksa Payudara Sendiri), lakukan pemeriksaan sendiri secara rutin  setiap bulan, pada hari ke-7 sampai ke-10 terhitung dari hari pertama menstruasi. Sementara bagi perempuan menopause dan laki-laki, tentukan tanggal istimewa pada setiap bulan. Kunci keberhasilannya, rutinitas untuk memantau kondisi payudara dari waktu ke waktu atau mengenali perubahan pada payudara.

Gerakan 3 jari untuk SADARI dengan jari telunjuk, tengah, dan manis. Pemeriksaannya mulai dari area bawah leher, ketiak, payudara, dan tulang iga dengan gerakan arah turun naik, memutar, dan arah luar ke puting.

Kedua, SADANIS (Periksa Payudara Klinis), lakukan pemeriksaan ke dokter atau tenaga medis terlatih, berupa USG payudara atau mamografi. Pemeriksaan minimal sekali dalam setahun di klinik, puskesmas, atau rumah sakit terdekat. 

Selepas itu, Laksmi membagikan kisahnya sebagai penyintas kanker payudara. Saat berusia 30 tahun pada 1978, ia harus menjalani operasi pengambilan 8 benjolan tumor jinak pada payudara kiri dan kanan. Usai pengangkatan, dokter menyarankan ia untuk melakukan USG dan perabaan payudara secara berkala.

Akhirnya, ia memulai hidup sehat dengan menjaga makan dan melakukan olahraga. Namun, di usia 59 tahun pada 2007, dokter mendiagnosa Laksmi terkena kanker payudara. Usia senja dan menopause memicu kemungkinan kanker payudara karena paparan estrogen yang lebih lama. Tak hanya itu, ia sadar telah abai dengan pemeriksaan rutin.

Ia mengungkapkan, “Tanpa pikir lama, setelah terdiagnosis saya segera pergi ke onkologi untuk memahami kanker payudara secara detail. Melalui USG dan mamografi, ternyata pembesaran kankernya sudah pada stadium 2B. Dengan begitu, saya harus segera menjalani mastektomi, prosedur operasi untuk mengangkat jaringan payudara sebelah kiri. Setelah operasi, saya rutin menjalani radiasi, kemoterapi standar sebanyak 6 kali, dan kemoterapi target sebanyak 12 kali.”

Tak ingin kalah dengan kanker, ia berhasil melawan efek samping perawatan tersebut dan menjalani kembali kegiatannya sebagai pekerja seni. Hikmah lainnya, Laksmi semakin dekat dengan keluarga dan anak perempuannya. Ia memilih bergabung dengan Lovepink untuk mendalami informasi dan mengikuti berbagai kegiatan penyintas kanker payudara. “Para penyintas kanker paling membutuhkan dukungan dari keluarga dan teman,” ucapnya.

Laksmi pun mengenalkan berbagai kegiatan di LovePink, ada Pink Talk, membagikan pengetahuan pentingnya kesehatan payudara; Pink Van, mensosialisasikan deteksi dini kanker payudara; Pink Visit, mengunjungi dan menemani para penyintas kanker payudara; Pink Event, mengadakan seminar seputar kegiatan perempuan; Pink Concert, menggelar konser amal; Pink Movie, membuat film tentang anak muda penyintas kanker; dan Indonesia Goes Pink, selebrasi di luar rumah—berjalan ataupun berlari bersama—setiap Oktober untuk merayakan bulan payudara dan kanker seluruh dunia.

Dwini memberikan testimoni, “Saat terdiagnosis kanker payudara, saya sangat terpukul dan tertutup. Namun akhirnya, saya bergabung dengan LovePink. Di komunitas ini, saya menerima banyak dukungan, termasuk dari dr. Patsy, hingga saya mampu bangkit kembali.”

Ia seolah menemukan harapan baru setelah berkumpul dengan banyak teman seperjuangan di LovePink. Selain itu, ia mempelajari banyak ilmu baru, terutama seputar kesehatannya. “Luka di tubuh kita adalah bukti dari perjuangan,” imbuhnya. (hjtp)