Research Seminar Departemen Manajemen FEB UI: Empowering Stakeholders Through Participatory Action Research

0

Research Seminar Departemen Manajemen FEB UI: Empowering Stakeholders Through Participatory Action Research

 

DEPOK – (26/10/2021) Ph.D. (Cand) in Public Health RMIT University, Abigail Ati menjadi narasumber dalam Research Seminar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), bertajuk “Empowering Stakeholders Through Participatory Action Research: An Introduction” pada Selasa (26/10/2021).

Di dalam pemaparannya, Abigail Ati menjelaskan action research adalah penelitian berupa tindakan penyelidikan yang menggambarkan, menafsirkan hingga menjelaskan situasi sosial dengan melaksanakan perubahan intervensi ditujukan untuk perbaikan. Participatory action research bersifat edukatif dan memberdayakan, melibatkan pendekatan yang dinamis atau bisa mengidentifikasikan masalah, perencanaan, tindakan dan evaluasi saling terkait.

Sedangkan, Action research dan participatory action research (PAR) merupakan riset emansipatoris, artinya menciptakan perubahan dalam situasi saat itu yang bisa menjadi politis karena membidik kuasa asimetris dalam masyarakat. Keunikan PAR berupa kemauan orang awam untuk terlibat dan melakukan riset dan memilih serta menerapkan teori yang ingin dimanifestasikan.

Menurut Abigail Ati, membidik kuasa asimetris dalam sistem tidak mudah, karena PAR dilakukan dalam masyarakat: (1) Norma dan nilai dalam masyarakat mungkin tidak mendukung upaya mengubah relasi kuasa yang tak berimbang. Sistem demokrasi dianggap berasal dari tradisi dan budaya yang berbeda; (2) Dalam masyarakat beragam, politik dan sejarah lokal seringkali menyulitkan penyeimbang kuasa diantara kelompok-kelompok masyarakat.

Di sisi lain, peneliti yang mempraktikkan PAR di Australia tetap mempertahankan pendekatan kolaboratif, sesuai persyaratan Habermas untuk membuka communicative  space. Di negara-negara budaya hierarkis, kolaborasi demikian potensial membungkam opini-opini yang berbeda. Dialog membutuhkan posisi setara yang tidak punya kuasa dan tidak mampu mempertahankan argument mereka secara terbuka.

Sementara itu, akademisi tidak memperhatikan interaksi dinamis antara periset dan organisasi, termasuk co-researchers yang seharusnya memperkuat relevansi praktis dari riset dan menempatkan pondasi bagi kualitas akademik. “Umumnya mereka fokus untuk menggali riset sendiri, melakukan self-reflection pada data yang diperoleh, menganalisis data dan paradigma-paradigma yang berbeda, menghubungkan insights yang ditemukan konteks akademik. Banyak laporan yang hanya menunjukkan PAR yang berhasil tanpa menceritakan prosesnya. Hal ini dikarenakan dominasi akademis dan kurangnya perhatian terhadap pentingnya hubungan dalam mengawali dan menjalankan PAR,” demikian Abigail Ati menutup sesinya.