Webinar Kolaborasi FEB UI dan Oxford: A Conversation on the Global Economy in the Midst of COVID-19

0

Webinar Kolaborasi FEB UI dan Oxford: A Conversation on the Global Economy in the Midst of COVID-19

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (19/10/2021) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan University of Oxford mengadakan Webinar Kolaborasi bertajuk “A Conversation on the Global Economy in the Midst of COVID-19” secara daring, pada Selasa (19/10).

Acara menghadirkan Prof. Dr. Ir. Dedi Priadi, DEA (Pj. Dekan FEB UI) pada opening remarks. Hadir pula para panelis Prof. Andrea Ferrero (Profesor Ekonomi – University of Oxford), Dr. Chatib Basri (Dosen Senior FEB UI dan Mantan Menteri Keuangan RI), dan Teguh Dartanto, Ph.D. (Kepala Grup Penelitian Kemiskinan, Perlindungan Sosial, dan Ekonomi Pembangunan FEB UI). Acaa dipandu oleh Putu Geniki, Ph.D., dari Oxford University.

Dedi menuturkan, “Suatu kehormatan bagi saya menyambut hadirin dan membuka diskusi hari ini. Webinar ini bertujuan mempertemukan praktisi dan ilmuwan dari Indonesia dan Oxford untuk membahas dampak pandemi pada dunia, khususnya Indonesia.”

“Kita telah mengetahui bahwa pandemi COVID-19 melemahkan semua aspek masyarakat dan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Saya berharap melalui diskusi ini, kita dapat menemukan solusi inovatif untuk mengatasi tantangan pandemi dan menciptakan optimisme masa depan,” ujarnya.

   

Andrea menjelaskan, “Pandemi berdampak luas pada resesi global 2020. IMF World Economic Outlook Update, July 2021, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global menurun sebesar -3,2 persen pada 2020. Namun, menurut proyeksi, pertumbuhan ekonomi global akan mulai naik sebesar 6,0 persen pada 2021 dan 4,9 persen pada 2022.”

Ekonomi maju pun sangat terpukul, sekitar -5 persen. Bahkan, data FRED and Author’s Calculations menunjukkan, saat pandemi merebak, perekonomian belum pulih dari dampak krisis 2008. Dengan berbagai intervensi tersebut, Andrea fokus membahas tentang kebijakan moneter selama krisis COVID-19 dan seterusnya.

Ia meninjau dan membandingkan tindakan yang diambil oleh bank sentral utama dalam hal kebijakan moneter, seperti Bank of England, European Central Bank, dan Federal Reserve System. Berbeda dengan krisis ekonomi lainnya, pada krisis pandemi COVID-19 saat ini terdapat guncangan pada sisi penawaran dan permintaan secara bersamaan.

Pada dasarnya, bank sentral mampu menanggapi guncangan permintaan dengan kebijakan moneter yang lebih longgar, seperti memangkas suku bunga untuk memulihkan potensi produksi dan membawa inflasi kembali ke target. Ia mengucapkan, “Bank sentral harus lebih aktif daripada sebelum krisis 2008.”

   

Lebih lanjut, Chatib mengungkapkan, “Selama pandemi masih ada aktivitas tetap terbatas karena pemberlakuan protokol kesehatan. Jadi, beberapa industri sangat sulit untuk mencapai titik keseimbangan atau break even point, di antaranya bisnis hotel sebesar 46%, restoran 68%, retail FMCG 32%, non FMCG 42%, dan industri semen 54%.”

Baginya, solusi permasalahan tersebut adalah penanaman investasi swasta, percepatan vaksinasi, dan pemberian ekspansi fiskal. Ia mengatakan, “Kebijakan moneter memang berperan penting dalam pemulihan ekonomi. Namun, pemerintah perlu melakukan ekspansi fiskal sebagai jump start, yaitu perluasan program bantuan langsung tunai (BLT) pada kalangan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.

Melihat kondisi sektor riil terkini, Chatib menilai insentif pajak tidak efektif. Sebaiknya, pemerintah mengubah peruntukan dana insentif pajak menjadi perluasan BLT, penjaminan kredit, dan pemberian subsidi suku bunga.

Apabila daya beli masyarakat mulai meningkat, maka akan ada permintaan dan produksi. Dengan begitu, ekspansi fiskal mampu mendorong investasi dan mengatasi dampak pandemi COVID-19.

   

Selama masa COVID-19, aktivitas keseharian manusia berubah total akibat pembatasan sosial. Sejak pemerintah menetapkan kebijakan bekerja dan bersekolah dari rumah, masalah krusial kesenjangan digital mulai terangkat ke permukaan.

Teguh memaparkan kondisi kesenjangan tersebut. Masyarakat berpendapatan tinggi dengan keterampilan tinggi dan kemudahan akses internet dapat bekerja secara produktif dari rumah. Sementara masyarakat rentan dengan keterampilan rendah, dan kesulitan akses internet kemungkinan besar tidak dapat bekerja dari rumah.

Penurunan aktivitas manusia tentu berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi. Teguh mengatakan, “Kesenjangan digital, dalam hal ini mencakup akses ke jaringan, perangkat, internet, dan pengetahuan penggunaannya, berimplikasi pada peningkatan kemiskinan dan ketidaksetaraan yang signifikan,”

Menanggapi masalah tersebut, pemerintah menambah anggaran perlindungan sosial untuk Program Keluarga Harapan, Pra Kerja, kartu sembako, diskon tagihan listrik, bantuan langsung tunai dana desa, bantuan sembako Jabodetabek, dan bantuan tunai di luar Jabodetabek.

“Kita perlu fokus mengembangkan sistem perlindungan sosial secara adaptif dan komprehensif, artinya cepat menanggapi perubahan,” tandasnya. (hjtp)