Seri Kuliah Umum Forum Pembangunan Indonesia MPKP FEB UI: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan

0

Seri Kuliah Umum Forum Pembangunan Indonesia MPKP FEB UI: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (21/9/2021) Prof. Bambang P. S. Brodjonegoro, Ph.D. (Guru Besar FEB UI) menjadi pembicara dalam Seri Kuliah Umum Forum Pembangunan Indonesia, Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan (MPKP) FEB UI bertema “Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan” pada Selasa (21/9).

     

Bank Dunia (2001) mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan tidak tercapainya standar kehidupan yang layak. Seseorang dapat dianggap miskin apabila terindikasi ketidakcukupan sandang, pangan, dan papan; ketidakmampuan mengakses perawatan kesehatan; dan kesulitan mengakses pendidikan.

Bambang menerangkan, “Pada dasarnya, kemiskinan terbagi menjadi absolut dan relatif. Kemiskinan absolut berarti perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dan tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Seseorang masuk pada kategori miskin jika pendapatannya tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan, untuk hidup layak dan kerja secara optimal.”

“Sementara kemiskinan relatif bergantung pada kesepakatan masyarakat mengenai kelompok masyarakat termiskin. Misalnya, 20 persen kelompok masyarakat terbawah berdasarkan urutan pendapatan atau pengeluaran,” tuturnya.

Lalu, ia mengenalkan konsep kemiskinan multidimensi. Oxford Poverty and Human Development Initiative (ODHI) dan United Nations Development Programme (UNDP) mengembangkan konsep kemiskinan multidimensi (multidimensional poverty) untuk mengetahui langkah berbagai negara di dunia dalam memenuhi Millenium Development Goals (MDGs). Selain itu, konsep ini merupakan koreksi atas kritik terhadap pengukuran kemiskinan yang menggunakan pendekatan moneter yang dianggap kurang menyeluruh.

Indikatornya terdiri atas standar hidup, berupa bahan bakar memasak, sanitasi, sumber air minum, listrik, perumahan, dan kepemilikan aset; pendidikan, berupa bersekolah dan lama bersekolah; serta kesehatan, berupa nutrisi dan kematian anak.

Ia pun memaparkan beberapa faktor penyebab kemiskinan, di antaranya laju pertumbuhan penduduk, pengangguran, peristiwa alam, pendidikan rendah, gizi buruk, serta ketimpangan distribusi pendapatan dan pembangunan.

Menurut penelitian Bank Dunia (2016), sebanyak 159 juta anak mengalami gizi buruk di seluruh dunia dan 9 juta dari mereka tinggal di Indonesia. Global Nutrition Report (2014) mengatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi.

Lebih lanjut, BPS merilis laporan bahwa pada Maret 2021 sebesar 10,14% atau 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Tingkat kemiskinan sedikit turun dari September 2020. Namun, masih lebih tinggi daripada kondisi sebelum pandemi pada September 2019.

Sejak September 2019 (kemiskinan terendah Indonesia), jumlah masyarakat miskin meningkat sebesar 1,12 juta individu. Peningkatan terbesar di perkotaan sebanyak 1 juta orang dan perdesaan 120 ribu orang.

Selama pandemi, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat rata-rata seluruh rumah tangga mengalami penurunan pengeluaran sebesar -2.3%. Namun, tidak semua rumah tangga mengalami perubahan yang sama.

“Berdasarkan kelas kesejahteraan, rumah tangga pada rentang persentil 5 ke bawah mengalami penurunan pengeluaran rata-rata yang cukup besar, yakni -1% sampai -1.6%. Rentang persentil 40 ke bawah turun -0.4% dan rentang persentil 41–95 sebesar -4%. Berbanding terbalik, rumah tangga pada persentil 95 ke atas justru mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar 2 persen hingga 5 persen,” ungkap Bambang.

Selama krisis, rumah tangga umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan menjual atau menggadaikan barang, mengurangi pengeluaran non makanan, meminjam uang kepada kerabat, mengurangi pengeluaran makanan, dan mekanisme lainnya. Bahkan, hanya 15% rumah tangga yang melaporkan bahwa kebutuhan hidup mereka telah terpenuhi.

Oleh karenanya, pemerintah pun membagikan bantuan sosial regular dan non regular. Bantuan sosial regular, di antaranya kartu pra kerja bagi 5.6 juta jiwa, perluasan program sembako dari 15,2 juta KPM menjadi 20 juta KPM, dan program keluarga harapan bagi 10 juta KK.

Bantuan sosial non reguler meliputi bantuan presiden sembako Jabodetabek bagi 1,3 juta KK (DKI Jakarta) dan 600 ribu KK (Bogor, Depok, dan Bekasi); bantuan sosial tunai bagi 9 juta KK; bantuan langsung tunai desa bagi 12,3 juta KK; serta subsidi energi listrik bagi 24 juta RT pelanggan 450 VA dan 7,2 juta RT pelanggan 900 VA.

“Program pemerintah tersebut terbilang cukup berhasil. Survei Rumah Tangga (2020) menunjukkan, 85% rumah tangga menerima setidaknya satu program bantuan dari pemerintah,” ujarnya.

Bambang memaparkan tren gini ratio perkotaan dan pedesaan di Indonesia selama 2013 – 2021. Selama pandemi, ketimpangan di perkotaan semakin meningkat. Namun, di pedesaan mengalami penurunan dari September 2020 ke Maret 2021.

Secara total, ketimpangan di perkotaan dan pedesaan mengalami penurunan saat memasuki Maret 2021. Kemungkinan, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk masyarakat desa menjadi faktor pendorongnya.

Dalam usaha pemerataan pendapatan, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan fiskal. Pertama, mendelegasikan kewenangan fiskal kepada pemerintahan daerah (desentralisasi fiskal), misalnya dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil. Kebijakan ini berpengaruh terhadap penurunan ketimpangan, terlebih di daerah pesisir dan pedalaman pada setiap provinsi.

Kedua, meningkatkan penerimaan dengan perluasan basis pajak penghasilan dan mengurangi fasilitas pajak penghasilan karena dampak pengenaan pajak lebih cepat terealisasi dalam menekan angka ketimpangan pendapatan.

Terakhir, mengalokasikan pengeluaran melalui pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan atau kemiskinan. Tentunya, kebijakan bantuan tersebut harus ditinjau ulang sehingga penyalurannya tepat sasaran, baik untuk individu maupun organisasi.