Webinar PPA FEB UI dan Pusat Pembinaan Profesi Keuangan: Sustainability Reporting and Sustainable Finance

0

Webinar PPA FEB UI dan Pusat Pembinaan Profesi Keuangan: Sustainability Reporting and Sustainable Finance

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (10/9/2021) Dalam rangka Survei Indeks Kualitas Profesi Keuangan 2021, Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) FEB UI bersama Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) mengadakan webinar bertema Sustainability Reporting and Sustainable Finance” pada Jum’at (10/9). Menghadirkan narasumber terbaik, Dr. Ali Darwin, Ak., M.Sc. (Chairman and Executive Director of the National Center for Sustainability Reporting) dan Luluk Widyawati, Ph.D. (Dosen FEB UI – Sustainability Reporting Expert).

     

Ali menjelaskan, “Setiap negara tentu memiliki iklim dan musim yang berbeda. Namun, perubahan iklim secara drastis telah terjadi pada 3 dekade terakhir. Hingga saat ini, intensitas terjadinya perubahan iklim dan peristiwa alam semakin sering, misalnya badai, banjir, suhu panas, dan sebagainya.”

“Sebagian kelompok tidak menganggapnya sekadar peristiwa alam, tetapi peristiwa akibat perbuatan tangan manusia yang merusak lingkungan, termasuk kegiatan korporasi. Sejatinya, kerusakan lingkungan memang sudah terjadi sejak era revolusi industri pada 1850, saat mulai masifnya penggunaan batu bara, bensin, bahan bakar minyak, dan bahan perusak ozon lainnya. Kegiatan tersebut tentu berbahaya bagi bumi, karenanya perusahaan perlu menyusun laporan keberlanjutan,” ujarnya.

Jika manusia tidak melakukan tindakan apapun, para ilmuwan memprediksi dampak pemanasan global akan semakin memburuk. Tak ada jalan keluar selain mengenali, mengelola, dan mengubahnya.

Burtland, Ketua World Commission on Environmental and Development, dalam laporan komisi Our Common Future (1987) mengenalkan konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup generasi sekarang, tanpa mengganggu pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Lebih lanjut, Presiden RI pun menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, Tentang Pelaksanaan Pencapaian sustainable development goals (SDGs), atau tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB).

Pada dasarnya, sustainability (keberlanjutan) berarti keberlanjutan bumi beserta segenap isinya, terdiri atas 3 dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Sementara sustainable (berkelanjutan) berarti ramah lingkungan dan peduli sosial.

Strategic sustainability management (SSG) atau manajemen keberlanjutan strategis adalah pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan bisnisnya, berdasarkan prinsip keberlanjutan. Sementara sustainability reporting atau pelaporan keberlanjutan, merupakan praktik organisasi untuk melaporkan kepada publik tentang dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hal ini mencakup kontribusinya terhadap pembangunan berkelanjutan.

“Pembuatan laporan keberlanjutan bertujuan memberikan gambaran tantangan bagi masyarakat dan lingkungan; mengetahui pentingnya sistem manajemen keberlanjutan; memahami peran pelaporan keberlanjutan dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan; serta membangun kompetensi dan kapabilitas di bidang keberlanjutan,” tuturnya.

     

Selanjutnya, Luluk membahas peraturan, standar, dan peringkat laporan keberlanjutan. Di Indonesia, beberapa peraturan yang memuat kewajiban menyusun laporan keberlanjutan, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 59/2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2012.

Pemerintah tentu memiliki sasaran nasional untuk memenuhi TPB sehingga perusahaan dan pelaku usaha perlu acuan untuk menjalankan operasional terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan berbagai inisiatif TPB. Selain itu, bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan.

Dalam hal keuangan berkelanjutan, OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025). Pada Roadmap Tahap I, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 51/POJK.03/2017 mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik untuk menyusun dan menyampaikan laporan keberlanjutan ke OJK setiap tahun. Apabila terpisah dari laporan tahunan, dapat menyerahkan paling lambat pada 30 April tahun berikutnya. Berlaku pula efektif bertahap.

Mendukung peraturan tersebut, menurut Surat Edaran OJK Nomor 16/SEOJK.04/2021 pada Roadmap Tahap II, laporan keberlanjutan paling sedikit memuat penjelasan strategi keberlanjutan, ikhtisar aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan), profil singkat, penjelasan direksi, tata kelola keberlanjutan, kinerja keberlanjutan, dan tanggapan perusahaan terhadap umpan balik laporan tahun sebelumnya. Jika ada, perusahaan dapat melampirkan verifikasi tertulis dari pihak independen dan lembar umpan balik untuk pembaca.

Luluk mengungkapkan, “Secara internasional, kebanyakan perusahaan membuat laporan keberlanjutan dengan mengacu pada standar kerangka kerja The Global Reporting Initiative (GRI) atau The Value Reporting Foundation. Pada topik tertentu yang lebih spesifik, dapat mengacu pada The Carbon Disclosure Project (CDP), The Climate Disclosure Standards Board (CDSB), atau The Task Force on Climate-related Financial Disclosure (TCFD).”

“Lalu, akan hadir beberapa kerangka kerja lainnya pada beberapa tahun mendatang, misalnya The Task Force Natural-related Financial Disclosure (TNFD), laporan yang memberikan gambaran lengkap tentang aspek lingkungan—terutama keanekaragaman hayati—terhadap perusahaan dan lembaga keuangan. Selain itu, ada pula IFRS: The Consultation Paper on Sustainability Reporting, Updates of The GRI Standards, dan Reporting on Sustainable Development Goals,” lanjutnya.

Bagi investor yang ingin menanamkan modal di sebuah perusahaan, sebaiknya menggunakan jasa sustainability rating agencies untuk mengubah data laporan perusahaan tentang kinerja keberlanjutan menjadi data siap pakai, berbentuk rating, ranking, atau scoring. Dengan demikian, investor akan lebih mudah memilih perusahaan tepat yang menerapkan keberlanjutan pada operasionalnya. (hjtp)