Pembiayaan Defisit Jadi Tantangan

0

Pembiayaan Defisit Jadi Tantangan

 

JAKARTA, KOMPAS — (8/9/2021) Pembiayaan defisit anggaran menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah di tengah upaya pemulihan ekonomi dari hantaman pandemi Covid-19. Karena itu, realokasi anggaran belanja negara perlu lebih difokuskan pada program-program prioritas yang punya efek pengganda bagi pemulihan.

Pemerintah menetapkan defisit pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 sebesar 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB). Target ini sejalan dengan rencana konsolidasi fiskal pemerintah menuju defisit maksimal 3 persen terhadap PDB pada 2023.

Dalam diskusi panel ekonomi harian Kompas, Selasa(7/9/2021), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, anggaran belanja dalam RAPBN 2022 bernilai penting dalam langkah reformasi fiskal untuk mencapai target defisit anggaran ke level optimal pada 2023.

”Untuk itu, RAPBN 2022 didesain tetap fleksibel dan berkelanjutan agar dapat responsif, antisipatif, dan adaptif untuk mendukung percepatan penanganan Covid-19 serta pemulihan sosial-ekonomi,” kata Febrio.

Ia menyebutkan fokus alokasi belanja negara pada 2022 akan mengarah pada program prioritas di bidang kesehatan, perlindungan sosial, pendidikan, infrastruktur, teknologi informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, serta pariwisata. Belanja negara pada RAPBN 2022 diproyeksikan mencapai Rp 2.708,7 triliun.

Bidang-bidang prioritas itu dipilih karena diyakini dapat mendorong kinerja sektor konsumsi, investasi, ekspor, serta produksi, yang sempat ertahan di awal periode pandemi Covid-19. ”Strategi akselerasi pemulihan sosial-ekonomi tetap akan memprioritaskan penguatan kesehatan sebagai kunci pemulihan ekonomi,” kata Febrio.

Momentum pemulihan di sektor-sektor prioritas tahun depan, lanjutnya, juga akan ditopang reformasi struktural yang dimotori implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, operasional Lembaga Pengelola Investasi, serta penerapan sistem Online Single Submission Berbasis Risiko.

Kualitas belanja

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, M Chatib Basri, pada diskusi ini mengatakan, kunci utama bagi Indonesia untuk mengejar pemulihan ekonomi tanpa mengganggu keberlanjutan stabilitas fiskal ialah dengan meningkatkan kualitas belanja negara.

“Realokasi anggaran hal yang mutlak dilakukan. Prioritas pembiayaan difokuskan pada sektor kesehatan, pelindungan sosial, UMKM, dan sektor-sektor yang memiliki efek pengganda untuk roda ekonomi,” ujar Chatib.

Chatib mengingatkan, ekonomi hanya bisa pulih jika pandemi bisa diatasi. Jika realokasi belanja negara diarahkan untuk program-program prioritas, ia meyakini defisit anggaran akan terjaga sekaligus berimplikasi menurunkan tambahan utang. Dari sisi pendapatan, penerimaan pajak perlu ditingkatkan tanpa membebani wajib pajak melalui perbaikan administrasi perpajakan.

Sementara itu, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko menilai, keinginan pemerintah menerapkan disiplin fiskal yang terlalu ketat perlu direlaksasi, mengingat krisis akibat pandemi ini belum diketahui kapan akan berakhir.

”Target bahwa kita harus kembali ke defisit APBN 3 persen pada 2023 sangat bergantung pada perkembangan situasi. Kalau situasi tidak memungkinkan untuk disiplin ketat, kebijakan fiskal bisa dibuat lebih relatif untuk menjawab kebutuhan kita menyiapkan human capital yang lebih kompetitif dan berdaya saing,” tutur Prasetyantoko.

Ia mengatakan, pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama pemerintah. Di tengah situasi krisis dan kemampuan fiskal yang terbatas, pemerintah harus memilih prioritas antara pembiayaan proyek pembangunan fisik atau pendanaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program perlindungan sosial dan kesehatan yang kuat.

”Pengembangan human capital sangat mendesak sehingga kita harus memilih. Krisis ini sudah sangat serius menghantam kelompok masyarakat, khususnya yang sangat miskin,” ucap Prasetyantoko.

Peneliti SMERU, Athia Yumna, mengatakan, program perlindungan sosial yang kuat dapat menahan naiknya angka kemiskinan. Penelitian SMERU menunjukkan, tanpa program bantuan sosial selama pandemi, tingkat kemiskinan berpotensi mencapai 13,38 persen. Angka itu jauh lebih tinggi daripada tingkat persentase penduduk miskin faktual per Maret 2021, yaitu 10,14 persen. (DIM/AGE).

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Rabu, 8 September 2021. Rubrik Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.