Muhamad Chatib Basri: Utang dan Kesinambungan Fiskal

0

Utang dan Kesinambungan Fiskal

Oleh: Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Kata prioritas (”priority”) punya riwayat yang panjang. Konon, ia berasal dari kata ”prior”, yang dalam bahasa Latin artinya: lebih dahulu. Lalu, ia dimaknai: didahulukan, diutamakan.

KOMPAS – (2/9/2021) Penulis George McKeown mencatat, kata priority hadir dalam bahasa Inggris tahun 1400-an, dalam bentuk tunggal. Namun, mulai 1900-an,orang menggunakannya dalam bentuk jamak: priorities. Ini logika yang agak ganjil: jika yang ”diutamakan” itu jamak, maka tak jelas lagi mana yang utama.

Prioritas adalah konsep amat penting dalam kebijakan ekonomi. Ia lahir sebagai akibat problema dasar ekonomi: kelangkaan (scarcity). Manusia punya keinginan tak terbatas, padahal kita hidup dengan sumber daya terbatas. Itu sebabnya kita harus memilih. Harus ada yang didulukan, harus ada prioritas.

Prioritas adalah hal penting ketika kita bicara soal anggaran pemerintah dan kesinambungan fiskal. Kita tahu betapa pentingnya disiplin fiskal untuk menjaga stabilitas makro ekonomi. Menjamin kesinambungan fiskal.

Namun, kita juga sadar: ia alat. Ia bukan tujuan. Ada yang lebih penting dari disiplin fiskal: kehidupan dan penghidupan (lives and livelihoods). Itu sebabnya, di masa pandemi, tema kebijakan fiskal di seluruh dunia adalah: do what ever it takes. Lakukan apa pun untuk menyelamatkan kehidupan dan penghidupan. Di masa pandemi, bahkan negara yang menganut disiplin fiskal keras sekalipun, seperti Singapura, menaikkan defisit anggarannya ke 13,9 persen.

Indonesia juga sama. Defisit anggaran dinaikkan menjadi 6,14 persen. Belanja pemerintah dinaikkan untuk stimulus ekonomi. Masalahnya: penerimaan negara terbatas. Implikasinya, utang naik.

Apa risikonya? Apa yang harus dilakukan untuk menjaga kesinambungan fiskal, sambil tetap menyelamatkan kehidupan dan penghidupan? Seberapa besar risiko fiskal kita?

Risiko dan sustainabilitas fiskal

Laporan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KM-PPKF, 2021) Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan: semua indikator utang mengalami kenaikan di periode 2015-2020 dibandingkan periode 2010-2015: rata-rata rasio utang/PDB meningkat dari 24,54 persen menjadi 30,76 persen; rata-rata rasio bunga utang terhadap penerimaan pemerintah (interest payment ratio) meningkat dari 8,5 persen menjadi 13,58 persen dan rata-rata debt service ratio/DSR (rasio bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan pemerintah) meningkat dari 21,54 persen ke 36,74 persen.

Penyebabnya: penurunan penerimaan pajak di satu sisi dan akselerasi belanja disisi lain. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga melambat dibandingkan periode 2010-2015, antara lain juga karena melemahnya harga komoditas dan energi.

Kenaikan indikator utang semakin tajam di 2020 karena meningkatnya defisit anggaran. Kontraksi ekonomi akibat pandemi mengakibatkan menurunnya penerimaan pajak hingga 16,88 persen. Penurunan penerimaan pajak juga disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas dan energi serta berbagai pemberian insentif pajak. Ini yang menjelaskan mengapa rasio bunga utang terhadap penerimaan pemerintah naik tajam dari 14 persen (2019) menjadi 19 persen (2020). Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif pada 2021, diharapkan penerimaan pajak kembali tumbuh. Sampai Juli 2021, penerimaan pajak tumbuh 7,6 persen.

Dengan kondisi seperti itu, terganggukah kesinambungan fiskal? Secara konseptual, rasio utang/PDB akan ditentukan oleh defisit anggaran primer ditambah selisih antara pertumbuhan pembayaran bunga utang dan pertumbuhan ekonomi (interest rate growth differential). Sederhananya: pada kondisi defisit primer dan utang tertentu, jika pertumbuhan bunga utang yang harus dibayar pemerintah lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi (PDB), rasio utang/PDB akan turun. IMF (2021) menunjukkan: interest rate growth differential Indonesia dalam periode 2009-2017 adalah minus 1,2.

Negatif, artinya pertumbuhan bunga utang lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi. Namun, selisih itu kian mengecil: minus 0,7 (2018) dan minus 0,2 (2019).Tahun 2020, IMF memperkirakan interest rate differential growth menjadi positif 2. Artinya: pertumbuhan bunga utang jauh lebih besar dari pertumbuhan ekonomi. Ini yang menjelaskan mengapa rasio utang/PDB meningkat ke 39,39 persen pada 2020.

Stress test yang dilakukan IMF (2021) memang menunjukkan bahwa dalam kondisi skenario paling buruk, ketika pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menurun dan tingkat bunga naik, rasio utang/PDB akan naik, tetapi stabil di kisaran 48,4 persen dari PDB pada 2025.

Sejalan dengan temuan ini, stress test yang dilakukan Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan: dalam kondisi naiknya risiko contingent liability default (utang tak langsung yang bisa menjadi beban pemerintah), debt service, tingkat bunga dan inflasi, serta pelemahan rupiah dan pertumbuhan ekonomi, kenaikan rasio utang/PDB relatif terbatas.

Baik ADB maupun IMF melihat: fiskal kita masih berkelanjutan (sustainable). Konsisten dengan itu, lembaga pemeringkat utang—institusi yang paling peduli dengan kesinambungan fiskal—tetap mempertahankan Indonesia pada peringkat investment grade.

Meski demikian, saya kira kita perlu berhati-hati. Ada soal jangka pendek yang perlu diperhatikan dengan baik: penurunan penerimaan pajak. Akibatnya: rasio bunga utang/penerimaan pemerintah dan DSR mengalami peningkatan tajam tahun 2020. Artinya, dalam jangka pendek, risiko fiskal meningkat.

Ruang fiskal pemerintah terbatas. Di sisi lain stimulus dibutuhkan. Bagaimana menyeimbangkan ini? Masalah ini tak unik milik Indonesia. Beberapa minggu lalu, ketika mengajar topik kebijakan fiskal di masa pandemi—dengan kasus Indonesia—untuk Harvard Kennedy School Executive Education Program, beberapa peserta, yang notabene pembuat kebijakan dari berbagai negara, menyuarakan kekhawatiran sama.

Beberapa langkah

Pertanyaannya: bagaimana negara berkembang menyeimbangkan kebutuhan untuk membiayai defisit fiskal guna mengatasi pandemi, tanpa mengganggu keberlanjutan fiskal? Jujur, tak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini. Pandemi mengajarkan kita, setidaknya saya, untuk rendah hati. Begitu banyak hal yang tidak diketahui dan harus dipelajari dengan lebih baik dan hati-hati. Perlu sebuah studi yang lebih kokoh dan mendalam. Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi situasi ini.

Pertama, meningkatkan produktivitas agar incremental capital output ratio (ICOR) bisa diturunkan. ICOR Indonesia tahun 2021 tercatat 8,16, meningkat dari 6,8 pada 2019. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan 5,6 di periode 2010-2014 (Verico, 2018). Artinya, untuk menghasilkan satu unit output di 2021, dibutuhkan investasi yang jauh lebih besar dibandingkan beberapa tahun lalu. Apa penyebabnya? Mungkin produktivitas atau efisiensi yang rendah. Kemungkinan lain: banyak investasi dalam infrastruktur, yang baru memberikan hasil dalam jangka panjang sehingga dalam jangka pendek ICOR menjadi tinggi.

Apa pun alasannya, Indonesia harus menurunkan ICOR dengan perbaikan efisiensi dan produktivitas. Caranya, melalui reformasi struktural. Di sini implementasi UU Cipta Kerja jadi penting. Mitali Das (2018) menulis sebuah risalah yang menarik tentang produktivitas di Indonesia. Ia menunjukkan, perbaikan kualitas SDM, peningkatan ekspor dan arus investasi asing melalui modal langsung (PMA) akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke 7 persen.

Untuk itu, produk ekspor harus didiversifikasi, baik jenis maupun negara tujuannya. Kita butuh inovasi. Jika pertumbuhan ekonomi dapat didorong, lebih tinggi dari pertumbuhan bunga utang, rasio utang/PDB akan mengalami penurunan.

Kedua, meningkatkan penerimaan pajak. Dalam artikel saya di Kompas (11/8/2021), saya menulis pentingnya melakukan reformasi administrasi perpajakan. Studi saya bersama Mayara Felix, Ben Olken, dan Rema Hanna (2019) menunjukkan sensitivitas pendapatan kena pajak terhadap perubahan tarif pajak (elasticity of taxable income/ETI) 0,59. Dengan ETI 0,59 memang ada ruang bagi pemerintah menaikkan penerimaan pajak melalui kenaikan tarif. Namun itu, bukan tanpa dampak.

Perhitungan kami menunjukkan, untuk setiap rupiah kenaikan penerimaan pajak, ada tambahan beban bagi wajib pajak (marginal excess burden) sebesar 0,51 rupiah. Ini adalah dead weight loss atau biaya yang harus ditanggung perekonomian sebagai akibat kebijakan ini.

Karena itu, kami mengusulkan reformasi dalam administrasi perpajakan. Misalnya, dengan memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya (KPP madya), seperti yang mulai diterapkan Direktorat Jenderal Pajak beberapa bulan lalu. Jika dipindahkan ke KPP madya, dengan jumlah staf yang lebih banyak, beban pajak tak hanya ”ditanggung” oleh beberapa perusahaan yang besar, seperti mungkin terjadi di kantor pajak reguler akibat terbatasnya sumber daya. Akibatnya, perusahaan tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak.

Ketiga, tax expenditure/PDB (insentif pajak) sudah relatif besar (1,62 persen dari PDB) pada 2019. Pertanyaannya, efektifkah insentif pajak ini? Mengapa begitu banyak insentif pajak diberikan, tetapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi relatif terbatas? Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi lagi berbagai insentif yang diberikan selama ini. Insentif pajak hanya diberikan secara selektif jika benar-benar efektif.

Cara lain adalah mulai mengurangi pengecualian dalam pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan langkah-langkah ini, rasio penerimaan pajak akan meningkat, bahkan mungkin tanpa perlu menaikkan tarifnya. Alasannya, basis pajak membesar. Instrumen lain yang bisa digunakan adalah jajaki pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, yang diimbangi dengan akses carbon credit agar pemulihan bisa lebih hijau. Tentunya ini harus dilakukan secara bertahap sehingga perusahaan mampu melakukan penyesuaian. Jika penerimaan pajak bisa dinaikkan, rasio bunga utang/pendapatan pemerintah akan menurun.

Keempat, ekonomi hanya bisa pulih jika masalah pandemi bisa diatasi. Sebelum pandemi bisa diatasi, dibutuhkan alokasi anggaran yang besar untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan kepada UMKM. Dalam tulisan yang lalu, saya mengusulkan untuk menambah jumlah penerima manfaat dan nilai BLT dan PKH. Alokasi anggaran kesehatan juga perlu ditambah untuk penyediaan vaksin dan testing, tracing, dan treatment (3T).

Pembiayaan fiskal

Bagaimana membiayainya? Lakukan realokasi anggaran secara tajam. Fokus untuk kesehatan, perlindungan sosial, seperti BLT, PKH, dan bansos lain, serta dukungan untuk UMKM. Anggaran lain dapat menunggu. Prioritas harus jelas kepada sektor kesehatan, perlindungan sosial, UMKM atau sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier) yang besar. Mudahnya: perbaiki kualitas belanja. Jika realokasi belanja dilakukan dan prioritas diberikan untuk hal di atas, defisit anggaran bisa dijaga. Implikasinya, tambahan utang akan menurun.

Saya tahu, ini bukan pilihan yang mudah. Begitu banyak yang ingin dilakukan, sementara kapasitas terbatas. Itu sebabnya disiplin prioritas menjadi kunci. Ekonom Thomas Sowell, pernah menulis dengan nada satire: pelajaran pertama dari ilmu ekonomi adalah kelangkaan. Dan, pelajaran pertama dari politik adalah mengabaikan pelajaran itu. Saya tak tahu seberapa benar Sowell, tetapi ada baiknya kita ingat apa yang ditulis Abraham Lincoln, ”discipline is choosing what you want now and what you want most”.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 2 September 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.