The 15th Sadli Lecture: Strategy for Transforming Indonesian Agriculture

0

The 15th Sadli Lecture: Strategy for Transforming Indonesian Agriculture

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (25/5/2021) Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), bersama ANU Indonesia Project menggelar seminar tahunan bertajuk “The 15th Sadli Lecture: Strategy for Transforming Indonesian Agriculture” pada Selasa (25/5). Menghadirkan Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Prof. Keijiro Otsuka (Kobe University dan Institute of Developing Economies, Tokyo), serta Dr. Muhammad Dian Revindo (LPEM FEB UI).

   

Menteri Sri Mulyani pada keynote remarks menyampaikan, “Pertanian termasuk sektor kunci dalam perekonomian nasional. Pemerintah telah menyediakan anggaran ketahanan pangan sebesar 99 triliun untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mendukung pemulihan ekonomi. Menurut proyeksi, pada tahun mendatang Indonesia mungkin menghadapi tantangan ketahanan pangan karena populasi terus bertambah dan berubah.”

Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengambil tindakan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas belanja publik pada ketahanan pangan. Tindakan jangka pendek, antara lain memberikan subsidi pupuk, memperbaiki sistem irigasi, memperkuat pemasaran agribisnis, dan sebagainya. Sementara tindakan jangka panjang memfokuskan indikator kinerja anggaran pada hasil sektor.

   

Prof. Keijiro sebagai lecture speaker menuturkan, “Peran utama pertanian di Asia adalah menghasilkan makanan pokok yang cukup untuk ketahanan pangan melalui intensifikasi sistem pertanian. Kinerja Indonesia luar biasa, bertransformasi dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras. Namun, masalah pertanian berubah seiring perkembangan ekonomi karena perubahan struktur permintaan produk pertanian dan peningkatan biaya tenaga kerja. Maka saat ini, pertanian diharapkan berkontribusi pada berbagai tujuan pembangunan.

Keijiro membandingkan perubahan hasil padi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Kemudian, ia berkata, “Bagi saya, beras di Indonesia sudah swasembada, tetapi harga domestiknya masih tinggi. Hal ini menunjukkan hilangnya keunggulan komparatif dalam produksi beras. Kemudian, saya ragu apakah produksi produk pertanian bernilai tinggi (HVPs) sudah memadai dan produksi sawit sudah intensif. Di sisi lain, saya yakin masih banyak ruang untuk mempromosikan industrialisasi pedesaan.”

Dalam sesinya, ia memaparkan kunci transformasi pertanian Indonesia. Pertama, karakteristik mendasar dari pertanian adalah pertanian kecil lebih produktif daripada pertanian besar. Pertanian kecil cenderung mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) secara intensif, berbeda dengan pertanian besar yang mengandalkan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) atau tenaga kerja upahan.

Namun nyatanya, di Indonesia, pertanian besar lebih produktif dibandingkan dengan pertanian kecil. Sementara ukuran lahan pertanian rata-rata di Indonesia telah menurun dari waktu ke waktu sehingga sulit mempertahankan keunggulan komparatif dalam pertanian padi. Oleh karena itu, perlu mendorong perluasan lahan dengan memfasilitasi transaksi sewa lahan, menggabungkan bidang kecil, dan mendukung mekanisasi.

Kedua, permintaan HVPs—seperti buah dan sayuran—telah meningkat untuk nutrisi dan kesehatan yang lebih baik. Namun, pasokan HVPs  gagal mengimbangi permintaan tersebut karena area tanam yang sempit dan impor yang tinggi. Dengan kata lain, mencerminkan pasokan domestik yang tidak mencukupi. Menanggapi hal itu, sumber daya pertanian harus dialihkan ke produksi produk-produk tersebut.

“Dalam mempromosikan HVPs dan menyejahterakan petani secara signifikan, kita harus mengoptimalkan sumber daya manusia, misalnya mengubah petani subsisten menjadi wirausaha dan melatih pengolah pertanian, dengan menawarkan pelatihan manajemen intensif dan memperkuat sistem penyuluhan. Selain itu, perlu mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian, yang tidak hanya merangsang produksi HVPs, tetapi juga menyediakan lapangan kerja di pedesaan. Bagian terpenting dari industri ini memilih banyak tenaga kerja yang bergerak di bidang pencucian, pengasapan, penilaian, hingga pengemasan buah dan sayuran,” sarannya.

Ketiga, mengingat daerah perkotaan semakin padat, daerah pedesaan harus memberikan kesempatan kerja lebih besar dengan mendorong industrialisasi pedesaan. Indonesia harus berinvestasi pada sumber daya manusia, di antaranya petani, penyuluh, dan pengolah agro.

Keempat, mendorong produksi kelapa sawit yang fokus pada peningkatan produktivitas (intensifikasi) bukan pembukaan lahan baru (ekstensifikasi). Memperluas areal budidaya dengan membuka hutan tidak lagi menjadi pilihan yang layak. Sebaiknya, memperkuat penyuluhan petani swadaya, melatih pengelola dan pemilik pabrik kelapa sawit, menetapkan hak atas tanah yang aman bagi petani kecil, dan menerapkan tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.

   

Lalu, Revindo membagikan rangkuman diskusi dari Prof. Keijiro, “Berdasarkan tinjauan pustaka, karya tulis ini bertujuan (1) mempertahankan keunggulan komparatif dalam pertanian padi, (2) meningkatkan produksi produk pertanian bernilai tinggi, (3) memasarkan industrialisasi pedesaan, serta (4) mengintensifkan produksi kelapa sawit tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.”

Menurut Revindo, karya tulis ini memiliki kekuatan tersendiri karena memberikan pandangan luas mengenai tantangan pertanian Indonesia saat ini, meninjau literatur yang relevan secara ringkas dan mendalam, menawarkan opsi kebijakan untuk mengubah pertanian Indonesia; serta membuka jalan untuk arah penelitian lebih lanjut dan baru. (hjtp)