Budi Frensidy: Anomali PBV Saham Perbankan

0

Anomali PBV Saham Perbankan

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy, Guru Besar FEB UI

 

Koran Kontan (26/4/2021) – Dua rasio paling penting dalam analisis fundamental yang sering digunakan memilih dan merekomendasikan saham adalah price to earnings ratio (PER) dan price to book value (PBV). Saya sudah menulis beberapa artikel tentang PER di kolom ini. Kali ini saya akan fokus pada rasio PBV.

Di kalangan investor, PBV lebih diandalkan untuk menilai menarik tidaknya saham-saham di sektor keuangan, seperti bank, perusahaan sekuritas, perusahaan pembiayaan, dan asuransi. Aset industri ini sebagian besar bukan dalam bentuk aset tetap, tetapi berupa aset finansial, seperti tagihan, investasi, dan kredit.

Saham dengan PBV tinggi mencerminkan besarnya optimisme investor akan prospek usaha dan profitabilitas emiten tersebut di masa depan. Sebaliknya, investor memandang saham-saham ber-PBV rendah dengan  pesimisme.

Berdasarkan analisis PBV, saham yang layak dibeli adalah saham dengan PBV rendah dibandingkan rata-rata industrinya dan rata-rata PBV emiten tersebut lima tahun terakhir. Namun, lain teori, lain praktik.

Jika kita membandingkan PBV empat bank terbesar di BEI per akhir tahun selama tujuh tahun terakhir (2014-2020) dan Jumat 23 April lalu, angkanya bervariasi, dengan rata-rata 2,44 kali. BBCA konsisten mempunyai PBV tertinggi dengan rata-rata 4,09 dan berkisar 3,36-4,68. BBRI di urutan kedua dengan rerata 2,51 kali (1,94 – 2,91 kali), diikuti BMRI dengan PBV 1,82 kali (1,47 – 2,37), dan BBNI yang dihargai 1,32 kali nilai buku (0,94 – 1,85) di posisi terakhir.

Sebelum datangnya era disrupsi teknologi digital, investor saham sulit memberi harga ke sebuah bank 2-3 kali nilai bukunya, apalagi 4 kali seperti BCA. Beberapa bank bahkan kerap hanya dihargai di bawah nilai buku (PBV < 1) hingga hari ini, termasuk tiga bank besar buku IV.

Kini, banyak saham kecil bank ramai-ramai bertransformasi menjadi bank digital agar dihargai tinggi para investor. Harga saham AGRO, BRIS, ARTO, BBHI, dan BANK pun melesat bak meteor hanya karena stempel bank digital.

Sempat ditawarkan di Rp97 pada April tahun lalu, AGRO naik hampir 1000% menjadi Rp1.035 di akhir tahun. Pada harga Rp1.005 akhir pekan lalu, PBV AGRO adalah 4,99 kali.

BRIS tidak kalah hebat karena harganya terbang 1.090% dari Rp189 di April 2020 menjadi Rp2.250 di 30 Desember 2020. Yang juga mencengangkan adalah lompatan 1.117,6% saham ARTO dari Rp850 setahun lalu menjadi Rp10.350 Jumat lalu.

Masih ada BBHI yang melesat 2.175,9% dari Rp58 setahun lalu jadi Rp1.320 minggu lalu. Pada harga luar biasa tinggi ini, PBV ARTO dan BBHI menjadi 17,5 kali dan 15,76 kali. Jawara dari semua saham bank ini dipegang BANK yang baru saja IPO 1 Februari 2021 di harga Rp103. Dalam tiga bulan saja, harganya telah menembus Rp3.610 atau naik 3.404,9% dengan PBV 79,2 (berdasarkan laporan keuangan 2019).

Tingginya valuasi membuat ARTO  masuk jadi 10 saham berkapitalisasi terbesar di BEI Maret lalu, menggeser BBNI yang tahun ini turun ke peringkat 13. Di jajaran saham bank, ARTO kini berada di peringkat keempat saham bank berkapitalisasi pasar terbesar, di bawah BBCA, BBRI, dan BMRI.

Di mata saya, saham-saham bank yang bertransformasi di atas dihargai sungguh kemahalan secara fundamental. Untuk Anda ketahui, PBV 10 kali berarti Anda hanya akan mendapatkan 1/10 atau 10% dari total investasi Anda jika perusahaan dilikuidasi dan semua aset dapat ditagihkan dan dijual sesuai nilai buku.

Benar-benar anomali jika saham bank besar dihargai dengan PBV kurang dari satu, sementara bank-bank kecil mempunyai PBV sampai belasan kali. Baik bank digital maupun konvensional, pendapatan utamanya sama, yaitu dari net interest margin. Fee-based income masih sebagai pelengkap.

Akibat optimisme dan pesimisme yang berlebihan dari para investor yang irasional, harga saham yang kemahalan dan kemurahan tidak jarang dapat bertahan lama. Saya pun ingat pernyataan Isaac Newton mengenai irasionalitas manusia, “I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men.”

Namun, saya masih percaya dalam jangka panjang, harga akan konvergen ke nilainya. Analisis fundamental memang bicara harapan ke depan. Sayangnya, kita juga sulit memastikan kapan pastinya di masa depan.

 

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 26 April 2021. Rubrik Portofolio – Wake Up Call. Halaman 4.