MEKK FEB UI bersama Visiting Professor Macquarie University Seri-2: Global Citizen and Migration

0

MEKK FEB UI bersama Visiting Professor Macquarie University

Seri-2: Global Citizen and Migration

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (11/4/2021) Dr. Salut Muhidin (Macquarie University, Sydney, Australia) menjadi pemateri dalam rangkaian acara Visiting Professor: Globalization and Demographic Change oleh Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan (MEKK) FEB UI. Seri kedua mengusung topik “Global Citizen and Migration” pada Minggu (11/4).

     

Salut mengajak partisipan memikirkan tentang aktivitas sehari-hari yang umum, misalnya berpakaian, berjalan ke kampus atau kantor, bermain media sosial, dan sebagainya, yang mungkin terhubung dengan dunia global.

“Kita dapat melihat dari kegiatan tersebut, di abad ke-21 ini masyarakat lebih terhubung dari era sebelumnya. Menandakan bahwa kewarganegaraan menciptakan ikatan antar masyarakat suatu negara yang telah memiliki kesamaan tertentu. Sesi hari ini, saya akan mengeksplorasi warga global yang sudah terhubung dalam banyak hal,” ujarnya.

Oxfam (2016) mengartikan warga global sebagai seseorang yang sadar akan dunia lebih luas dan merasa punya peran sebagai warga dunia. Mereka menghormati dan menghargai keragaman, memahami kinerja dunia, menolak ketidakadilan sosial, mengambil tindakan berani untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih adil dan berkelanjutan, mengikutsertakan diri dalam masyarakat di berbagai tingkatan, serta memegang tanggung jawab atas tindakan mereka.

Singkatnya, seseorang harus fleksibel, kreatif, dan proaktif untuk menjadi warga negara global yang efektif. Salut mengatakan, “Mereka harus mampu memecahkan masalah, membuat keputusan, memikirkan sesuatu dengan kritis, mengomunikasikan ide secara efektif, melakukan kerja tim dengan baik. Keterampilan tersebut selaras dengan kebutuhan untuk sukses di bidang lain, termasuk di tempat kerja.”

Warga global penting karena dunia punya sifat saling berhubungan dan bergantung. Dunia global telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kita terhubung dengan orang lain di setiap benua secara sosial dan budaya, ekonomi, lingkungan, dan politik. Sosial dan budaya melalui media dan telekomunikasi, perjalanan, dan migrasi. Ekonomi melalui perdagangan. Lingkungan melalui hidup di alam yang sama. Politik melalui hubungan internasional dan sistem regulasi.

“Dunia global menawarkan peluang besar yang berubah cepat kepada seluruh populasi. Namun, sepadan dengan tantangannya. Adanya warga global membantu untuk mempelajari keputusan orang-orang dari berbagai belahan dunia sehingga memengaruhi kehidupan kita. Begitu pula sebaliknya, keputusan kita mungkin dapat memengaruhi kehidupan orang lain,” jelasnya

Berdasarkan jajak pendapat oleh GlobeScan tentang kewarganegaraan global kepada lebih dari 20.000 orang di seluruh dunia antara Desember 2015 dan April 2016, hampir 1 dari 2 orang (49%) di 14 negara melihat diri mereka lebih sebagai warga global daripada warga negara mereka. Warga negara dari negara berkembang besar menjadi pendorong sentimen ini.

Berbicara tren mobilitas penduduk global, tidak semua orang bermigrasi, hanya sebagian dari populasi dan tidak semua migrasi memiliki kecenderungan yang sama, hal ini bergantung pada tahapan siklus hidupnya. Teori push-pull (dorong-tarik) berpendapat bahwa orang bermigrasi karena tempat semula mendorong mereka keluar atau suatu tempat menarik mereka datang.

Di sisi lain, mereka bermigrasi karena punya tujuan tertentu, baik dalam bidang ekonomi (mencari pekerjaan, mengambil pekerjaan baru, meraih kesempatan baru), pendidikan (kenaikan tingkat), keluarga (migrasi pernikahan, kumpul keluarga), perumahan (pindah tempat tinggal), kenyamanan (pindah ke lingkungan sosial atau fisik baru), dan pindah paksa (sukarela atau terpaksa).

Zelinsky (1971) mengemukakan bahwa migrasi global atau internasional merupakan bagian dari model transisi mobilitas. Migrasi internasional (antar negara) atau migrasi internal (dalam batas negara) mengacu pada pergerakan permanen seseorang dari satu tempat ke tempat lain, termasuk mobilitas hunian dalam jarak jauh sehingga beralihnya semua aktivitas.

Kemudian, Salut berbicara mengenai hubungan antara migrasi dan diaspora. Ratha dan Plaza (2011) mengartikan diaspora sebagai sekelompok orang yang telah bermigrasi jauh dan keturunannya menjaga hubungan baik dengan tanah air mereka. Sementara itu, menurut Jaringan Diaspora Indonesia, diaspora adalah setiap orang Indonesia di luar negeri, baik berdarah Indonesia maupun berjiwa Indonesia, baik pribumi maupun non-pribumi, apapun status hukum, pekerjaan, latar belakang suku, dan sukunya.

Namun, diaspora dapat menciptakan masalah kewarganegaraan ganda yang tengah menjadi perhatian internasional. Kewarganegaraan ganda melibatkan kepemilikan lebih dari satu kewarganegaraan secara bersamaan. Dengan kata lain, seseorang dapat memiliki setiap hak dan tanggung jawab yang melekat pada warga negara di semua negara yang menjadi kewarganegaraannya, terlepas dari tempat tinggal dan lama waktu di suatu negara.

Salut mengungkapkan, “Kewarganegaraan ganda sangat lekat dengan identitas negara yang berorientasi internasional. Negara tersebut kurang terikat dengan gagasan tradisional tentang bangsa dan cenderung mengakui kewarganegaraan ganda. Tersirat bahwa kewarganegaraan ganda merupakan model baru kewarganegaraan global berdasarkan keanggotaan dalam komunitas internasional yang melampaui batas-batas negara tradisional.”

“Persoalan di sini bukan hanya tentang aspek hukum, tetapi multidimensi (persepsi dan politik). Dual nationality memberikan hak dan kewajiban untuk tinggal dan bekerja secara permanen di suatu negara. Berbeda dengan dual citizenship yang tidak secara otomatis memberikan hak untuk hidup di suatu negara, tetapi hanya untuk memberikan suara pada pemilihan,” pungkasnya.