Rahmatina Awaliah Kasri: Indonesia Perlu Memperkuat Ekosistem Halal

0

Indonesia Perlu Memperkuat Ekosistem Halal

 

Indonesia perlu memperkuat ekosistem halal agar bisa menjadi pemain inti dalam industri halal dunia. Negara bukan mayoritas Muslim justru menjadi pemain utama dalam industri halal.

PADANG, KOMPAS (10/4/2021) – Indonesia perlu memperkuat ekosistem halal agar bisa menjadi pemain inti dalam industri halal dunia. Beberapa dekade terakhir Indonesia lebih banyak fokus terhadap sertifikasi halal dibandingkan aspek lainnya dalam industri halal. Negara bukan mayoritas Muslim justru menjadi pemain utama dalam industri halal.

Hal tersebut disampaikan Irwandi Jaswir, profesor bidang sains halal International Islamic University Malaysia, dalam webinar “Ekonomi Syariah untuk Pembangunan Sumbar 2021-2024”, Sabtu (10/4/2021). Selain Irwandi, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah serta sejumlah pakar dan akademisi lainnya juga menjadi pembicara dalam webinar ini.

“Mungkin dalam 20 tahun lebih, lebih banyak fokus pada sertifikasi. Padahal, industri halal itu bukan hanya itu, sehingga  mungkin harus bertransformasi dari sertifikasi semata-mata membentuk industri itu sendiri,” katanya.

Menurut Irwandi, sertifikasi halal hanya bagian kecil dalam ekosistem halal. Sertifikasi halal memang relatif penting dalam memberikan garansi produk dan jasa yang kita konsumsi itu halal. Namun, banyak negara yang tidak punya lembaga sertifikasi yang kuat justru menikmati industri halalnya. Australia dan Selandia Baru, misalnya, menguasai daging halal dunia.

Contoh lainnya adalah Korea Selatan, yang menguasai hampir 20 persen industri kosmetik dunia. “Mereka sekarang diminta pemerintahnya untuk masuk ke industri halal. Ada 2.300 pabrik kosmetik di Korea (Selatan). Kosmetik nomor satu Korea, Amore, sudah buka cabang di Malaysia, sudah peletakan batu pertama. Targetnya sudah tentu Indonesia, Malaysia, Brunei dan sebagainya,” ujarnya.

Irwandi menjelaskan, dari pengamatannya, kondisi ini disebabkan oleh Indonesia tidak punya ekosistem halal yang kuat. Di Malaysia—negara yang berada di peringkat teratas dalam Global Islamic Economy Index—ada lebih dari 25 kementerian yang mempunyai unit halal.

Di Kementerian Pendidikan, ada sekolah yang fokus pada halal dan perguruan tinggi yang menawarkan program studi halal pada tingkat S-1, S-2, dan S-3. Malaysia juga sangat mendukung riset terkait halal di bidang apapun. Akhirnya, penelitian yang berkaitan dengan halal pun lintas sektoral.

“Kita sedih ketika melihat Indonesia dengan potensi 230 juta Muslim, tetapi kita bukan pemain inti industri halal dunia,” kata Irwandi. Indonesia pun tidak banyak menikmati sektor halal dunia yang pasarnya mencapai 3,1 triliun dollar AS per tahun.

Ditambahkan Irwandi, Indonesia juga mesti melirik potensi bahan halal dalam negeri. Di Indonesia, termasuk Sumbar, ada banyak potensi bahan halal tetapi saat ini masih diimpor dalam jumlah sangat besar. Contohnya, gelatin, kakao, bahan perasa, dan bahan pewarna.

“Kita belum mengeksplor potensi yang ada di dalam negeri sehingga sampai saat ini masih mengimpor bahan-bahan tersebut. Gelatin, misalnya, kita masih impor ratusan miliar (rupiah) per tahunnya. Padahal, kita punya bahan baku yang luar biasa banyaknya, ada kulit sapi, kulit kambing, dan sebagainya,” kata Irwandi.

Relatif menggembirakan

Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rahmatina Awaliah Kasri, Ph.D., mengatakan, perkembangan industri halal di Indonesia relatif menggembirakan dan mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia.

Tahun 2019, kata Rahmatina, nilai ekspor bahan makanan halal Indonesia mencapai 15,4 persen dari total ekspor makanan halal global. Sementara itu, secara nasional, kontribusi ekonomi syariah terhadap pertumbuhan ekonomi domestik juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari halal value chain.

“Data Bank Indonesia, pada 2016 pangsa sektor halal value chain 24,30 persen. Pada 2020 meningkat menjadi 24,86 persen. Ada peningkatan, tapi memang belum terlalu besar dibandingkan pertumbuhan ekonomi domestik,” kata Rahmatina.

Rahmatina melanjutkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang hadir dalam peluncuran Muslim Centre of Excellence oleh Unilever beberapa waktu lalu, mengatakan, pertumbuhan ekonomi di sektor halal 2020 mencapai 2,3 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019. “Ini sinyal baik,” ujar Rahmatina.

Pandemi Covid-19, kata Rahmatina, juga memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat dunia. Virus pemicu Covid-19 diduga berasal dari hewan tidak halal dan tidak baik, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

“Ini sangat mempengaruhi lifestyle masyarakat dunia. Kesadaran untuk mengonsumsi makanan yang lebih sehat dan lebih baik itu semakin meningkat karena adanya Covid-19,” ujarnya.

Sementara itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah mengatakan, ekonomi syariah dan industri halal sangat relevan dengan budaya masyarakat di Ranah Minangkabau. Namun, dalam implementasi, butuh upaya lebih serius lagi, baik dalam bentuk peningkatan literasi masyarakat, apalagi dalam tahap pelaksanaan.

Terkait percepatan konversi Bank Nagari menjadi bank syariah, Mahyeldi mengatakan, itu sudah menjadi komitmen bupati/wali kota di Sumbar pada November 2019. Walaupun demikian, masih ada pelambatan di Bank Nagari ataupun di DPRD Sumbar.

“Bolanya sekarang ada di DPRD Sumbar untuk menghadirkan perda. Dalam kenyataannya, DPRD masih belum memproses. Masih ada perdebatan iya atau tidaknya. Saya juga sudah perintahkan ke Bank Nagari untuk mensosialisasikan Bank Nagari untuk konversi menjadi bank syariah,” kata Mahyeldi.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/04/10/indonesia-perlu-memperkuat-ekosistem-halal/