Roby Arya Brata: Tanggung Jawab Negara dalam Pelayanan Kesehatan

0

Tanggung Jawab Negara dalam Pelayanan Kesehatan

Oleh: Roby Arya Brata, Pengajar Kebijakan Publik Pascasarjana FEB UI

 

KOMPAS | (15/2/2021) – Tanggal 26 Januari 2021 dicatat dalam sejarah kesehatan yang memilukan di Indonesia, dengan jumlah kasus Covid-19 menembus 1 juta sejak kasus pertama diumumkan 2 Maret 2020. Beberapa pakar epidemologi mengkhawatirkan penyebaran Covid-19 mulai tak terkendali.

Tren jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat. Rumah Sakit Online Kementerian Kesehatan pada 24 Januari 2021 melaporkan, kapasitas keterisian tempat tidur rumah sakit (RS) di 11 provinsi telah melampaui batas aman standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 60 persen. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan keterisian tempat tidur tertinggi, 85,76 persen.

Di Depok, Jawa Barat, minimnya kapasitas RS pada akhirnya menelan korban. Sebagaimana diungkapkan Lapor Covid-19 dan Center for Indonesiaā€™s Strategic Development Initiatives (CISDI), seorang pasien Covid-19 meninggal di dalam taksi setelah ditolak oleh sepuluh RS rujukan Covid-19 (Kompas, 29/1/2021). Perlakuan diskriminatif terhadap pemegang BPJS, apalagi kelas tiga, juga bukan rahasia lagi. Sungguh miris.

Akankah RS kita kolaps? Di manakah tanggung jawab negara dalam memberi perlindungan dan pelayanan kesehatan terhadap warga negaranya? Dalam suatu negara demokrasi konstitusional, pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak-hak dasar warga negara akan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan, dan menyejahterakan.

Untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional mendasar warga negara inilah Ombudsman RI (ORI) dibentuk. ORI didirikan untuk mengawasi dan memastikan penyelenggara negara dan pemerintah memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya sesuai dengan maklumat dan standar pelayanan yang dijanjikan.

Sejak dibentuk 20 tahun lalu dengan Keppres No 44/2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan kemudian diperkuat kedudukan dan kewenangannya dengan UU No 37/2008 tentang ORI, ORI masih dihadapkan pada kendala dan tantangan mendasar dalam mewujudkan visi dan misinya.

ORI belum berhasil memengaruhi dan mendorong diwujudkannya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, berintegritas, dan melayani (good governance). Dalam negara demokrasi konstitusional seperti Indonesia, ORI hakikatnya memperkuat mekanismeĀ checks and balancesĀ oleh kekuasaan legislatif parlemen, khususnya dalam mengawasi pelayanan publik yang dilakukan kekuasaan eksekutif.

Dengan kewenangannya untuk memberikan rekomendasi (recommendation power) kepada pemerintah, ORI berperan strategis dalam memperkuat kekuasaan eksekutif dalam memperbaiki kinerja pembangunannya. ORI dapat melakukan fungsi konstitusional sebagai jembatan penguat (empowering bridge) antara kekuasaan legislatif parlemen dan kekuasaan eksekutif pemerintah. Sementara bagi pemerintah, ORI, dengan kewenangannya untuk mengoreksi kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, dapat memperkuat efektivitas kekuasaan eksekutif dalam menjalankan tugas-tugas pembangunannya.

Pemberi sanksi

Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemberi pengaruh (magistrature of influence), ORI menghadapi berbagai kendala yang tak mudah. Selain masalah dana dan SDM, kelemahan ORI sebagai lembaga pemberi sanksi (mgistrature of sanction) karena ORI tak memiliki kewenangan beri sanksi (langsung) untuk memaksa penyelenggara pelayanan publik mematuhi dan melaksanakan rekomendasinya.

Meskipun UU No 23/2014 tentang Pemda dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik telah memperkuat kewenangan ORI, hanya 35,2 persen penyelenggara pelayanan publik yang melaksanakan dengan penuh rekomendasi yang diberikan ORI.

Oleh sebab itu, penting memperkuat kedudukan ORI sebagaiĀ magistrature of sanctionĀ dengan memberi kewenangan untuk memberikan sanksi (administratif) langsung kepada penyelenggara pelayanan publik yang tak melaksanakan rekomendasi ORI. Salah satu caranya, mempercepat proses penetapan Rancangan Perpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pemberian Ganti Rugi untuk memperkuat fungsi ajudikasi khusus ORI dalam membuat keputusan pemberian ganti rugi.

Proses penetapan rancangan perpres ini terhenti sejak 2011 karena diduga pemerintah khawatir anggaran negara akan tersedot oleh banyaknya tuntutan ganti rugi di tengah pelayanan publik yang buruk.

Jika alasan terhentinya proses penetapan rancangan perpres memang demikian, perlu dikaji opsi pemberian sanksi lainnya. Misalnya, ditetapkan batas maksimum ganti rugi atau ORI diberi kewenangan mencopot pejabat penyelenggara pelayanan publik yang melakukan kesalahan malaadministrasi berat. Juga perlu dikaji, kemungkinan ORI dijadikan lembaga konstitusional (constitutional body).

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Senin, 15 Februari 2021. Rubrik Opini. Halaman 6.