Budi Frensidy: Auto Reject Bawah 7%, Dibenci dan Dicinta

0

Auto Reject Bawah 7%, Dibenci dan Dicinta

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI

 

Koran Kontan (1/2/2021) – Tahun 2020 telah kita lalui. Di tahun tersebut, dunia dilanda pandemi yang mungkin hanya terjadi satu abad sekali. Kelas di sekolah dan kampus ditiadakan sejak Maret 2020. Bioskop tidak menayangkan film selama beberapa bulan sebelum beroperasi kembali Oktober lalu. Mal dan restoran sempat buka tutup.

Tidak bersalaman dan tidak bertemu sanak saudara menjadi norma baru kehidupan. Ke mana-mana harus menggunakan masker, termasuk ke bank. Padahal dahulu, kita akan sangat dicurigai ketika memakai penutup muka di bank.

Akibat pandemi pula, ekonomi global dan nasional mengalami kontraksi. Untuk pertama kalinya sejak 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif. Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang batas defisit APBN 3% diizinkan dilanggar selama tahun 2020-2022. Bank Indonesia juga diperkenankan membeli SBN di pasar perdana, artinya kebijakan fiskal dan moneter terjadi bersamaan.

Bisnis lesu, perusahaan menyetop ekspansi dan sebagian harus menutup cabang bahkan usahanya. Sektor pariwisata, penerbangan, perbankan, dan pembiayaan termasuk yang paling tertekan. Pemutusan hubungan kerja melonjak dan pengangguran baru bertambah hingga jutaan orang.

Dengan pertumbuhan ekonomi negatif, indeks saham pun dipastikan turun. Secara fundamental, dalam jangka panjang, kenaikan IHSG akan konvergen dengan pertumbuhan ekonomi secara nominal. Contohnya, IHSG memerlukan lima tahun lebih untuk kembali ke posisi tertingginya di 740 pada pertengahan tahun 1997 akibat ekonomi turun 13% di 1998. IHSG baru balik ke 700-an di awal tahun 2004.

Dari awal tahun lalu hingga 24 Maret 2020, IHSG jatuh 37,5%, dari 6.300 ke 3.938. Sementara indeks LQ-45 jatuh lebih dalam, yaitu 44,1% dari 1.014 menjadi 567. Investor yang portofolionya masih berisi saham atau reksadana saham  tak bisa berbuat apa-apa.

Sisi positifnya, banyak investor ritel yang masuk saat IHSG begitu rendah. Jumlah investor ritel naik 56% menjadi 3,87 juta dan investor saham naik 53% menjadi 1,68 juta tahun lalu. Transaksi harian investor ritel yang cuma 51.000 di awal 2020 melonjak jadi 206.000 transaksi dengan rekor 1,7 juta transaksi pada 22 Desember 2020.

Jika sebelumnya acuan para investor di BEI adalah aksi para investor asing atau investor institusi besar, kini yang menggerakkan pasar adalah investor ritel. Dengan rendahnya suku bunga saat ini dan sedang susahnya usaha serta mudahnya transaksi online, banyak orang melirik investasi saham.

Investor ritel baru yang sebagian besar milenial dengan mudah memperoleh cuan dari saham karena kebetulan mengoleksinya pada harga rendah. Mereka pun merasa membeli sembarang saham, apalagi yang direkomendasikan oleh beberapa selebritas dan pakar investor, akan untung.

Analisis fundamental tidak mereka anggap sehingga harga-harga menjadi ketinggian, bahkan tidak masuk akal. IHSG pun melaju hingga tutup di 5.979 di akhir tahun, atau bangkit 51,8% dari level terendah. Sementara indeks LQ-45 melesat 64,9% dari angka terendahnya di Maret 2020.

Kenaikan indeks saham juga didorong terbitnya aturan-aturan perdagangan yang memperkenankan buyback tanpa melalui RUPS, pelarangan short sale, dan pembatasan auto reject bawah (ARB) yang 7%. Batas auto reject atas masih tetap 20% hingga 35%.

Ini menyebabkan banyak investor agresif  membeli saham, karena kerugian terbesar dalam satu hari hanya 7% sementara keuntungannya bisa puluhan persen. Saat indeks tertekan, ketentuan auto reject asimetris ini disambut positif.

“Karena dibatasi maksimal 7%, mudah sekali saham-saham yang tidak wajar mengalami ARB, terutama ketika sentimen pasar sedang negatif. Jika ini terjadi, investor yang butuh likuiditas tidak dapat menjual saham dan harus menunggu hari berikutnya.”

Tidak ada jaminan besoknya, saham itu tidak mengalami ARB lagi, karena setiap hari ada saja saham yang kena ARB. Puncaknya pada Kamis lalu, yaitu 42 saham ARB saat IHSG tergerus 129 poin atau 2,12%.

IHSG kembali turun 1,96% pada Jumat. Di dua hari ini, saya mencatat 104 saham dan 63 saham turun 6,5% atau lebih berturut-turut. Ada tiga saham yang telah naik terlalu tinggi mengalami ARB selama 11 dari 13 hari terakhir, kecuali di 22 dan 23 Januari 2021.

Saham-saham itu adalah KAEF, INAF dan IRRA. KAEF terbang dari Rp580 di 28 Februari menjadi Rp6.975 dan melorot ke Rp3.120 akhir minggu lalu. Sementara INAF melesat dari Rp590 di 15 Januari ke Rp6.975 untuk terpangkas jadi Rp3.000. Terakhir, IRRA juga melonjak dari Rp460 di 23 Maret menjadi Rp3.700 sebelum melorot ke Rp1.810.

Jika sudah begini, banyak investor tidak lagi nyaman dengan batas ARB yang 7%. Aturan ini tidak diperlukan saat indeks sudah kembali normal di angka 6.000-an. Sudah waktunya aturan auto reject dikembalikan seperti semula, yaitu simetris antara batas bawah dan atas.

Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 1 Februari 2021. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 3.