J Soedradjad Djiwandono: Beban Utang Nasional

0

J Soedradjad Djiwandono: Beban Utang Nasional

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (7/10/2020) Guru Besar Ekonomi Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, J Soedradjad Djiwandono, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, halaman 6, berjudul “Beban Utang Nasional”. Berikut tulisannya.

“Beban Utang Nasional”

Pembahasan tentang beban utang-baik utang rumah tangga, korporasi swasta, BUMN, pemerintah, maupun utang nasional-selalu menarik perhatian sejak lama.

Topik ini juga muncul kembali akhir-akhir ini berkaitan dengan kebutuhan dana pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 yang membengkak. Saya mengikuti sejumlah analisis, termasuk tulisan Ginanjar Kartasasmita (Kompas, 11/9) yang sangat rinci dan gamblang menjelaskan permasalahan yang relevan untuk mendukung pesannya agar pemerintah berhati-hati.

Saya ingin membahas sisi yang belum disinggung dan saya anggap relevan untuk mendukung pesan agar selalu diperhatikan kehati-hatian mengelola utang atau pinjaman nasional. Salah satunya mengenai rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sebenarnya kurang tepat konstruksinya.

Bahwa di era sekarang utang adalah bagian dari kehidupan yang semua perekonomian, dunia usaha, dan rumah tangga memanfaatkan sudah kita maklumi bersama. Bahkan, bank dalam operasinya banyak mengandalkannya. Pinjaman yang di kalangan akademisi ekonomi finansial disebut bankers’ new clothes. Prof Admati dari Stanford dan Prof Hellwig dari Bonn menulis bersama buku yang terbit 2014 menggunakan kata-kata itu. Judul itu disambung dengan subjudul saya terjemahkan sebagai “apa yang salah dengan perbankan dan bagaimana memperbaikinya”.

Amankah utang kita?

Bagi perekonomian nasional atau negara, ukuran yang umum digunakan untuk menentukan aman-tidaknya pinjaman adalah dengan melihat rasio jumlah utang dan pendapatan (PDB). Masyarakat Ekonomi Eropa, sejak mengadopsi euro menjadi mata uang bersama menyepakati Maastricht Treaty tahun 1999 yang mengharuskan pinjaman pemerintah negara anggota dibatasi maksimal 60 persen dari PDB, sedangkan defisit anggaran tidak lebih dari 3 persen. Dewasa ini, rasio Indonesia yang sekitar 30 persen digunakan sebagai argumen posisi pinjaman pemerintah masih aman.

Mengapa konstruksi rasio ini kurang tepat? Dalam analisis ekonomi, kita membedakan konsep stock dan flow, persediaan dan aliran. Yang pertama adalah variabel yang mengukur akumulasi suatu variabel ekonomi dari satu titik waktu ke yang lain. Sementara flow mengukur besarnya variabel tersebut per unit waktu. Stok biasanya mencantumkan waktu saat diambil pengukuran, biasanya akhir suatu periode. Misalnya, stok beras nasional kita 3 juta ton pada akhir Desember 2019. Sementara untuk flow ditunjukkan dengan ukuran tiap waktu yang dipilih, misalnya uang beredar di Indonesia lebih dari Rp 5.000 triliun per bulan.

Nah, dalam pencatatan utang pemerintah ataupun nasional; penjumlahan utang pemerintah, BUMN, swasta, dan rumah tangga menggunakan konsep stok. Misalnya, posisi utang luar negeri akhir triwulan II-2020 tercatat 408,6 miliar dollar AS. Sementara PDB adalah suatu besaran flow, berapa seluruh pendapatan per triwulan atau per tahun. PDB merupakan penjumlahan seluruh pengeluaran atau pendapatan per waktu, triwulan, atau tahun. Karena itu, kurang tepat jika ukuran aman-tidaknya utang dilihat dari rasio antara jumlah utang yang adalah stock dan PDB yang adalah flow.

Tetapi, ini juga bukan suatu kekeliruan vital karena keduanya jelas berkaitan. PDB sebagai flow di akhir periode, triwulan atau tahun, merupakan penjumlahan flow selama jangka waktu pengukuran tersebut. Tentu saja jumlah aliran dana untuk periode tertentu, misalnya satu tahun, itu berkaitan dengan jumlah keseluruhan (stok). Tetapi, untuk manajemen utang, yang penting adalah flow, alirannya, bukan stok. Karena itu, rasio pinjaman terhadap PDB sebenarnya adalah rasio antara besaran stok dan flow, kurang tepat dipakai.

Kalau mau membuat rasio yang benar, utang seharusnya diperbandingkan dengan jumlah aset nasional. Namun, aset nasional mungkin hanya tampak pada waktu sensus dan ini tak tiap tahun dikerjakan, apalagi tiap triwulan.

Saya sendiri menjadi lebih sadar mengenai ini dan baru menggunakannya tahun 1997 waktu harus menangani krisis keuangan menghadapi depresiasi rupiah yang sangat drastis mulai April 1997. Waktu mengecek angka utang nasional, catatan yang tersedia di BI adalah jumlah pinjaman berjangka pendek, menengah, dan panjang disusun dari laporan dunia usaha. Data ini jelas penting, tetapi bukan yang saya perlukan saat harus mengelola pinjaman nasional. Yang saya perlukan berapa jumlah utang yang besok, satu bulan, satu triwulan, atau satu tahun lagi jatuh tempo agar bisa dipersiapkan pembayarannya untuk setiap waktu jatuh tempo dimaksud.

Saya sebagai Gubernur BI bersama anggota Direksi BI waktu itu harus meminta tolong Menteri Perindustrian mengumpulkan para pengusaha untuk melaporkan ke BI berapa besar exposure mereka ke luar negeri dalam valas dengan rincian jatuh temponya.

Saya kira bukan hanya saya yang baru sadar saat sudah begitu terlambat. IMF pun tampaknya baru sadar waktu Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan mengundang mereka membuat program penanganan krisis keuangan Asia melalui stand-by arrangements. Baru semenjak krisis itu ada perhatian untuk menghitung rasio pinjaman jangka pendek dan kaitannya dengan tersedianya cadangan devisa, keduanya adalah stok, jadi rasio yang betul cara menyusunnya. Tetapi, yang lebih umum digunakan tetap saja rasio pinjaman dan PDB.

Yang harus selalu diingat adalah bahwa rasio utang terhadap PDB itu hanya suatu perkiraan yang sebaiknya digunakan sebagai ancar-ancar saja, jangan dilihat sebagai suatu dasar yang kuat untuk menentukan keamanan jumlah pinjaman. Sekiranya semua utang itu untuk membiayai konsumsi, rasio tersebut adalah antara dua variabel stok. Yang dihitung dalam PDB adalah sisa dari semua pendapatan yang dihasilkan satu periode dikurangi yang dikonsumsikan yang terakumulasi dalam satu triwulan atau satu tahun. Jadi, memang terkait dengan jumlah pinjaman dalam arti stok, tetapi bukan secara langsung, sehingga tepat ditunjukkan rasionya.

Besar pasak daripada tiang

Yang lain adalah keterkaitannya dengan gejolak yang dapat berkembang menjadi krisis finansial. Dalam literatur tentang krisis finansial tak pernah hanya ada satu pendapat soal asal-usul krisis. Komentar Presiden Reagan yang setengah menyindir ekonom kira-kira berbunyi ”saya perlu ekonom dengan satu tangan”. Ini kritik guyonan terhadap ekonom yang senang menjawab pertanyaan dengan mengatakan on the one hand…, on the other hand….

Ilmu ekonomi memang bukan hard science seperti anggapan sebagian ekonom. Meski demikian, dalam menjelaskan timbulnya krisis keuangan dapat dikatakan bahwa semua ekonom yang mempelajarinya mendukung hipotesis bahwa krisis selalu berkaitan dengan highly leveraging di periode sebelumnya. Secara mudahnya, kita artikan sebagai hidup ”lebih besar pasak dari tiang”, mengandalkan pinjaman untuk biaya kehidupan yang terlalu besar, pada waktunya akan menimbulkan suatu krisis. Krisis di era Orde Lama dengan inflasi sekitar 635 persen dikarenakan defisit anggaran yang besar dibiayai dengan mencetak uang (deficit financing).

Tetapi, uang itu surat utang otoritas moneter (bank sentral) ke semua pemegangnya. Krisis 1997/1998 pada dasarnya karena pinjaman swasta (termasuk ke luar negeri) yang terlalu besar. Krisis global 2008 dimulai dari krisis di AS karena pinjaman hipotek untuk perumahan dan properti tak terkendali dan jadi sistemik setelah bankrutnya megabank Lehman Brothers.

Terakhir, menggunakan atau membandingkan ukuran dengan negara lain yang lebih maju ekonominya itu serupa dengan hidup orang miskin menggunakan ukuran orang kaya. Orang kaya karena memang berasal dari keluarga kaya bisa tidak kerja dan hidup royal sampai lama bisa bertahan. Tidak demikian halnya orang miskin, kalaupun punya pendapatan sebagai pekerja harian, misalnya, posisinya beda dengan orang kaya di mata pihak lain, apalagi pemberi pinjaman. Itu pesan yang harus diingat agar kita lebih berhati-hati. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Rabu, 7 Oktober 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.