Webinar TERC LPEM FEB UI dan Hukumonline, “Antisipasi dan Penyelesaian Sengketa Pajak di Masa Pandemi”

0

Webinar TERC LPEM FEB UI dan Hukumonline, “Antisipasi dan Penyelesaian Sengketa Pajak di Masa Pandemi”

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (16/9/2020) Tax Education and Research Center Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (TERC LPEM FEB UI) berkolaborasi dengan Hukumonline mengadakan webinar, dengan topik “Antisipasi dan Penyelesaian Sengketa Pajak di Masa Pandemi”, pada Rabu (16/9/2020). Acara dibuka oleh Ramos Pandia, CEO Hukumonline dan Riatu M. Qibthiyyah, Ph.D., Kepala LPEM FEB UI.

Pembicara dalam webinar ini adalah Aniek Andriani, S.E., M.M., Panitera Pengganti Pengadilan Pajak, Henry Darmawan Hutagaol, S.H., LL.M., Akademisi Fakultas Hukum UI, dan Mulyono, S.H., S.E., Ak., M.H., M.M., MKn, CPA, CA, CFP, CMA, Aff. WM, Managing Partner Mul & Co, dengan moderator Christine Tjen, S.E., Ak., M.Int.Tax, CA., Koordinator TERC FEB UI.

Aniek Andriani, sebagai pembicara pertama, memaparkan bahwa pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pengadilan pajak berkedudukan di ibukota negara, yakni Jakarta. Sidang pengadilan pajak dapat dilakukan di luar tempat kedudukan (SDTK) yang saat ini telah dilaksanakan di Yogyakarta dan Surabaya.

Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak yang diatur dalam Pasal 31 UU PP (Pengadilan Pajak), dan memiliki dua ajuan, di antaranya banding (pengadilan pajak hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan), dan gugatan (pengadilan pajak memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, keputusan pembetulan, dan keputusan lainnya). Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan Pasal 78 UU PP, yaitu hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan, dan keyakinan hakim. Selain itu, jenis putusan PP (Pasal 80 UU PP) berupa menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis atau hitung, dan membatalkan.

“Layanan pengadilan pajak di masa pandemi Covid-19, diberlakukan dengan protokol kesehatan yang ketat, seperti pembatasan kehadiran para pengguna layanan (administrasi maupun persidangan), penggunaan antrian online, penjadwalan persidangan yang diatur secara bergelombang, persidangan secara elektronik untuk layanan SDTK, pengaturan ruang sidang yang disesuaikan dengan protokol kesehatan, dan disiapkan ruang tunggu sidang di luar gedung. Bagi pemohon banding/penggugat yang ingin mengetahui jadwal pelaksanaan persidangan dan hasil putusan untuk sengketa pajak serta beberapa informasi lainnya terkait pengadilan pajak, bisa mengakses melalui http://www.setpp.kemenkeu.go.id,” ucap Aniek.

Henry Darmawan Hutagaol, sebagai pembicara kedua, menyampaikan Undang-Undang No.14/2002 tentang pengadilan pajak merupakan kemajuan dari regulasi dalam UU No.17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Perbaikan bentuk organisasi pengadilan pajak sekarang ini menunjukan kemajuan meskipun belum memisahkan kewenangan eksekutif dan yudikatif. Namun, argumen yang dibangun adalah pengadilan pajak tidak independen karena masih terdapat pengaruh eksekutif, seperti menteri. Tetapi, ada perubahan bagus dari aturan sebelumnya.

Dalam aturan sebelumnya, anggota sidang/hakim diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh menteri. Kemudian, ketentuan tersebut berubah pada UU No.14/2002 sehingga yudikatif mulai terlibat dalam menentukan hakim pengadilan pajak. Disebutkan hakim diangkat presiden dari daftar nama yang diusulkan menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung (MA). Pada satu sisi, MA diberikan wewenang dalam hal persetujuan atau menolak daftar nama calon yang diusulkan menteri.

“Pada dasarnya, proses perbaikan dan reformasi organisasi pengadilan pajak idealnya terus dilanjutkan secara bertahap. Tetapi, tantangan yang dihadapi menuju bentuk ideal pengadilan pajak tidaklah mudah. Perlu diimbangi oleh legislatif yang kuat untuk menyusun regulasi, mengingat produktivitas dan kapabilitas anggota dewan (DPR) dalam menyusun regulasi pajak terutama pengadilan pajak, juga belum mumpuni. Inilah yang menjadi PR untuk segera diperbaiki dalam menuju bentuk ideal pengadilan pajak,” tutur Henry.

Mulyono, sebagai pembicara ketiga, mengatakan alur penyelesaian sengketa pajak dalam hal banding, dimulai dari proses himbauan dari ruang lingkup kantor pelayanan pajak, lalu dilanjutkan pemeriksaan dari kantor pelayanan pajak untuk diterbitkan surat ketetapan pajak, lalu proses keberatan ke kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lalu ajukan banding ke pengadilan pajak, sehingga menghasilkan surat putusan pengadilan pajak, dan bisa dilakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Sedangkan, alur penyelesaian sengketa pajak dalam hal gugatan, dimulai dari proses penerbitan keputusan, gugatan, peninjauan kembali, dan Pasal 36 (1) UU KUP yang mengatur wewenang Direktur DJP terhadap gugatan. (hjtp)