Webinar Internasional TERC LPEM FEB UI dan DDTC Fiscal Research, “Pembaruan Administrasi Pajak dari Pembelajaran Masa Lalu dan Depan”

0

Webinar Internasional TERC LPEM FEB UI dan DDTC Fiscal Research, “Pembaruan Administrasi Pajak dari Pembelajaran Masa Lalu dan Depan”

 

 Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (26/8/2020) Tax Education and Research Center, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (TERC LPEM FEB UI) berkolaborasi dengan DDTC Fiscal Research mengadakan webinar Internasional, dengan topik “Indonesia Tax Administration Reform: Lessons Learnt and Future Direction”, pada Rabu (26/8/2020).

Pembicara dalam webinar ini adalah Prof. Adrian Sawyer, Peneliti Pajak dari University of Canterbury New Zealand, Danny Septriadi, S.E., M.Si., L.L.M, Int., Tax, Senior Partner DDTC, dan Yon Arsal, Ph.D., Assistant of Minister for Tax Compliance Kementerian Keuangan RI, dengan moderator Christine Tjen, S.E., Ak., M.Int.Tax, CA., Koordinator TERC FEB UI.

Dr. Beta Yulianita Gitaharie, Pj. Dekan FEB UI, dalam sambutan pembuka mengatakan, proses reformasi administrasi pajak di Indonesia sangat penting dijalankan untuk penerimaan pajak sebagai penopang utama pendapatan negara. Pada dasarnya, Indonesia juga bisa belajar dan mencontoh yang sudah dilakukan oleh negara tetangga, yaitu Selandia Baru dan Australia.

Darussalam, S.E., M.Si., L.L.M, Int., Tax, CA, Managing Partner DDTC, memberikan sambutan bahwa pengelolaan pajak di Indonesia bukan hal yang statis. Reformasi harus melibatkan berbagai aspek, mulai dari pendidikan dan partisipasi aktif semua pihak. Kolaborasi antara TERC LPEM FEB UI dan DDTC Fiscal Research diharapkan bisa memperkuat pajak.

Selanjutnya, Suryo Utomo, Ph.D., Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, memberikan pidato kunci bahwa reformasi harus dilakukan karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak bisa menghindari perubahan dan proses transformasi dinamika kegiatan ekonomi. Saat ini, otoritas masuk kepada reformasi pajak jilid III diproyeksikan rampung pada 2024, dengan berfokus pada 5 pilar, yakni SDM, teknologi informasi dan database, regulasi organisasi, bisnis proses. Pilar teknologi menjadi tulang punggung pelayanan DJP kepada wajib pajak, seperti e-Filing atau e-Faktur dan skema 3C (Click, Call, Counter).

Sesi pemaparan materi “Indonesia Tax Administration Reform: Lessons Learnt and Future Direction

Adrian Sawyer, sebagai pembicara pertama, memaparkan bahwa mengurangi tax gap agar penerimaan pajak menjadi optimal merupakan motivasi Australia dan Selandia Baru dalam melakukan reformasi pajak. Berdasarkan laporan pada periode 2015-2016, Selandia Baru memiliki tax gap berkisar 6,8% – 11,3% dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan, Australia memiliki tax gap berkisar 7% – 8% dari PDB.

“Proses reformasi tersebut sudah dilakukan Australia dan Selandia Baru dalam periode 30 tahun terakhir dengan memiliki karakteristik yang hampir sama dan berdekatan. Misalnya, Selandia Baru memulai proses perombakan pada 1993 dengan membutuhkan waktu hingga 15 tahun secara terbatas. Satu tahun kemudian (1994), Australia memulai proses reformasi pajak dengan membutuhkan waktu hingga 25 tahun serta belum tuntas hingga hari ini. Namun, kedua negara sempat mengalami penundaan dari target yang ditetapkan,” kata Adrian.

Danny Septriadi, sebagai pembicara kedua, menyampaikan sarana yang paling tepat untuk mengakomodasi hak wajib pajak adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sehingga, wajib pajak akan cenderung patuh untuk memenuhi seluruh kewajibannya jika mereka mengetahui haknya dilindungi oleh UU dan mendapat perlakuan adil dari otoritas pajak. Pola relasi otoritas dan wajib pajak pada saat ini berada dalam nuansa konfrontasi karena berhubungan dengan denda dan penalti pajak.

“Nantinya, dengan hubungan yang berorientasi pada pelayanan, akan terbangun kepercayaan antara otoritas dengan wajib pajak. Hal ini membuat wajib pajak menjadi patuh dan tidak merasa terbebani ketika membayar pajak. Dimensi hak wajib pajak terbagi dalam 3 segi, yakni jaminan kepastian baik terkait dengan interpretasi atas regulasi dan kepastian waktu untuk proses bisnis yang melibatkan wajib pajak, jaminan sistem pajak beroperasi secara proporsional untuk menjamin keadilan, dan jaminan sistem peradilan yang adil bagi wajib pajak,” ujar Danny.

Yon Arsal, sebagai pembicara ketiga, menambahkan taxpayer account akan menjadi sarana aplikasi wajib pajak untuk memonitoring haknya sebagai wajib pajak, untuk dapat melihat seluruh hak dan kewajiban pajaknya, seperti pemantauan jika ada jadwal pelayanan sampai dengan pemeriksaan. Selain itu, wajib pajak juga dapat melihat rekam jejak pelaporan dan nilai pajak yang disetor ke kas negara, serta sarana bagi wajib pajak untuk melakukan pengaduan apabila terjadi penyimpangan akun oleh pihak lain.

“Aplikasi tersebut menjadi salah satu hasil dari reformasi pajak jilid III yang ditargetkan rampung pada 2024, dan memiliki keandalan sistem informasi DJP berupa core tax system untuk memudahkan interaksi antara wajib pajak dengan DJP secara digital. Selain itu, core tax system juga menjadi instrumen untuk melakukan kolaborasi dengan kementerian, lembaga lainnya, dan pihak ketiga untuk hal pelayanan dan edukasi,” jelas Yon. (hjtp)