Ari Kuncoro: 75 Tahun RI, Perspektif Tiga Negara

0

Ari Kuncoro: 75 Tahun RI, Perspektif Tiga Negara

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Sabtu (22/8/2020), Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, yang berjudul “75 Tahun RI, Perspektif Tiga Negara”. Berikut tulisannya.

“75 Tahun RI, Perspektif Tiga Negara”

Awal Juli 2020, menjelang peringatan kemerdekaan ke-75 RI, Bank Dunia mengumumkan kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan nasional kotor (GNI) per kapita 3.927 dollar AS.

Ini hadiah ulang tahun kemerdekaan RI sekaligus tantangan dan pekerjaan rumah (PR) baru. Pasalnya, angka ini hanya berbeda tipis dari batas bawah kategori negara pendapatan menengah atas (upper middle income), yaitu 3.896 sampai 12.055 dollar AS.

Berita baiknya, dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta di mana 141 juta-nya kelas menengah, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi dunia yang patut diperhitungkan. Naiknya tingkat pendapatan ini menimbulkan permintaan baru untuk barang-barang dan jasa-jasa termasuk konsumsi waktu luang (leisure). Potensi ini merupakan sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian domestik yang jika tak dapat disediakan oleh industri dalam negeri hanya akan dimanfaatkan negara-negara lain.

Kisah tiga negara

Bagaimana Indonesia sampai ke posisi ini menarik untuk ditelaah dengan membandingkan dengan negara yang lebih kurang memiliki kondisi awal GNI sama di akhir dekade 1960-an, yaitu Nigeria dan Korea Selatan (Korsel). Nigeria bekas jajahan Inggris, Korsel berada dalam kekuasaan Jepang 1905-1945 sebelum terpecah menjadi dua, utara dan selatan, dan mengalami perang saudara. Indonesia pernah dijajah Belanda. Nigeria dan Indonesia dianugerahi sumber daya alam (SDA) tak terbarui minyak bumi dan lain-lain meski secara stok Nigeria lebih besar dari Indonesia. Indonesia punya keunggulan dari sumber daya tanah yang subur, negara kepulauan yang lautnya kaya sumber hayati dan obyek wisata indah. Korsel miskin SDA karena bagian barang-barang tambang ada di Korut. Namun, Korsel punya tanah subur dan tradisi kuno yang berpotensi untuk obyek wisata.

Pada akhir 1970-an, Indonesia memulainya dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita sekitar 80 dollar AS, di bawah Nigeria dan Korsel yang sudah mencapai 224 dollar AS dan 279 dollar AS. Dengan berjalannya waktu, negara-negara itu mengalami trayektori pertumbuhan berbeda-beda. Pada 1986, PDB per kapita Indonesia sekitar 420 dollar AS. Nigeria dan Korsel 629 dollar AS dan 2.835 dollar AS. Tahun 2004 jadi titik balik karena Indonesia sudah menyusul Nigeria dengan PDB per kapita 1.150 dollar AS vs 1.008 dollar AS. Korsel sudah tancap gas tak terkejar lagi dengan PDB per kapita 16.496 dollar AS.

Tersusulnya Nigeria oleh Indonesia di 2004 tak terlepas dari strategi pembangunan Indonesia. Pada pertengahan 1970-an Indonesia menginvestasikan sebagian rezeki minyaknya untuk memperbaiki sektor pedesaan mulai dari pengairan, jalan desa, bimbingan (extension services), pasar, dan lain-lain. Indonesia juga melakukan deregulasi perekonomian di 1986 yang memungkinkan industri ekspor padat karya berkembang. Dampaknya, jumlah orang di bawah garis kemiskinan turun dari 21,2 persen di 1984 ke 13,8 persen di 1993 (Booth [1999]). Efek penggandanya mengalir ke atas dengan menciptakan permintaan untuk sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa. Berbeda dengan Nigeria yang memutarnya untuk meningkatkan konsumsi masyarakat perkotaan dengan meningkatkan renumerasi untuk birokrasinya. Reformasi yang dilakukan di sana juga tidak berhasil membuat industri manufakturnya berorientasi ekspor (Kuncoro dan Resosudarmo [2008] dan Fuady [2015[).

Kemampuan Korsel menjadi negara maju berpendapatan tinggi adalah akibat strategi yang menggabungkan intervensi kebijakan industri termasuk kebijakan proteksi selektif dalam waktu terbatas, insentif pajak, kredit bersubsidi dan komitmen pelaku industri untuk akhirnya bersedia bertarung di pasar internasional. Instrumen-instrumen ini banyak yang tak lagi sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Namun, di situlah kecerdikan Korsel, kebijakan industri selektif nasional dilakukan sangat awal sebelum habitat internasional tak lagi memungkinkannya. Dalam menghadapi WTO, untuk tetap meningkatkan daya saing, kebijakan industri beralih ke arah yang memperkuat lingkungan usaha seperti birokrasi yang efisien, infrastruktur, dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) melalui pendidikan tinggi. Dengan strategi ini Korsel salah satu perekonomian berorientasi ekspor paling sukses di dunia (Wheeler [1990]).

Dari 1962 hingga 1972 fokus dari strategi pembangunan adalah modernisasi pertanian, industri padat karya berorientasi ekspor, dan menyiapkan transisi industri menghadapi persaingan luar negeri. Tahap selanjutnya, pembangunan industri hulu seperti baja, perkapalan, elektronik, petrokimia, dan permesinan. Dengan makin meningkatnya upah, sejak awal 1990-an strategi difokuskan pada industri bernilai tambah tinggi dengan kandungan teknologi yang tinggi dan akhirnya industri kreatif seperti pariwisata dan kuliner dengan menggunakan budaya seperti musik dan film untuk mempromosikan Korsel.

Indonesia sebenarnya punya cetak biru industrialisasi, Namun, seperti halnya Nigeria dalam porsi lebih ringan, Indonesia juga mengalami kutukan SDA dengan bonanza komoditas seperti minyak di pertengahan 1970-an dan komoditas sawit dan tambang di 2004-2012. Adanya bonanza membuat reformasi ekonomi yang direncanakan untuk menuju ke industri bernilai tambah tinggi menjadi kurang mendesak. Setelah reformasi ekonomi di 1986 evolusi industri Indonesia terkunci pada produk manufaktur bernilai tambah rendah/menengah (Kuncoro [2018]).

Di 2019, nilai tambah manufaktur didominasi industri makanan dan minuman dengan pangsa sekitar 6,79 persen PDB atau 24,2 persen dari nilai tambah manufaktur non-migas. Cabang industri berikutnya, peralatan transportasi (industri otomotif) dengan porsi 1,82 persen PDB atau 6,47 persen dari manufaktur non-migas. Berdasarkan pola spesialisasi ini PDB per kapita kita di 2019 adalah 4.136 dollar AS. Nigeria dan Korsel 2.230 dan 31.762 dollar AS.

Bukan sekadar SDA

Posisi ketiga negara itu kini mungkin dapat dicari kambing hitamnya pada hipotesis kutukan SDA. Kenyataannya banyak faktor lain yang memengaruhi konfigurasi PDB per kapita. Sesuai prediksi penerima Nobel Ekonomi 2018, Paul Romer, sumber kesejahteraan bangsa-bangsa adalah SDM dan teknologi dan inovasi, bukan lagi komoditas dan SDA. Kemampuan SDM terlihat dari Indeks Talenta Global versi ISEAD. Tahun 2019 Korsel di posisi ke-30 dan di 2020 naik ke-27. Indonesia, dari 67 di 2019, naik dua tingkat ke-65 di 2020. Nigeria posisi 99 (2019), merosot ke-112 (2020). Secara kasar ada perbedaan 30 tangga antara Korsel dan Indonesia, antara Indonesia dan Nigeria.

PDB per kapita Korsel empat kali lipat Indonesia dan 14 kali lipat Nigeria. Antara 2014 dan 2020 Indonesia berhasil naik 10 tangga, tetapi perlu lonjakan lebih tinggi untuk menyusul setengah jarak dengan Korsel. Jika PDB per kapita dianggap sebagai indikator kesejahteraan material pekerjaan ini tidak terlalu mudah karena dampak dari SDM adalah bersifat eksponensial (increasing returns to scale) bagi PDB per kapita.

Indikator lain, indeks daya saing global yang dikeluarkan World Economic Forum memberikan kisi-kisi PR yang harus dilakukan Indonesia. Pilar kesehatan menempati peringkat ke-96 dari 141 negara terutama karena angka harapan hidup menempati posisi ke-95. Tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih tingkat SD menyebabkan Indonesia peringkat ke-92 untuk lama sekolah. Hal ini dikompensasi sebagian oleh kecakapan tenaga kerja saat ini yang menduduki peringkat ke-36, terutama karena kemampuan digital yang masih rendah. Pasar tenaga kerja dapat penilaian rendah karena terlalu kaku sehingga hanya menempati posisi 119. Kelemahan lain, kemampuan inovasi yang di posisi ke-74, ditambah R&D yang menempati ranking 83. Beruntung, budaya entrepreneurial masih dapat mengimbangnya (peringkat 26).

Peribahasa mengatakan hujan batu di negeri sendiri hujan emas di negeri orang, lebih baik negeri sendiri. Kenyataannya di negeri orang belum tentu selalu hujan emas dan di negeri sendiri belum tentu hujan batu.

Korsel bukannya tanpa masalah. Kelas menengah makin banyak yang kehilangan harapan jadi orang kaya karena pendapatannya tergerus oleh meroketnya harga sewa tempat tinggal. Harga properti sejak 2017 naik 50 persen. Banyak orangtua juga kehilangan harapan anaknya akan dapat mencapai tingkat kesejahteraan material seperti mereka. Kontrak sosial untuk membuat rakyat jadi kelas menengah mulai di luar jangkauan. Padahal, kelas menengah ini mesin ekonomi Korsel. Indikator kesejahteraan juga mulai bergeser dari sekadar pemenuhan pendapatan atau PDB per kapita. Kualitas hidup, tata kelola pemerintahan, lingkungan hidup perlahan tetapi pasti mulai menjadi kriteria negara maju.

Pesan moral dari peribahasa di atas tetaplah optimistis dalam pandemi ini menyongsong Hari Jadi Ke-75 RI. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Sabtu, 22 Agustus 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.