Ari Kuncoro : Peluang Meminimalkan Resesi Cara Hutang

Ari Kuncoro : Peluang Meminimalkan Resesi

Hendro ~ Humas FEB UI

DEPOK – Senin (20/7/2020) Rektor Universitas Indonesia sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., merilis tulisannya di Harian Kompas, yang berjudul “Peluang Meminimalkan Resesi”. Berikut artikelnya.

“Peluang Meminimalkan Resesi”

Geliat indikator-indikator awal mungkin tidak dapat mencegah pertumbuhan negatif pada triwulan II-2020, tetapi diharapkan cukup untuk membangun momentum pemulihan di triwulan III dan IV guna meminimalkan resesi.

Seperti halnya orkestra, beberapa lembaga internasional, seperti OECD, Bank Dunia, dan IMF, beramai-ramai merevisi ramalan pertumbuhan perekonomian dunia untuk 2020, termasuk Indonesia, ke bawah. Hal ini berbeda dengan nada optimisme ketika banyak negara memilih kebijakan lockdown yang ketat, bahwa perekonomian akan cepat bangkit kembali dalam hitungan satu triwulan.

Dibandingkan dengan lembaga-lembaga internasional yang lain, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) termasuk yang paling pesimistis, dengan memprediksikan perekonomian global akan mengalami pertumbuhan negatif 7,6 persen.

Sementara AS dan negara-negara OECD diramalkan masih akan mengalami kontraksi sebesar 8,54 dan 9,29 persen. Bahkan, negara-negara yang sebelumnya menjadi buah bibir media internasional karena dipersepsikan berhasil dalam penanganan Covid-19 juga tidak luput dari gambaran pesimistis ini.

Selandia Baru, misalnya, diperkirakan akan membayar keberhasilannya tersebut dengan pertumbuhan minus sekitar 10 persen. Australia, negara tetangganya, mencatat prospek pertumbuhan minus 6,33 persen.

Ekuilibrium pertumbuhan rendah

Indonesia juga diprediksi oleh OECD akan memasuki ekuilibrium pertumbuhan rendah dengan kisaran minus 3,86 sampai minus 2,0 pada 2020. Sangat menarik, Bank Dunia masih lebih optimistis dengan proyeksi pertumbuhan nol persen untuk Indonesia, dibandingkan OECD dan Dana Moneter Internasional (IMF). IMF memasang angka minus 0,3 persen untuk Indonesia.

Indonesia juga diprediksi oleh OECD akan memasuki ekuilibrium pertumbuhan rendah dengan kisaran minus 3,86 sampai minus 2,0 pada 2020.

Walaupun demikian, Bank Dunia juga memberi catatan bahwa Indonesia mungkin akan tumbuh dengan minus 3,5 persen jika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sampai berjalan empat bulan. Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga masih lebih optimistis dari OECD walaupun proyeksinya untuk Indonesia dikoreksi dari 2 persen menjadi negatif 1 persen.

Peringatan ini dapat diinterpretasikan sebagai sinyal kapan sebaiknya relaksasi dilakukan. Gambaran pesimistis ini terkonfirmasi dari data lain yang menggambarkan situasi di triwulan II. Dari sisi masyarakat, indeks keyakinan konsumen memang berada di zona negatif. Indeks keyakinan konsumen (IKK) yang dipublikasikan Bank Indonesia (BI) untuk Mei menunjukkan konsumen makin pesimistis.

IKK menurun ke 77,8 dari 84,8 pada bulan sebelumnya. Kepesimisan ini disebabkan oleh merosotnya keinginan untuk membeli barang-barang tahan lama, melakukan perjalanan jauh/liburan dan kenduri, yang disebabkan terutama oleh kekhawatiran ketersediaan lapangan kerja. Sebagai akibatnya, permintaan BBM nasional, misalnya, turun 34,9 persen pada April.

Datangnya hari Lebaran juga tidak banyak mendongkrak kegiatan perekonomian. Konsumsi BBM turun 18 persen dibandingkan kondisi normal sebelum pandemi. Penjualan mobil bulan Mei turun 95 persen dibandingkan tahun lalu, setelah April mencatat penurunan 90 persen year on year.

Pada pertengahan Mei, kira-kira dua bulan sejak PSBB diluncurkan, Kementerian Ketenagakerjaan, LIPI, dan Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia melakukan survei dampak virus korona terhadap tenaga kerja di Indonesia dengan kontrol jenis kelamin, umur, dan pendidikan untuk mengetahui ketahanan ekonomi masyarakat.

Hasil survei menunjukkan, untuk pelaku usaha mandiri yang juga merupakan sektor informal, termasuk usaha kecil dan mikro, 40 persen berhenti dan 52 persen mengalami penurunan. Untuk memenuhi nafkah sehari-hari, 41 persen hanya mengandalkan pekerjaan serabutan.

Untuk memenuhi nafkah sehari-hari, 41 persen hanya mengandalkan pekerjaan serabutan.

Survei memperkirakan pekerja mandiri seperti ini maksimal hanya dapat bertahan maksimal dua bulan atau kira-kita sampai bulan Juli terhitung sejak survei ini diluncurkan. Sementara untuk pekerja bebas 55 persen tidak ada pekerjaan dan 38 persen mengatakan order pekerjaan berkurang. Lebih jauh lagi, 58 persen tanpa pendapatan dan 38 persen menyebutkan pendapatan berkurang hingga lebih dari 30 persen.

Menurut Sakernas 2019, terdapat 26 juta yang berusaha mandiri dan 26,5 juta pekerja bebas-pekerja keluarga. Terhitung dari bulan Mei, dengan skenario pandemi masih terjadi, akan ada 10 juta orang yang berusaha mandiri akan berhenti bekerja.

Sementara 10 juta pekerja mandiri lainnya hanya akan bergantung pada pendapatan yang telah menurun hingga 40 persen lebih. Untuk pekerja bebas-pekerja keluarga, diperkirakan akan ada 15 juta yang menganggur.

Dengan demikian, situasi memang mengharuskan adanya penanganan pandemi yang berbeda.

Pengusaha juga menanggung beban berat akibat pandemi. Sebanyak 57,1 persen responden mengaku usahanya tetap berjalan, tetapi pendapatan dan produksi menurun. Jumlah responden yang mengatakan usahanya terhenti cukup signifikan, 39,4 persen. Hanya 3,5 persen yang mengatakan usahanya tak terdampak atau bahkan lebih baik lagi.

Untuk dapat bertahan, 13,9 persen responden terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara 49,6 persen merumahkan pegawai tanpa PHK. Mayoritas (41 persen) mengatakan usahanya hanya dapat bertahan sampai tiga bulan sejak bulan April/Mei, yang berarti pada bulan Juli/Agustus akan ada kebangkrutan massal jika perekonomian tak berputar lagi.

Dari survei yang sama terungkap pula apa yang dialami oleh buruh/tenaga kerjanya. Sebanyak 15,6 persen terkena PHK. Dari jumlah ini, 13,8 persen tidak mendapatkan pesangon. Dari sisi sektor, yang terbanyak adalah konstruksi (29,3 persen), disusul perdagangan, hotel, dan restoran (28,9 persen).

Meminimalkan resesi

Untuk mencegah terjadinya ekuilibrium pertumbuhan rendah, pemerintah telah melakukan beberapa upaya, mulai dari perlindungan sosial untuk kelompok miskin dan rentan, perlindungan UMKM, relaksasi dunia perbankan, hingga relaksasi defisit fiskal dan penerbitan peraturan pengawasan penyelamatan ekonomi nasional.

Sebanyak 57,1 persen responden mengaku usahanya tetap berjalan, tetapi pendapatan dan produksi menurun.

Namun, dalam setiap situasi krisis mengandalkan hanya kebijakan stimulus pemerintah akan berisiko tinggi karena pengambilan keputusan dalam ketidakpastian adalah suatu ketidakpastian tersendiri. Dalam teori ekonomi, hal ini disamakan dengan proses stokastik mulai dari perancangan, rekonsiliasi, sampai proses legislatif, yang berpotensi pada tertundanya implementasi kebijakan (Bayraktar dan Egami [2019]).

Hal ini terlihat dari realisasi penyerapan anggaran beberapa kementerian yang masih rendah, seperti dikeluhkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Tampaknya pemerintah juga sudah memperhitungkan keterlambatan implementasi ini dengan memasang angka pertumbuhan minus 0,4 sampai 1 persen untuk 2020.

Situasi melemahnya ketahanan ekonomi masyarakat dan dunia usaha membutuhkan strategi komplementer lain untuk membuat perekonomian menggeliat kembali sebelum efek kebijakan stimulus perekonomian dapat dirasakan.

Pencegahan penularan virus korona langsung menusuk pada sendi dasar perekonomian, yaitu membatasi pertemuan antara sisi permintaan masyarakat dan penawaran, melalui dekrit lockdown mulai dari yang paling ketat sampai yang fleksibel, dengan bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, melarang dan membatasi mobiltas manusia, dan lain-lain.

Tanpa hal itu pun, ketakutan terjangkit virus telah membuat masyarakat mengurangi aktivitasnya sehingga membuat perekonomian makin terpuruk. Berbagai kebijakan pemerintah, termasuk mendorong penggunaan teknologi informasi, ditujukan untuk mempertemukan sisi permintaan dan penawaran dalam perekonomian.

Namun, ketakutan masyarakat ini perlu diminimalkan dengan menggunakan cara interaksi baru yang mengutamakan perilaku hidup bersih dan sehat. Dalam konteks ini, kenormalan baru merupakan cara untuk memprogram kembali perilaku masyarakat mirip dalam film Arnold Schwarzenegger, Total Recall.

Tentunya hal ini bukan tanpa risiko karena banyak juga yang merasa bahwa dengan kenormalan baru, virus sudah hilang atau ditaklukkan sehingga kembali ke perilaku lama yang berpotensi meningkatkan penularan kembali. Maraknya hobi bersepeda mencerminkan pergeseran gaya hidup masyarakat ke arah perilaku sehat dan bersih yang sekaligus merupakan angin segar bagi industri sepeda dalam negeri yang sedang bersiap-siap melakukan PHK.

Maraknya hobi bersepeda mencerminkan pergeseran gaya hidup masyarakat ke arah perilaku sehat dan bersih yang sekaligus merupakan angin segar bagi industri sepeda dalam negeri yang sedang bersiap-siap melakukan PHK.

Kendati demikian, tanpa pengaturan dan regulasi seperti kerumunan yang terjadi di car free day, kebiasaan-kebiasaan baru yang sehat ini justru akan berpotensi meningkatkan penularan sehingga memaksa mempertimbangkan kembali untuk melakukan pengetatan, seperti halnya di Negara Bagian Arizona, Texas, Carolina Selatan, dan Florida di AS serta Victoria di Australia.

Kenormalan baru diluncurkan dengan didahului masa sosialisasi pada awal Juni, yang memberikan aba-aba bahwa PSBB akan direlaksasi. Hal ini merupakan strategi signaling game (Drazen [1998]). Lebaran dapat dikatakan sebagai titik peluncuran tidak resmi dari kenormalan baru.

Dampak dari atmosfer baru ini dapat dilihat pada beberapa indikator awal. Walaupun masih dalam zona pesimistis, ekspektasi masyarakat bergerak menuju positif.

IKK bulan Juni meningkat ke 83,8. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang yang diperlihatkan dengan kenaikan tajam indeks ekspektasi konsumen (IEK) dari 104,9 pada Mei ke 121,8 di Juni. Hanya saja, minat untuk membeli barang-barang tahan lama memang masih kecil.

Purchasing manager index (PMI) untuk sektor manufaktur juga naik dari 28,6 pada Mei ke 39,1 pada Juni. Walaupun masih di bawah 50, batas antara pesimistis dan optimistis, sudah merupakan perbaikan signifikan.

Indeks keyakinan bisnis (IKB), walau mengalami penurunan dari 105,33 pada April ke 104,82 di Mei, masih tetap dalam zona optimistis. Dengan demikian, secara umum, dunia usaha masih siap jika ada peningkatan permintaan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa realisasi restrukturisasi kredit mencapai puncaknya pada April dan Mei karena efek dari pelonggaran PSBB mulai terasa pada bulan Juni dengan menggeliatnya aktivitas ekonomi dan bisnis. Beberapa nasabah melihatnya sebagai peluang baru dan memilih melakukan substitusi restrukturisasi kredit dan menggantinya dengan restrukturisasi dengan jangka waktu lebih pendek plus tambahan kredit modal kerja.

Dalam hal pembiayaan anggaran, BI akan menanggung 53,9 persen dari bunga surat berharga pemerintah untuk barang publik dan pembiayaan UMKM.

Pemerintah dan BI juga telah melakukan closing the loop untuk memperkuat sinyal kenormalan baru. Dalam hal pembiayaan anggaran, BI akan menanggung 53,9 persen dari bunga surat berharga pemerintah untuk barang publik dan pembiayaan UMKM. Geliat indikator-indikator awal ini mungkin tidak dapat mencegah pertumbuhan negatif pada triwulan II-2020, tetapi diharapkan cukup untuk membangun momentum pemulihan di triwulan III dan IV guna meminimalkan resesi.

Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia.

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 21 Juli 2020.