Webinar Series LM FEB UI: JKN Problem dan Solusinya

0

Webinar Series LM FEB UI: JKN Problem dan Solusinya

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (17/7/2020) Jaminan sosial merupakan wujud tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya, dalam memberikan perlindungan sosial agar memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Kerangka regulasi jaminan sosial di atur dalam Pancasila sila ke-2 dan 5, UUD 1945, TAP MPR RI No.X/MPR-RI/2001, UU No.40/2004 SJSN, dan UU No.40/2011 BPJS.

Model pembiayaan jaminan sosial terbagi dalam dua jenis, pertama bantuan sosial (pembiayaan sepenuhnya dari APBN/APBD di atur dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional). Kedua, asuransi sosial (pembiayaan dari kontribusi/iuran dan APBN/APBD. Prinsip jaminan sosial bersifat kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, hasil pengelolaan dana dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besar kepentingan peserta.

“Sasaran utama jaminan sosial terbagi ke dalam kluster masyarakat kelas atas dan menengah (seperti tabungan, deposito, asuransi komersial, dana pensiun lembaga keuangan, dan bisnis), dan masyarakat kelas bawah (jaminan sosial). Sementara, beban pemerintah untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sebagian besar peserta ditanggung dan ditopang pemerintah, dan dengan adanya tarif baru membuat beban pemerintah meningkat,” ucap Ferdinandus Sentosa Nggao, Konsultan Senior LM FEB UI, sebagai narasumber dalam Webinar Series Lembaga Manajemen FEB UI, yang bertajuk “JKN Problem dan Solusinya” dengan moderator Catur Prasetyo, pada Jumat (17/7/2020).

Dalam hal ini, JKN pernah mengalami defisit yang disebabkan oleh akar pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang. Sedangkan, defisit BPJS Kesehatan bukan sebuah kegagalan JKN, selama tidak adanya kebocoran dana, peserta patuh membayar iuran (asuransi) dan mendapat pelayanan sesuai haknya, negara tidak mampu menyediakan dana talangan. Mengatasi defisit ini dengan cara penyesuaian iuran dan manfaat, dana talangan pemerintah, dan cost sharing.

“Sejak awal, iuran ditentukan berdasarkan perhitungan di bawah. Sering terjadi problem iuran peserta yang berkategori mandiri, seperti iuran  dihitung per peserta, berbeda dengan pekerja yang mencakup 5 peserta, beban iuran ditanggung sendiri, berbeda dengan pekerja yang 80% iuran ditanggung perusahaan, pendaftaran sekaligus semua anggota keluarga, belum insured minded dan move on dari model bantuan sosial,” jelas Ferdinandus.

Di satu sisi, pengajuan JKN yang diperuntukkan bagi pekerja PHK pada sebuah perusahaan yang memenuhi syarat, yakni perusahaan harus membuat laporan ke kantor cabang BPJS Kesehatan tempat perusahaan (pemberi kerja) terdaftar, laporan dilengkapi dokumen pembuktian PHK, data peserta PHK, dan dokumen lain sesuai dengan kriteria PHK. Laporan ini dinilai sah bila BPJS Kesehatan memberikan persetujuan tertulis terhadap pelaporan PHK.

Sedangkan, pengajuan JKN yang diperuntukkan bagi pekerja PHK, dengan persyaratan, seperti peserta PHK sendiri juga wajib melaporkan pengaktifan kembali status kepesertaan sebagai peserta PHK ke BPJS Kesehatan, melampirkan dokumen berupa KTP, KK, dan kartu BPJS serta surat pernyataan bermaterai bahwa peserta belum bekerja. Selanjutnya, peserta harus tetap melapor setiap bulan dan bila peserta tidak melapor maka kepesertaannya otomatis berhenti dan akan diaktifkan kembali jika peserta melapor kembali. Hak peserta berakhir sampai batas 6 bulan setelah PHK atau peserta kembali bekerja. Jika setelah 6 bulan peserta belum mendapat pekerjaan maka bisa didaftarkan menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“BPJS Kesehatan harus memperbaiki performa pelayanan untuk masyarakat, yakni dari sisi pengendalian biaya, pencegahan fraud, penyelesaian tunggakan ke rumah sakit, data kepesertaan, koordinasi manfaat, pelayanan Rumah Sakit terhadap informasi ketersediaan ruang, kuota, penagihan, kepatuhan, cakupan kepesertaan, sosialisasi, sistem informasi, dan kapasitas SDM,” imbuh Ferdinandus.

Maka, peran pemerintah sangat diharapkan untuk jangka pendek dalam menempatkan JKN sebagai salah satu prioritas alokasi anggaran masa krisis, pembiayaan dalam hal alokasi dana talangan, dan antisipasi peningkatan PBI akibat krisis ekonomi, fasilitasi penggunaan mekanisme supply chain financing, penyelenggaraan atau penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran), perbaikan data PBI, perbaikan mekanisme dana kapitasi, optimalisasi koordinasi manfaat), dan optimalisasi peran pemda.

Sementara, untuk jangka panjangnya, yaitu pembiayaan terhadap alternatif pendanaan di luar iuran, bauran kebijakan terkait penyelenggaraan JKN (harga dan distribusi obat/kesehatan, kebijakan industri kesehatan), fasilitas kesehatan (akreditasi RS agar tidak mengorbankan peserta, pemerataan penyediaan fasilitas kesehatan), dan sosialisasi ke masyarakat dalam hal penanaman prinsip gotong royong dan asuransi sosial, kepatuhan membayar diimbangi aturan yang berlaku, promosi perilaku hidup sehat, dan formula perhitungan iuran yang disepakati bersama (seperti UMR). (hjtp)